Luis Milla, Enrique, Figo: Para Penyeberang di El Clasico

23 April 2017 21:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Luis Milla kala menangani tim junior Spanyol. (Foto: Getty Images)
Dari The Old Firm Derby di Skotlandia, Derby della Madonnina di Italia, Superclásico di Argentina, hingga Der Klassiker di Jerman, sepak bola akan selalu punya kisah menyoal rivalitas.
ADVERTISEMENT
Tapi, satu yang spesial dan tak ketinggalan tentu saja laga El Clasico dari Spanyol yang menyuguhkan pertandingan Real Madrid versus Barcelona. El Clasico pada jornada ke-33 La Liga Spanyol ini tentu selalu menyedot perhatian dunia. Jika kembali menelisik ke belakang, pertemuan dua klub ini tentu memiliki banyak cerita yang tak akan habis dikupas.
Contoh: ingatkah Anda pada insiden Luis Figo, yang mengambil sepak pojok di Camp Nou -- kandang Barcelona-- dilempari kepala babi? Ya, ia diperlakukan seperti musuh dalam suatu perang yang sejatinya harus ditembak dan diharapkan mati. Semua karena ia dianggap pengkhianat setelah menyeberang ke Real Madrid?
Ya, ya, ya… itu maksudnya, ini soal orang-orang yang menyeberang. Mereka pernah membela Madrid, tapi kemudian bermain untuk Barcelona —begitu juga sebaliknya. Kami di kumparan sepakat untuk menyajikan sedikit cerita pengantar jelang pertandingan yang akan dihelat di Santiago Bernabeu pada Senin (24/4/2017) dini hari WIB. Kendati sudah banyak yang mengetahui, sekadar mengingatkan kembali tentu tidak menjadi persoalan.
ADVERTISEMENT
Michael Laudrup
Pada 7 Januari 1995, Madrid menghadapi El Clasico dengan misi balas dendam usai kekalahan 12 bulan sebelum hari itu, mereka dipecundangi 0-5 oleh Barcelona.
Tapi, Barcelona tengah berharap-harap cemas, karena Michael Laudrup —yang pernah membela Barcelona dari 1989 hingga 1994 dan telah memberikan empat gelar La Liga berturut-turut—harus mereka hadapi malam itu.
Laudrup adalah salah satu pemain kunci kala berseragam Blaugrana, pesepakbola terbaik yang pernah ada dalam skuat yang dipimpin oleh Johan Cruyff. Bisa dibilang dia adalah orang yang paling imajinatif dan memiliki segalanya sebagai seorang pesepak bola.
Benar adanya. Laudrup benar-benar menghancurkan mantan timnya. Masuk pada menit ke-66 ia langsung mengambil peran sebagai pengatur serangan. Ia membuat Ivan Zamorano mengamuk. Zamorano mencetak tiga gol hari itu, dilengkapi dengan dua gol dari Jose Amavisca dan Luis Enrique —ya, Enrique yang kini jadi pelatih Barcelona. Madrid menang 5-0.
ADVERTISEMENT
Cruyff, yang dikabarkan bersitegang dengan Laudrup sehingga membuat si pemain hengkang, akhirnya memberikan pujian. "Ketika melihat Michael bermain, kita seperti dibawa ke alam mimpi, ilusinya begitu ajaib. Dalam dirinya ia berbertekad untuk menunjukkan kemampuannya bersama tim yang baru (Real Madrid), tidak ada orang di dunia yang mempu mendekati kemampuannya,” kata Cruyff seperti dilansir These Football Times.
Dua tahun berseragam Madrid, Laudrup sukses memenangi satu gelar La Liga dengan mencatatkan 12 gol dalam 62 pertandingan. Walau tak meraih begitu banyak gelar namun ia adalah seorang maestro pesepakbola yang mampu menunjukan kualitasnya ketika membela sebuah klub.
Luis Figo
Musim panas tahun 2000, Real Madrid dengan penuh bangga memperkenalkan kapten Timnas Portugal, Luis Figo. Mereka berhasil merayunya untuk pindah dari Barcelona menuju Santiago Bernabeu. Tak tanggung-tanggung mahar 37,2 juta pundsterling kala itu menasbihkan dirinya menjadi pesepak bola paling mahal sejagat.
ADVERTISEMENT
“Saya senang berada di sini dan berharap bisa bahagia seperti apa yang saya alami selama bertahun-tahun ketika di Barcelona. Awalnya saya tidak yakin (dengan kepindahan ini), tetapi saya datang ke Real Madrid untuk mendapatkan gelar prestisius dan memperbaiki kondisi finansial saya. Saya ingin bermain sepakbola dan meraih gelar lebih banyak lagi,” ujarnya seperti dilansir The Independent.
Lalu ia mengenakan jersey putih dengan nomor 10 yang akan dia pakai untuk enam musim ke depan. Mantan kapten Barcelona itu dipresentasikan oleh presiden baru Real Madrid, Florentino Perez, yang diapit striker legendaris Argentina, Alfredo di Stefano, yang kala itu menjabat sebagai presiden kehormatan klub.
Amarah tentu tak tertahankan. Kekecewaan publik Camp Nou tidak bisa digambarkan. Bagaimana tidak, dalam kurun lima tahun mengenakan seragam Barcelona, Figo dipuja bak raja dan dia juga merupakan kapten tim. Dalam total 172 pertandingan, dia mencetak 30 gol dan membantu Barca meraih dua gelar La Liga, dua Piala Spanyol, Piala Super Eropa, Piala Super Spanyol, dan Piala Winners.
ADVERTISEMENT
Maka, jangan heran jika pada sebuah laga El Clasico pada November 2002, sepenggal kepala babi dilemparkan ke arahnya.
Kepala babi untuk Luis Figo. (Foto: Marca)
Luis Enrique
Tidak ada cinta yang hilang…
Begitu romansa yang tercipta kala Luis Enrique kembali ke Santiago Bernabeu untuk pertama kalinya. Namun, kali itu, pada sebuah hari di tahun 2014, ia menjadi pelatih Barcelona.
Siapa yang menyangka pria asal Sporting Gijon ini, setelah lima tahun kebersamaannya dengan Madrid, memutuskan untuk pindah ke Barcelona.
Usut punya usut ia memang tak nyaman karena tak mendapat dukungan penuh dari Madridista. Bahkan menjelang akhir masa baktinya di Madrid musim 1995-96, pemain internasional Spanyol itu semakin frustrasi karena merasa kurang dipercaya oleh pelatihnya saat itu, Jorge Valdano. Padahal, Enrique masih mendapatkan 41 kesempatan tampil sepanjang musim.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak bermain dan saya tidak bermain. Ini memperjelas masa depan saya dan saya akan berbicara dengan agen saya. Kalau saya beristirahat terus seperti ini, saya bisa bermain sampai usia 60 atau 70!” sembur Enrique.
Enrique pindah dengan gratis. Keputusan tepat? Bisa jadi. Pasalnya, Enrique memenangi lebih banyak trofi di Barcelona ketimbang di Madrid. Empat di antaranya adalah trofi-trofi La Liga dan Copa del Rey.
Ronaldo
Ronaldo Luis Nazario de Lima adalah fenomena. Bakat alami.
Pada musim panas 1996, langkah Barcelona untuk mendekati dan bernegosiasi dengan pemuda berusia 19 tahun itu terbukti tepat. Total 42 gol yang ia cetak dalam 46 laga di Eredivisie bersama PSV Eindhoven adalah alasan kuat.
ADVERTISEMENT
Jika Anda melihat bagaimana Ronaldo muda bermain —jauh sebelum diganggu oleh cedera lutut—, memberikan aplaus adalah reaksi yang wajar. Dari pekan ke pekan, Ronaldo terbiasa berlari dengan bola di kakinya dan membuat bek-bek lawan pontang-panting.
Solo run adalah santapan sehari-harinya. Ronaldo seakan-akan tidak butuh suplai dari rekan-rekan setimnya. Berikan saja dia bola, maka dia akan menggiringnya sendirian hingga kotak penalti lawan dan menyelesaikannya.
Setelah bermain selama lima musim dengan Internazionale Milan, dan diganggu berbagai cedera, Ronaldo menyeberang ke Real Madrid. Ia jadi bagian dari kebijakan Galacticos Florentino Perez yang sedang gemar-gemarnya mengumpulkan bintang.
Di Madrid-lah Ronaldo akhirnya mendapatkan gelar juara La Liga (dua kali). Hanya saja, kendatipun masih menunjukkan performa apik di tiga musim awalnya, Ronaldo mulai kehabisan bensin di dua musim terakhirnya bersama Los Blancos. Hantu cedera itu, ditambah masalah kegemukan badan, membuntuti dan terus mengganggunya.
ADVERTISEMENT
Luis Milla
Arsitek anyar Tim Nasional Indonesia dan Timnas Indonesia U-22 ini juga salah satu orang yang pernah bermain untuk Real Madrid dan Barcelona. Mengawali karier bersama klub Truel, ia kemudian bergabung bersama akademi terkemuka Barcelona, La Masia.
Selama empat tahun berseragam Blaugrana, Milla —yang berposisi sebagai gelandang bertahan— sukses mencatatkan 54 penampilan di liga dengan mengoleksi dua gol. Ia juga turut membantu Barcelona meraih gelar juara La Liga pada musim 1984, Copa Del Rey 1989 dan Piala Winners pada 1989.
Namun, ia memutuskan memutuskan untuk berlabuh ke Real Madrid pada 1990 karena pada akhir masa baktinya bertengkar dengan sang pelatih, Johan Cryuff .
Saat mengenakan seragam Madrid selama tujuh musim, ia mencatatkan 165 pertandingan di liga mencetak tiga gol. Milla berhasil menyabet dua gelar La Liga pada musim 1994 dan 1996, menjuarai Copa del Rey 1993, dan Supercopa Spanyol pada 1993.
ADVERTISEMENT
Sebagai pemain yang pernah memperkuat keduanya, Milla tentu pernah merasakan panasnya atmosfer El Clasico. Ia juga sempat membantu Madrid menyingkirkan Barcelona di semifinal Copa del Rey 1993.
Milla berada satu tim dengan Luis Enrique, Ivan Zamorano, dan Fernando Hierro, di Madrid. Madrid pun pun kemudian menjadi juara dengan mengalahkan Real Zaragoza 2-0 di babak final.
Milla tampil penuh di laga final pada 26 Juni 1993 tersebut, kendati tak menyumbang gol dalam laga puncak.
Luis Milla, pelatih Timnas Indonesia. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)