Jurnal: Bagaimana Gendut Doni Menginspirasi Saya untuk Bermain Bola

23 Agustus 2017 13:55 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi sepak bola anak-anak. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sepak bola anak-anak. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Minggu pagi, pukul 06.30, hampir 20 tahun lalu, ada sebuah rutinitas yang terbilang istimewa buat saya. Apalagi yang bisa membahagiakan bocah sekolah dasar saat itu selain sebuah cita-cita dan konsol Playstation plus hari libur?
ADVERTISEMENT
Mengenai Playstation, alhamdulillah ada saudara yang berbaik hati untuk meminjamkan, tapi untuk cita-cita? Saya percaya tak ada yang bisa meminjamkannya. Apalagi, harapan saya adalah ingin menjadi pemain sepak bola, yang kalaupun terwujud pasti mahal harganya.
Agak muluk-muluk, memang, harapan saya itu. Pasalnya, kota tempat saya tinggal, Salatiga, tak seperti tetangga dekatnya, Semarang. Di Semarang, mereka punya kesebelasan seperti PSIS yang punya banyak pendukung. Jangan bayangkan juga Salatiga seperti Bandung dengan atau Persib-nya yang pendukungnya tak hanya berasal dari kota Bandung saja. Namun, beruntungnya, Salatiga lumayan terkenal sebagai penghasil pemain bola karena Diklat Salatiga-nya.
Orang tua saya kemudian menyarankan untuk masuk ke akademi sepak bola yang dikelola oleh ayah dari Gendut Doni Christiawan, Manunggal FC namanya. Tempat latihannya pun tak main-main, Stadion Kridanggo, yang merupakan stadion terbesar di Salatiga. Anggap saja semacam Maracana bagi masyrakat Rio de Janeiro.
ADVERTISEMENT
Bagi saya yang notabene lebih tertarik kepada sepak bola Eropa, saat itu nama Gendut Doni masih asing di telinga. Tapi, saya masih ingat betul apa yang ibu saya bilang. "Ojo salah le, (Gendut Doni) pemain sangar iku." (Jangan salah, nak, Gendut Doni itu pemain hebat).
Ibu saya adalah seorang guru di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Salatiga. Bukan sekolah terfavorit, memang, akan tetapi dari dulu SMAN 2 terkenal sebagai sekolahnya pemain legendaris. Kurniawan Dwi Yulianto, Kurnia Sandi, dan Supriyono, termasuk juga Gendut Doni, pernah bersekolah di situ. Faktor jarak yang relatif lebih dekat dengan Diklat Salatiga jadi alasan banyaknya pemain yang memilih untuk bersekolah di SMAN 2.
Alasan yang kemudian membuat saya tergerak untuk mendaftar ke Manunggal. Terdengar sebagai bentuk persuasif klise untuk seorang bocah, tapi saya percaya itu. Keyakinan saya menebal kala melihat Gendut Doni menjadi topskorer Piala Tiger 2000, yang mana kian melambungkan namanya di kancah sepak bola nasional.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, saya akhirnya mendaftar dan menimba ilmu di sana. Bermodal sepatu Adidas pemberian ayah —saking lamanya, saya benar-benar lupa tipenya— saya mengisi daftar pos gelandang sayap sebagai pilihan posisi yang diinginkan. Maklum saja, bocah mana, sih, yang tidak nge-fans dengan David Beckham dengan rambut belah tengah-nya? Itulah yang saya lakukan, melatih umpan dan tendangan bebas dengan kaki kanan. Bisa ditebak, ending-nya nihil.
Euforia itu terus memuncak, apalagi saat saya mendapatkan nomor punggung "7" saat pembagian seragam. Senang bukan main, karena angka tujuh tak cuma identik dengan Beckham, tapi juga Darren Anderton, gelandang stylish Tottenham Hotspur dengan rambut belah tengahnya.
David Beckham ketika berseragam United. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
David Beckham ketika berseragam United. (Foto: Reuters)
Proses pelatihan tak segampang yang dibayangkan —jauh lebih berat ketimbang duduk memainkan FIFA 97, atau Soccer, game legendaris Nintendo Entertainment System (NES). Satu hal yang saya ingat adalah waktu itu saya justru tak bermain sebagai gelandang, melainkan bermain sebagai penjaga gawang dalam latihan tanding kontra angkatan tua (sekitar tiga tahun di atas kami).
ADVERTISEMENT
Alasannya sepele, tak ada yang mau menjadi kiper. Yah, apa boleh buat, tak ada rotan akar pun jadi. Tak jadi Beckham atau Anderton tak jadi soal, asal bisa seperti Gianluca Pagliuca atau Ian Walker. Dan bisa ditebak lagi, tujuh kali bola saya pungut dari gawang mini yang berusaha saya jaga sekuat tenaga. Di minggu kedua, akhirnya mimpi saya bermain sebagai seorang gelandang terkabul.
Sayangnya, saya tak lama menempuh ilmu di sana, tak sampai dua bulan kalau tak salah. Pokoknya, itu jadi salah satu penyesalan terbesar dalam hidup saya. Tapi setidaknya, saya pernah berusaha untuk menggapai cita-cita, kendati usaha itu berakhir akibat ketidakmampuan saya menekuni satu hal dengan baik dan benar. Well, masalah klasik bagi anak laki-laki yang selalu penasaran.
ADVERTISEMENT
Toh, setelah meninggalkan karier sepak bola saya yang prematur, saya kemudian masuk klub bulu tangkis dan renang semasa SD. Tapi satu yang saya pegang, sepak bola adalah cinta pertama saya dan percayalah itu bukan pembenaran.
***
Berbicara mengenai sosok Gendut Doni, sebenarnya dirinya tak jauh berbeda dengan anak-anak Salatiga pada umumnya yang berangkat dari sepak bola di lapangan-lapangan di kampung.
Gendut memilih lapangan Bulu yang terletak di Tegalrejo, tak sampai sepuluh menit perjalanan dari pusat kota Salatiga. Bukan perkara apa-apa, rumahnya tak jauh dari sana.
Namun, bukan Gendut jika dirinya seperti kebanyakan pemuda lainnya. Selain gen sepak bola yang mengalir dari kakak-kakaknya, Nugroho Adiyanto dan Devtendi Yunianto, Gendut Doni juga menunjukkan bakatnya sejak dini.
ADVERTISEMENT
Dia menempuh ilmu di Diklat Salatiga dan juga merupakan bagian dari Timnas Pra-Olimpiade. Kariernya berlanjut dengan bergabung bersama PSIS Semarang. Salah satu modal paling berharga adalah kesempatan yang didapatkannya kala membela “Laskar Mahesa Jenar” yang tampil pada ajang Liga Champions Asia di musim 1999/2000. Dari situlah Gendut mendapatkan banyak pengalaman.
Pada akhirnya, saya menyadari, itulah yang membedakan Gendut Doni dengan saya. Konsistensi, keberanian, dan semangat yang kuat sebagai seorang pesepakbola.
Gendut Doni menyambut saya di meja kerjanya. (Foto: Billi Pasha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gendut Doni menyambut saya di meja kerjanya. (Foto: Billi Pasha/kumparan)
Saya akhirnya bertemu langsung dengan Gendut menjelang akhir bulan Agustus 2017 ketika dia sudah berganti profesi. Gendut yang sekarang bukan lagi seorang striker yang mengancam gawang lain, ia sudah mengabdikan dirinya sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Tangerang Selatan.
ADVERTISEMENT
Tidak jadi pemain bola pun, Gendut tetap fokus dan konsisten. Mengaku sebagai orang lapangan, ia bertutur kepada saya mengenai kegiatannya mendatangi berbagai Industri Kecil dan Menengah (IKM) dan betapa ia menikmatinya.
"(Saya) sudah merasa enjoy di tahun keempat ini," ucapnya.
Ah, sudahlah… Menyesal pun tak ada artinya. Lagipula, jika saya benar-benar menjadi pemain hebat juga tak menjamin apapun, karena ini Indonesia, bukan Eropa.
Tapi satu hal yang akan terus saya ingat, sepak bola akan selalu jadi cinta pertama saya, percayalah.