news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sebab Banjir Kerap Terjadi

Romanio Bahama Lazuardy
ASN Badan Informasi Geospasial
Konten dari Pengguna
19 April 2021 8:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Romanio Bahama Lazuardy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Bencana Banjir di Jakarta, Sumber: Google
zoom-in-whitePerbesar
Foto Bencana Banjir di Jakarta, Sumber: Google
ADVERTISEMENT
Telah dua bulan berselang, beberapa titik di ibu kota sempat dilanda banjir. Berdasarkan data yang didapat dari BNPB, kejadian banjir di Jakarta saat itu tersebar di daerah Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Kota Jakarta Timur. Sebanyak 333 KK atau 1.109 jiwa terdampak di kawasan tersebut atau sekitar 23 RT (8 RW). Jumlah warga mengungsi berjumlah 1.222 jiwa, dengan rincian dewasa 918 jiwa, remaja 151, balita 89 dan lansia 64.
ADVERTISEMENT
Jika merunut pada tahun-tahun sebelumnya, ibu kota Jakarta dapat dibilang menjadi “langganan” banjir jika musim penghujan datang. Seperti yang dilansir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Buku Saku Panduan Kesiapsiagaan Menghadapi Banjir Bagi Masyarakat, terdapat beberapa penyebab banjir yaitu limpasan air yang berasal dari hulu, meningkatnya pembangunan tata guna lahan di daerah hulu, hujan lokal, mengalirnya 13 sungai yang berasal Bodebek yang melintasi Jakarta, perubahan iklim, penurunan muka tanah, dan pasang air laut/ rob.
Selain Jakarta, berdasarkan yang dilansir oleh Kompas.com, terdapat lima daerah yang mengalami hal serupa, yaitu Demak, Tanjung Pinang, Kabupaten Bandung, Indramayu, dan Gresik. Bencana banjir sejatinya dapat dihindari dengan berbagai macam cara diantaranya identifikasi toponim dan penyusunan tata ruang yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Banyak daerah di Jakarta memiliki arti yang merupakan asal usul kenapa suatu daerah memiliki nama tersebut. Sebut saja daerah Menteng, Kemang, Gandaria, Kebon Jeruk dan masih banyak lagi. Nama-nama yang telah disebut sebelumnya merupakan asal usul bahwa daerah tersebut memiliki vegetasi tanaman yang cukup melimpah sesuai dengan namanya. Bagaimana hubungan antara toponim dengan bencana banjir?
“Kecenderungan dalam pengabaian pesan dibalik nama sepertinya sudah sangat umum di pemerintahan. Padahal ketika suatu nama terbentuk (terutama dari generasi terdahulu) pasti mempertimbangkan dimensi yang lebih luas, tidak hanya keindahan nama, namun aspek sosial, budaya bahkan bencana sering tersisip dalam nama sebuah lokasi“ menurut Koordinator Toponim dan Verifikasi Informasi Geospasial Partisipatif, Badan Informasi Geospasial (BIG), Harry Ferdiansyah,
ADVERTISEMENT
Toponim bukanlah sekedar nama
Hingga kini, masih terdapat pemerintah daerah yang abai akan toponim di daerahnya. Berbagai macam bencana dapat dihindari jika pemerintah daerah serius dalam mengidentifikasi toponim daerahnya. Ibu kota Jakarta selain dilalui oleh 13 sungai yang berasal dari Bodebek, Jakarta pun memiliki berbagai daerah yang sejarah toponimnya berkaitan dengan air. Sebut saja Kampung Rawa, Rawamangun, Rawa Buaya, Rawa Badak, Rawa Terate, Rawa Barat, Rawasari, Rawajati dan masih banyak lagi.
“Wajar ketika banyak kearifan lokal yang menghilang, budaya yang tergerus dan rasa kebanggaan sebagai sebuah bangsa yang besar memudar. Dimulai dari nama yang terlupakan, bahasa yang terpinggirkan, budaya yang terkotak-kotak serta komersialisasi yang berlebihan. Wajar dengan keadaan tersebut pemerintah berlari cepat untuk melakukan pengaturan-pengaturan agar kesilapan ini tidak berlanjut. Usaha tersebut terlihat dari beruntunnya beberapa aturan, baik langsung maupun tidak langsung mengatur tata pemakaian bahasa dan nama di Indonesia“ jelas Harry.
ADVERTISEMENT
Namun terdapat hal positif juga yang telah mulai dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah dalam hubungannya dengan penamaan rupabumi. Kita bisa mengambil contoh bagaimana DIY telah mengeluarkan Pergub DIY No. 39 Tahun 2015 : Pedoman Pemberian Nama Rupabumi Unsur Buatan atau Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 14 Tahun 2020: Pedoman Penamaan Jalan, Tempat Wisata, Taman, Kawasan Perumahan, Bangunan Gedung, dan Penomoran Bangunan Gedung Di Kabupaten Sidoarjo. Langkah tersebut merupakan bukti nyata kesadaran kolektif dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam mewujudkan keberlangsungan penamaan yang tetap mengacu pada kearifan lokal dan mempekuat kebudayaan yang dimiliki bangsa agar tidak tergerus oleh zaman.
Penyusunan tata ruang yang lebih baik
Daerah di Jakarta yang mengalami kebanjiran, sebagian besar merupakan yang berdampingan dengan aliran sungai yang mengalir. Saat curah hujan tinggi, sungai tidak dapat lagi menampung debit air, sehingga air meluap ke jalan raya hingga permukiman warga.
ADVERTISEMENT
Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2015, telah mengatur sempadan sungai guna memelihara fungsi sungai tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang disekitarnya. Sempadan sungai sendiri merupakan zona penyangga antara ekosistem perairan (sungai) dan daratan. Zona ini umumnya didominasi oleh tumbuh-tumbuhan dan/atau lahan basah. Tumbuh-tumbuhan tersebut berupa rumput, semak ataupun pepohonan sepanjang tepi kiri dan/atau kanan sungai.
Pemanfaaatan sempadan sungai sebagaimana yang tercantum pada Pasal 22 Poin (1) bahwa sempadan sungai hanya dapat dimanfaatkan secara terbatas untuk bangunan prasarana sumber daya air, fasilitas jembatan dan dermaga, jalur pipa gas dan air minum, rentangan kabel listrik dan telekomunikasi, kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai, antara lain kegiatan menanam tanaman sayur-mayur dan bangunan ketenagalistrikan.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada Pasal 22 Poin (2) dijelaskan pula bahwa sempadan sungai tidak diperkenankan untuk menanam tanaman selain rumput, mendirikan bangunan dan mengurangi dimensi tanggul.
Koordinator Pembinaan Tata Ruang BIG, Ryan Pribadi, melihat pada aturan rencana tata ruang khususnya Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasinya, maka dalam peta skala besar 1:5000 kita dapat melihat bahwa penetapan sempadan sungai khususnya di kota-kota besar akan terkendala dengan kondisi eksisting sempadan tersebut sudah menjadi pemukiman. Dinamika dan perkembangan kota yang cepat, menuntut pertambahan lahan pemukiman yang cepat pula.
“Dinamika ini umumnya terlambat diatisipiasi dengan peraturan yang ada. RDTR yang disahkan belakangan harus menanggung konsekuensi dari keterlanjuran ini. Artinya pemerintah daerah sebagai pelaksana di lapangan harus memikirkan bagaimana caranya untuk mewujudkan sempadan sungai dan mata air yang ideal sesuai aturan yang ditetapkan. Bisa dengan cara ganti untung maupun dengan relokasi pemukiman yang berada di sempadan. Jika kondisi tanah tersebut sudah bersertifikat, maka ganti untung tersebut juga harus menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Ini mengakibatkan proses normalisasi sempadan sungai juga membutuhkan biaya yang cukup besar” jelas Ryan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Koordinator Informasi Geospasial Tematik Bidang Kebencanaan BIG, Ferrari Pinem, mengutarakan selain cuaca ekstrem yang membuat curah hujan meningkat, ada banyak hal yang perlu untuk diperhatikan dalam penanggulangan banjir di daerah Jakarta sebagai wilayah hilir mulai dari turunnya muka air tanah (land subsidence), tinggi air laut, sampah, tanggul yang jebol, sumbatan saluran air dan lain sebagainya.
“Pembenahan infrastruktur untuk pengendalian banjir seperti normalisasi, kanalisasi, pompanisasi, setu/dan atau penampungan, dan lain sebagainya juga menjadi hal yang mungkin perlu diperhatikan untuk mengurangi resiko banjir tersebut” jelas Ferrari.
Lanjutnya, untuk daerah hulu tentunya perlu pembenahan bagaimana meningkatkan daerah resapan air untuk mengurangi laju aliran permukaan, dimana saat ini banyak sekali alih fungsi lahan yang mengurangi daya dukung lingkungan.
ADVERTISEMENT
Dengan data yang telah dijabarkan diatas, apakah kita akan terus tak acuh terhadap penyebab banjir? Pilihannya hanya dua, bertahan dengan keadaan banjir tiap tahunnya atau kah mulai menata kehidupan lebih baik dengan informasi geospasial.
Romanio Bahama Lazuardy
ASN Badan Informasi Geospasial