Memahami Klaim Cina atas Wilayah Kepulauan Natuna di Indonesia

Romi Fajar Prihutomo
Mahasiswa Teknik Geodesi UGM
Konten dari Pengguna
5 Desember 2021 9:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Romi Fajar Prihutomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dan Perangkat Editing: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dan Perangkat Editing: Canva
ADVERTISEMENT
Indonesia dengan segala keistimewaannya dalam hal kekayaan alam berupa laut dan berbagai pulau rupanya dapat menjadi suatu boomerang yang berpotensi untuk memunculkan implikasi terhadap adanya sengketa batas maritim. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, sudah menjadi kewajiban bagi suatu negara untuk tunduk dan patuh terhadap hukum yang berlaku di wilayah internasional. Selain itu, dinamika relasi kuasa dalam kehidupan internasional saat ini digambarkan sebagai elemen yang saling memberikan ruang untuk mempertahankan kedaulatan atas masing-masing negara.
ADVERTISEMENT
Sebagai subjek hukum internasional, negara berarti tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaannya sendiri, yang kemudian disebut sebagai konsep kedaulatan. Kekuasaan tertinggi ini diwujudkan melalui adanya wilayah yang dimiliki oleh suatu negara, baik daratan dan perairan, diikuti oleh batas-batas wilayahnya. Akan tetapi, kondisi tersebut tidak menjamin keharmonisan yang terbentuk di dalam dunia internasional. Pasalnya, masih ditemui sengketa batas wilayah maritim yang melibatkan berbagai negara, salah satunya Indonesia dan Cina.
Dilansir Worlds Politic Review, Cina disebut-sebut telah memicu konfrontasi maritim besar dengan Indonesia di dekat Laut Cina Selatan pada Desember 2019 lalu ketika puluhan kapal penangkap ikan dari Cina memasuki wilayah perairan Kepulauan Natuna. Kejadian tersebut tentu saja memunculkan tanggapan yang serius mengingat bahwa Cina mengajukan klaim atas Kepulauan Natuna yang diketahui masuk ke dalam bagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Indonesia. Tak hanya itu, Cina juga dituding melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF) serta Coast Guard milik Cina juga dinyatakan melanggar kedaulatan di wilayah perairan Natuna.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menanggapi kondisi tersebut dengan upaya damai yang kooperatif, Cina tetap mengajukan klaim kuatnya atas Natuna menggunakan dasar nine dash line yang dianut oleh negara tirai bambu tersebut. Pasalnya, dasar hukum yang digunakan oleh Cina melalui nine dash line tidak berdasarkan pada UNCLOS 1982 maupun hukum maritim internasional lainnya. Dilansir TIME, garis tersebut (nine dash line), yang pertama kali tertulis di peta Tiongkok pada tahun 1947, dianggap oleh Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag sebagai garis wilayah yang “tidak memiliki dasar hukum”.
Sesuai dengan pasal 56 United Nations Conventions and Laws of the Sea (UNCLOS), setiap negara memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya yang terdapat dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dengan demikian, nine dash line yang memotong wilayah ZEE milik negara lain adalah ketentuan yang melanggar hukum internasional. Lebih lanjut, UNCLOS juga melarang suatu negara untuk mengeksploitasi sumber daya yang berada di ZEE negara lain. Oleh karena itu, meskipun sampai saat ini persoalan nine dash line masih menjadi topik pembicaraan yang pelik, Indonesia tetap menjadi pemegang hak atas Kepulauan Natuna jika dilandaskan pada hukum UNCLOS 1982.
Peta Laut Natuna di Indonesia. Foto: REUTERS/Beawiharta/File Photo
Situasi yang rumit tersebut kemudian dapat kita pahami sebagai suatu konsekuensi atas prinsip masing-masing negara dalam mengakui hukum yang berlaku. Ketika suatu negara mementingkan hukum domestik yang berlandaskan pada aspek historis, hal tersebut dapat memicu adanya benturan kepentingan dengan hukum internasional yang telah disepakati sedemikian rupa. Selain itu, faktor keamanan wilayah maritim di masing-masing negara juga harus diperhatikan dengan sangat serius. Tercatat oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2019, Indonesia diketahui memiliki 17.504 pulau dengan luas perairan seluas 3.273.810 km². Menjadi tantangan yang besar bagi Indonesia untuk menjaga seluruh wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, perlindungan wilayah maritim Indonesia harus ditunjang dengan anggaran dan kebijakan yang memadai. Segenap aktor yang meliputi perumus kebijakan, TNI, serta masyarakat umum diharapkan dapat bersinergi membentuk pertahanan maritim yang baik.Dewasa ini, Presiden Joko Widodo mulai memberikan perhatian besar terhadap wilayah maritim Indonesia. Diketahui memiliki ambisi yang besar untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, kebijakan maritime axis yang dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo menimbulkan berbagai diskusi dari para pengamat dan akademisi. Meskipun memiliki intensi dan tujuan yang cemerlang, wacana tersebut disinyalir terlalu utopis jika tidak dibersamai dengan gerak cepat, tanggap, dan inovatif dari pemerintah dalam memberikan perlindungan dan penjagaan ketat di wilayah maritim. Dalam kaitannya dengan potensi sengketa dengan negara lain, terutama Cina, pemerintah perlu memberlakukan penjagaan yang ketat dan terkoordinasi agar maritim Indonesia dapat terus terjaga dengan aman dan tenteram.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik. (2021). Luas Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Diakses dari https://www.bps.go.id/statictable/2013/12/31/1716/luas-kawasan-hutan-dan-kawasan-konservasi-perairan-indonesia-menurut-provinsi-berdasarkan-sk-menteri-kehutanan.html
Beech, H. (2016). Just Where Exactly Did China Get the South China Sea Nine-Dash Line From?. TIME. Diakses dari https://time.com/4412191/nine-dash-line-9-south-china-sea/
Grossman, D. (2020). Why Is China Pressing Indonesia Again Over Its Maritime Claims?. World Politics Review. Diakses dari https://www.worldpoliticsreview.com/articles/28476/why-is-china-pressing-indonesia-again-over-the-natuna-islands
Kemdikbud. (2017). Letak dan Luas Wilayah Indonesia. Ilmu Pengetahuan Sosial. Diakses dari https://sumberbelajar.belajar.kemdikbud.go.id/sumberbelajar/tampil/Letak-dan-Luas-Indonesia--2017/menu4.html
Ramli, R. P., Lumumba, P. & Burhanuddin. (2021). Sengketa Republik Indonesia – Republik Rakyat Tiongkok di Perairan Natuna. Hasanuddin Journal of International Affairs. 1(1). ISSN: 2774-7328.