Hati-Hati dengan Trend Kenaikan Utang Luar Negeri Sektor Publik

Ronny P Sasmita
Warga Negara Biasa Penikmat Kopi Warkop yang Nyambi Jadi Pengamat Ekonomi, Penikmat Sejarah dan Kajian-Kajian Strategis
Konten dari Pengguna
2 Maret 2017 19:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ronny P Sasmita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dari data yang dirilis Bank Indonesia (BI) belum lama ini dilaporkan bahwa Utang Luar Negeri Indonesia pada akhir triwulan IV-2016 tercatat sebesar 317,0 miliar dollar AS (setara 4.247,8 triliun rupiah) atau tumbuh 2 persen dibandingkan periode sama 2015.
ADVERTISEMENT
Posisi ULN berjangka panjang pada periode tersebut mencapai 274,9 miliar dollar AS atau sebesar 86,7 persen dari total ULN, sementara ULN berjangka pendek tercatat 42,1 miliar atau sebesar 13,3 dari total ULN.
Berdasarkan data BI, ULN jangka pendek yang tumbuh 8,6 persen (year-on-year/yoy), mengalami peningkatan dibandingkan triwulan III-2016 yang tumbuh 4,6 persen (yoy).
Sementara itu, ULN jangka panjang tumbuh 1,1 persen (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan III-2016 yang tercatat tumbuh sebesar 8,7 persen (yoy). Meski ULN jangka pendek meningkat, BI nampaknya menampik situasi utang yang agak pelik karena BI bahwa berkilah kemampuan cadangan devisa untuk menutupi kewajiban jangka pendek terbilang membaik.
Hal itu tecermin pada rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa yang turun dari 37,4 persen pada triwulan III-2016 menjadi 36,1 persen pada triwulan IV-2016, sejalan dengan meningkatnya posisi cadangan devisa.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, perlu pula diketahui publik bahwa kenaikan cadangan devisa antara lain juga akibat penerbitan obligasi global pemerintah. Ini berarti bahwa kenaikan devisa ternyata juga berasal dari penarikan utang dalam bentuk valuta asing.
Dengan kondisi ini, mau tidak mau sebenarnya ULN pemerintah akan terus meningkat, sebaliknya ULN sektor swasta akan menurun. Kenaikan utang pemerintah memang untuk membiayai infrastruktur dan refinancing atau pembiayaan kembali utang lama.
Apalagi jika diperhatikan time periodenya, tahun 2018 adalah puncak buyback SBN. Jadi, pemerintah akan menerbitkan utang baru untuk membiayai utang yang lama alias tetap gali lubang tutup lubang. Malah akan makin besar di 2017 ini. Mau tak mau, tren-nya akan seperti itu.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kebergantungan pemerintah terhadap utang memang makin parah. Dari data yang ada terlihat bahwa pada akhir triwulan IV-2016, posisi ULN sektor swasta mencapai 158,7 miliar dollar AS (setara 2.126,6 triliun rupiah) atau 50,1 persen dari total ULN. Sementara itu, ULN sektor publik atau pemerintah tercatat 158,3 miliar dollar AS (setara 2.121,2 triliun rupiah) atau sebesar 49,9 persen dari total ULN.
Meski masih dominan, ULN sektor swasta tercatat turun sebesar 5,6 persen (yoy) pada triwulan IV-2016, lebih dalam dibandingkan dengan penurunan pada triwulan sebelumnya yang sebesar 2 persen. Saya melihat, ada beberapa faktor mengapa utang sektor swasta mengalami trend penurunan.
Dan salah satu penyebab yang perlu diperhatikan adalah akibat kegagalan paket ekonomi pemerintah untuk mengakselerasi pertumbuhan. Setelah pemerintah mengeluarkan paket ekonomi ke-14, ternyata realisasinya jauh dari harapan sehingga muncul sikap rasional bahwa setelah dikasih stimulus pun pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5 persen.
ADVERTISEMENT
Saya kira, pengusaha cendrung berpikir realistis saja jika ekonomi hanya tumbuh sekian maka pengusaha akan mengerem produksi sebatas pertumbuhan yang ada alias tidak melakukan ekspansi yang berarti.
Dengan kata lain, kenaikan utang pemerintah dan penurunan trend utang sektor swasta menandakan bahwa pemerintah terbilang kurang berhasil mengendorse ekspansi investasi swasta. Swasta masih wait and see untuk mengembangkan usaha karena ternyata pemerintah belum mampu memperlihatkan performance ekonomi yang meyakinkan.
Masalahnya, jika pemerintah terus menggeber utang, tapi di sisi lain tidak menumbuhkan trend positif dari investasi swasta, maka devisa dan keuangan negara akan terus terbebani karena trend penerimaan pajak dari sektor swasta juga akan terbilang biasa-biasa saja.
Karena jika mau jujur, patokan kapasitas negara dalam membayar utang sebenarnya bukanlah patokan komparatif seperti rasio utang terhadap devisa atau rasio utang terhadap GDP, tapi patokan riil kemampuan negara dalam membayar utang adalah pajak.
ADVERTISEMENT
Artinya, jika penambahan utang publik di satu sisi tidak mempu melahirkan perbaikan iklim investasi, tidak membuat para pengusaha berekspansi, maka pertumbuhan akan biasa-biasa saja. Nah, jika pertumbuhan biasa-biasa saja dan inflasi tidak terkendali, maka trend penerimaan pajakpun akan biasa-biasa saja. Jika demikian, penambahan utang justru akan mengkhawatirkan keuangan negara.
Jakarta, 2 Maret 2017
#Kopinomic