Kiper dan Kesunyiannya Masing-masing

Rossi Finza Noor
I sleep diagonally until I have company, then I sleep lengthwise.
Konten dari Pengguna
4 Desember 2017 15:39 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rossi Finza Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kiper dan Kesunyiannya Masing-masing
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya punya kebiasaan aneh —kalau memang bisa disebut demikian: menyimpan dan menumpuk banyak percakapan saya dengan teman-teman saya di surel pribadi. Entah sudah berapa banyak.
ADVERTISEMENT
Yang bikin makin absurd, tidak semua percakapan itu penting. Kebanyakan cuma ngalor-ngidul atau bercandaan-bercandaan tidak jelas. Sebagian lainnya agak lebih penting: ngobrolin lirik lagu dan tek-tokan konsep musik (maklum anak band dulu *pasang kacamata hitam*).
Percakapan-percakapan itu saya kumpulkan dari berbagai medium, entah dari percakapan di G-Talk, BBM, hingga Yahoo! Messenger. Kendati tidak serius-serius amat, entah bagaimana, saya merasa ada satu atau dua hal bisa saya simpan dari percakapan-percakapan itu.
Salah satu yang percakapan-percakapannya masih saya simpan sampai hari ini adalah dengan salah seorang penulis yang, untuk beberapa alasan, lebih baik tidak saya sebutkan namanya di sini. Kalau saya sebut namanya, mungkin banyak yang sudah tahu juga dia siapa.
Saya pernah mendengar cerita soal bagaimana ia mabuk ketika sedang kumpul-kumpul dengan kawan-kawan blogger-nya di Bunderan HI. Namun, bukannya rusuh, ia malah bercerita ngalor-ngidul soal sejarah dan kawan-kawannya mendengarkan dengan seksama.
ADVERTISEMENT
Cerita itu bukan isapan jempol karena saya mengalaminya sendiri. Suatu malam, dalam pengaruh valium (saya nggak tahu dia sakit apa), dia ngobrol dengan saya di BBM. Waktu itu saya hendak berangkat ke Palangkaraya. Lalu, dengan lugas dan tanpa hambatan, dia menggelontorkan begitu saja perkara sejarah soal Palangkaraya.
Namun, yang paling saya ingat sampai sekarang adalah ketika kami membicarakan soal kebiasaan nonton bola orang-orang sampai dini hari. Dia kemudian berucap, kalau Albert Camus masih hidup, dia pasti juga akan menghabiskan waktunya dengan nonton bola. Hari itu, tepat satu abad perayaan kelahiran Camus.
Camus, yang sempat main di level semi-pro, dulunya adalah penjaga gawang. Ada beberapa alasan mengapa Camus memilih untuk jadi penjaga gawang.
ADVERTISEMENT
Camus lahir dari keluarga miskin. Ibunya tuli dan bekerja sebagai pelayan di keluarga kaya. Karena miskin, semuanya serba diperhitungkan. Termasuk urusan sepatu.
Untuk Camus, yang gemar bermain bola, ini adalah petaka. Ia pernah diomeli habis oleh neneknya karena ketahuan main bola. Dari mana sang nenek tahu? Dari sepatu Camus yang aus.
Akhirnya Camus menemukan jalan keluar. Pertama, dengan membungkus sepatunya dengan plastik; kedua, dengan mengubah posisinya dari seorang sayap menjadi kiper. Alasannya sederhana: karena kiper tidak banyak bergerak.
Siapa sangka, dengan menjadi kiper itu tumbuhlah dua pokok tema yang kerap ia sematkan dalam karya-karya tulisnya.
“Kiper itu posisi yang rentan, rapuh, dan ringkih. Kiper bergantung bek. Kalau kebobolan, kiper yang disalahin. Kalau timnya menang, yang dipuji yang cetak gol. Kiper itu vital untuk dua tema utama pikiran Camus: soliter dan solider. (Ke)sunyi(an) dan solidaritas.”
ADVERTISEMENT
Ah…
***
Saya agak tersentak ketika dia menyanding-nyandingkan kiper dengan kesunyian itu. Saya jadi ingat cerita absurd lainnya: teman saya pernah dimarahi oleh pelatih karena tidak ikut merayakan gol. Dengan asumsi yang membabi-buta, dia dianggap tidak berbaur dengan tim. Lha, bagaimana? Wong dia main jadi kiper. Masa dia harus berlari separuh lapangan lebih cuma untuk merayakan gol?
Melihat kiper merayakan gol dengan rekan-rekannya di dekat gawang lawan memang bukan pemandangan lumrah, tetapi bukan berarti juga tidak pernah kejadian. Namun, biasanya hal itu mereka lakukan pada situasi-situasi khusus saja, misal: ketika tim menang lewat gol di menit-menit akhir atau ketika gol itu menjadi penentu kepastian sebuah tim menjadi juara liga —seperti yang dilakukan Edwin van der Sar pada tahun 2007.
ADVERTISEMENT
Selebihnya, kiper lebih banyak berkutat dengan kesunyian itu sendiri. Kalau teman bikin gol? Ya, sorak-sorak sendiri. Paling banter, dia menepuk-nepuk mistar gawang, yang jelas tidak punya degup jantung dan emosi seperti rekan-rekannya. Barangkali, tepukan-tepukan itu bisa menjadi ganti dari rangkulan rekan-rekan satu timnya.
Kiper hidup dalam nasib yang apes. Jika area di sekelilingnya sepi dan nyaris tidak ada aktivitas berarti, itu berarti bagus. Jika area di sekelilingnya riuh dan ricuh, di situlah bahaya mengintai —dan di situ juga ia dipanggil untuk bekerja.
David de Gea dalam sesi latihan. (Foto: Kirill KUDRYAVTSEV / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
David de Gea dalam sesi latihan. (Foto: Kirill KUDRYAVTSEV / AFP)
Ketika mereka tampil dalam sebuah sorotan dengan membuat penyelamatan-penyelamatan tak masuk akal, itu bisa berarti satu hal: pertahanan timnya tidak becus. Bayangkan, untuk unjuk kemampuan saja dia harus berada pada situasi paling tengik, yakni ketika teman-temannya sedang tidak becus bekerja.
ADVERTISEMENT
Melihat kiper kesebelasan kita ongkang-ongkang kaki jelas lebih baik ketimbang melihatnya bekerja dengan penuh peluh. Percayalah, sekalipun sang kiper jagonya minta ampun, menyaksikannya berulang kali terbang dan melompat untuk menghentikan bola tidak baik untuk kesehatan jantung.
Menyaksikan David de Gea berteriak “Vamos! Vamos!” sendirian di depan gawangnya, jelas lebih menyenangkan ketimbang dia berjibaku menghalau sepakan jarak dekat Alexandre Lacazette dan Alexis Sanchez.
Sekalipun kita takjub melihat bagaimana ia terbang ke arah bawah, dan melonjak lagi untuk merentangkan kakinya, sekali lagi, percayalah itu bukan pemandangan yang menyenangkan untuk pendukung Manchester United. Pemandangan itu baru berubah jadi menyenangkan begitu tangan dan kaki De Gea sukses menghentikan bola-bola tersebut.
Saya tidak paham makhluk seperti apa yang merasuki tubuh De Gea. Entah alien, entah entitas super macam apa. Yang jelas, ia yang bersemayam dalam tubuh 192 cm itu tidak pernah bersikap “jorok" ketika harus menghalau bola. Perhatikan saja, jarang ada bola yang setelah ditepis De Gea “lari ke mana-mana” sehingga dengan mudah disambar oleh pemain lawan.
ADVERTISEMENT
Tiap bola yang ditepis De Gea tidak melompat jauh dari dirinya. Ini memudahkan dirinya untuk segera menghalau lagi ketika muncul serangan dadakan dari lawan mengincar bola rebound itu. Jika Anda memuji-muji gerak refleksnya, tolong kemampuannya untuk menepis bola tanpa menghasilkan rebound yang “jorok” tersebut juga diperhitungkan.
***
Tepat selepas pertandingan Arsenal vs Manchester United berakhir, dua orang itu disandingkan. Di hadapan mereka ada kamera televisi. Orang yang berdiri di sebelah kanan adalah Jesse Lingard, si pencetak dua gol ke gawang Arsenal, di sebelahnya adalah De Gea.
Saya tidak tahu bagaimana mekanisme pemilihan Man of The Match untuk Premier League. Apakah semua cuma didasarkan pada jumlah gol yang dicetak seorang pemain atau ada penilaian tidak kasatmata lainnya. Jika yang dipilih adalah yang kedua, semestinya label Man of The Match itu layak diberikan kepada De Gea.
ADVERTISEMENT
Namun, Premier League punya pertimbangan lain. Malam itu, pemain terbaiknya adalah Lingard.
Lingard, yang dari kecil adalah penggemar United itu, memang tidak tampil buruk. Selain mencetak dua gol, ia juga rajin melakukan pressing kepada bek-bek Arsenal sehingga mereka jadi kagok dengan sendirinya. Namun, dengan segala hormat, melakukan 14 penyelamatan dari berondongan sepakan pemain Arsenal adalah alasan utama mengapa United tidak kebobolan lebih dari satu gol malam itu. Oleh karenanya, De Gea lebih layak menjadi Man of The Match.
Melihat adegan Lingard memegang trofi Man of The Match itu, perkara soal kesunyian seorang penjaga gawang itu berbunyi nyaring di benak saya. De Gea memang akan dielu-elukan oleh rekan setimnya, oleh penggemar kesebelasan yang ia bela, cuplikan penyelamatan gawangnya akan disebar ke mana-mana di dunia maya, tetapi pengakuan secara sahih? Inilah yang ia perlukan. Inilah yang penjaga gawang perlukan.
ADVERTISEMENT
Sebagus-bagusnya Iker Casillas dan Gianluigi Buffon, mereka jelas tidak akan bisa menang jika bersaing di perebutan pemain terbaik dunia melawan Lionel Messi maupun Cristiano Ronaldo. Coba, kiper mana yang sukses menjadi pemain terbaik dunia (baca: Ballon d’Or) selain Lev Yashin?
Penjaga gawang hidup dalam kesunyiannya masing-masing. Mereka ada, tapi kehadirannya kerap terlupakan. Mereka hadir, tapi keberadaannya baru terasa ketika tim mereka berada dalam bahaya. Dengan peran sepenting itu, kehadiran mereka dalam penulisan formasi saja acap disingkirkan —banyak yang menulis formasi dengan 4-3-3, alih-alih 1-4-3-3.
Untuk semua nasib apes yang dialami oleh penjaga gawang, biarlah kita-kita saja yang merayakannya lewat percakapan-percakapan dan memori. Toh, akhir pekan kemarin, kita melihat bagaimana dua orang kiper membuat ceritanya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Jika sampai hari ini Anda masih berbicara soal De Gea, tolong yang lainnya juga jangan dilupakan. Namanya adalah Alberto Brignoli.