Jurnal: Flores, Kolektivitas, dan Moke

14 Juli 2017 21:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tour de Flores 2017. (Foto: Dok. Tour de Flores 2017)
zoom-in-whitePerbesar
Tour de Flores 2017. (Foto: Dok. Tour de Flores 2017)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"What's the furthest place from here? It hasn't been my day for a couple of years," ratap Blake Shwarzenbach, pentolan grup musik Jawbreaker, dalam lagu 'Accident Prone' yang jadi bagian dari album pemungkas mereka, 'Dear You'.
ADVERTISEMENT
Sebelum saya menemukan versi cover piano lagu itu dari musisi independen Julien Baker, 'Accident Prone' adalah salah satu lagu yang hampir selalu saya lewatkan tatkala mendengarkan album 'Dear You'. Namun, dalam sepekan terakhir, setidaknya, saya jadi tak bisa berhenti mendengarkan lagu itu.
Ya, “what's the furthest place from here?” Itu yang selalu saya tanyakan kepada diri saya setiap kali lagu itu saya putar. Furthest, tentunya, berbeda dengan farthest. Jika farthest mengacu pada jarak fisik dan bisa diukur secara matematis, maka furthest digunakan untuk menyebut jarak terjauh yang dicapai hal-hal abstrak, seperti progres, misalnya.
Jika pertanyaannya adalah "what's the farthest place from here", maka bagi saya jawabannya adalah Arab Saudi karena negara itulah tempat terjauh di muka bumi yang telah saya kunjungi. Namun, dalam konteks furthest, maka Pulau Flores adalah jawabnya bagi saya.
ADVERTISEMENT
Saya bicara soal ekspektasi di sini. Di Arab sana, setidaknya saya bisa mengira-ngira apa yang bakal saya lihat, temui, dan hadapi. Akan tetapi, Flores adalah uncharted territory bagi saya. Walau jarak tempuhnya dari Jakarta hanya tiga jam (tidak termasuk transit) dengan pesawat terbang, namun apa yang bakal saya temui di Flores tak pernah tebersit barang sedikit pun.
Itulah mengapa, ketika kumparan menugasi saya untuk bertandang ke Flores untuk meliput balap sepeda, saya agak terperanjat. Pasalnya, dua hal itu benar-benar asing bagi saya sampai setidaknya empat atau lima hari yang lalu.
Singkat kata, tibalah saya di Flores. Sebelum mendarat, saya sempat agak waswas karena guncangan yang saya alami di pesawat cukup untuk membuat seorang biarawati -- yang duduk dua kursi di depan saya -- tak henti-hentinya menyebut nama Sang Pencipta.
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, saya sudah sempat memperkirakan itu karena Flores adalah pulau kecil, setidaknya jika dibandingkan dengan Jawa yang selama ini jadi zona nyaman saya. Entah benar atau tidak, saya memprediksi hal ini karena memperkirakan bahwa angin di perairan sekitar Flores bakal lebih ganas.
Namun, sampai di situ saja ekspektasi saya soal Flores. Selebihnya? Boro-boro.
Pemandangan di Flores itu. (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan di Flores itu. (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
Jawaban dari rasa penasaran saya soal Flores ini baru saya temukan dalam pernyataan yang diutarakan Chairman Tour de Flores, Primus Dorimulu, dalam konferensi pers pascabalapan di Media Center Kabupaten Sikka, Jumat (14/7). Ya, pada hari pertama ini saya memang tidak kebagian jatah meliput balapan karena ketika saya tiba, etape pertama sudah berakhir dengan kemenangan pebalap Australia, Drew Morey.
ADVERTISEMENT
Nah, pada kesempatan itu, Primus mengatakan bahwa untuk bisa maju, tak perlu lagi ada saling menyalahkan. Jika, katakanlah, Flores belum bisa dibilang maju karena kesalahan orang-orang terdahulu, ya, sudah. Cukup. Berhenti di situ dan tak perlu lagi diungkit-ungkit.
Dalam situasi seperti itu, yang bisa dilakukan rakyat Flores adalah bekerja bersama dan itu semua terejawantahkan dalam gelaran Tour de Flores ini. Di sini, semua bergerak secara kolektif, baik itu pemerintah maupun rakyat "biasa" seperti Primus. Ini bukan pernyataan normatif. Ini adalah kesan pertama saya terhadap Flores: kolektivitas.
Penjelasan Primus itu sendiri kemudian dielaborasikan lebih jauh oleh dua pejabat daerah Nusa Tenggara Timur, Marius Ardu Jelamu (Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) dan Paolus Nong Susar (Wakil Bupati Kabupaten Sikka). Kedua orang ini menerangkan bagaimana relasi desa dan kota berjalan di sini.
ADVERTISEMENT
Pemandangan dari tempat saya menginap. (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan dari tempat saya menginap. (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
Untuk memeriahkan acara ini, ribuan orang berbondong-bondong dari desa ke kota. Para penduduk desa itu membawa hasil bumi untuk diperdagangkan dan akhirnya dinikmati bersama. Saya tidak tahu persis seperti apa situasinya di Larantuka ketika itu, tetapi kira-kira begitulah.
Nah, bicara soal kolektivitas, ada satu hal lagi yang tentu tak bisa dipisahkan dari masyarakat Flores ketika kita bicara soal kolektivitas: moke.
Moke, sejauh yang saya lihat sejauh ini, adalah minuman untuk menyambut tamu. Ya, bagaimana tidak? Ketika sedang asyik mengetik laporan hasil balapan, tiba-tiba saja seseorang memanggil saya dari belakang.
"Kaka, minum, kaka.”
Saya pun tak punya pilihan lain.