Yang Ada di Benak Johann Zarco

27 Maret 2017 14:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Zarco saat membalap di Le Mans, 2014. (Foto: Wikimedia)
Saya selalu membayangkan apa yang ada di benak seseorang ketika menghadapi sebuah situasi. Contoh: apa yang ada di benak Yukio Mishima ketika pada musim gugur 1970, ia menghunus pedang lalu menghujamkannya ke tubuh sendiri.
ADVERTISEMENT
Mishima pernah menggarap dengan amat mendetail ritual seppuku (ritual bunuh diri) lewat novelet yang ia tulis pada musim gugur 1960, Yūkoku (Patriotisme). Novelet tersebut menceritakan bagaimana seorang letnan bernama Shinji Takeyama, di tengah pergulatan batinnya untuk menuruti perintah atasan menghabisi para tentara yang memberontak atau setia kepada para pemberontak itu —yang kebanyakan adalah teman-temannya, memutuskan untuk melakukan seppuku di hadapan istrinya.
Novelet itu menjadi ironis jika mengingat Mishima memilih mati dengan cara (dan dalam situasi) yang sama. Pada November 1970 di Ichigaya, setelah usahanya menyandera Jenderal Masita, si Jenderal Besar pasukan beladiri Jepang, dan khotbahnya menyoal patriotisme tak diindahkan, Mishima memutuskan menyobek perutnya dengan katana pendek yang sudah ia siapkan.
ADVERTISEMENT
Mereka bilang, tepat sebelum nyawa dicabut, kisah hidup Anda akan berkelebatan dengan sendirinya di depan mata. Jika memang demikian, entah apa yang berkelebatan di depan mata Mishima. Barangkali saja ada perasaan kalah dan malu di situ.
Sepanjang hidupnya, Mishima adalah nasionalis garis keras —bahkan sempat disebut fasis gila— yang terus mempertanyakan modernisasi Jepang tanpa mempedulikan identitas akar bangsa sendiri. Melihat khotbahnya soal patriotisme hanya jadi bahan tawaan adalah perih yang tak terperi, pedih yang tak tertanggungkan.
***
Dalam napas yang nyaris sama, saya membayangkan apa yang ada di benak para joki kuda besi ketika memacu tunggangan mereka lebih dari 100 kilometer per jam. Jika di ujung nyawa Anda akan melihat hidup berkelebatan dengan cepatnya, saya mengira para joki kuda besi itu justru mengalaminya di tiap balapan.
ADVERTISEMENT
Perkara apa yang ada di benak mereka, silang sengkarut dan tetek bengek persoalan di luar trek, bisa jadi sirna. Benak mereka kosong mendadak. Yang ada hanyalah denyut mesin, degup adrenalin, dan kilasan trek yang lewat begitu saja.
Pada suatu kesempatan di masa mudanya, Valentino Rossi pernah ditanya pertanyaan standar oleh sekelompok jurnalis: “Apa yang membuatmu bisa terus berada di depan?” Rossi, dengan gaya iseng dan cengiran khasnya, menjawab sekenanya: “Full throttle!
Tancap gas.
Rossi, sekalipun setengah bercanda, mengisyaratkan bahwa di atas lintasan, hal-hal lain di luar si pebalap, tunggangannya, dan gas di cengkeraman mereka, menjadi tidak penting. Memacu kuda besi di atas 100 kilometer per jam berubah menjadi hidup itu sendiri. Kecepatan menjadi idealisme yang tak bisa diganggu-gugat, mirip-mirip dengan patriotisme yang dipegang Mishima sampai ujung hayatnya.
ADVERTISEMENT
Dengan kecepatan sebagai dewa, maka —dalam beberapa konteks— sesungguhnya tak jadi soal apakah jika di akhir balapan si joki kuda besi menjadi juara atau tidak. Jika banyak orang melihat seorang pebalap sudah cukup cepat, sekalipun akhirnya ia tergelincir atau mengalami crash, ia sudah cukup menunjukkan dirinya layak untuk diperhitungkan di balapan berikutnya.
Lalu, tersebutlah Johann Zarco.
Status Zarco di MotoGP 2017 memang “cuma” seorang rookie. Namun, bagi mereka yang sudah mengikuti sepak terjangnya di Moto2 selama beberapa tahun terakhir, Zarco bukanlah pebalap sembarangan. Titel juara dunia Moto2 dalam dua tahun terakhir sesungguhnya sudah cukup untuk membuatnya mendapatkan perhatian.
Dengan usia yang sudah 26 tahun, Zarco memang bukan Marc Marquez, yang kerap disebut alien hanya karena tampil begitu hebatnya di usia yang sangat muda dan langsung mencuat di musim perdananya di MotoGP. Zarco adalah tipe sensasi yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Memulai balapan GP Qatar, Senin (27/3/2017) dini hari WIB, dari urutan keempat, pebalap asal Prancis itu langsung melesat ke depan. Ia kemudian menyalip Andrea Iannone, yang sempat memimpin balapan, di tikungan keenam dan tampak akan menghadirkan kejutan di seri pembuka.
Zarco seakan mengejawantahkan ucapan Rossi muda dengan baik: tancap gas. Tapi, tak hanya itu. Keputusannya berjudi dengan menggunakan ban belakang soft, yang ia sendiri identikkan seperti bermain poker, terbukti ampuh.
Selama beberapa putaran, Zarco berada di puncak dunia. Hal-hal lain, seperti statusnya sebagai rookie yang datang terlambat ke arena MotoGP, menjadi tertepikan sejenak. Keunggulan 1,5 detik atas pebalap yang ada di belakangnya, Andrea Dovizioso, menunjukkan bahwa Zarco sedari awal sudah siap betul melakoni balapan perdananya di kelas teratas.
ADVERTISEMENT
Yang ada di dalam benak Zarco kala itu hanya satu: podium. Ya, dengan kecepatannya di balapan itu, cukup pede untuk setidaknya finis di urutan ketiga. Namun, memimpin dengan keunggulan yang cukup baik membuat harapannya sedikit meninggi. Mengapa tidak menjadi juara sekalian?
Dan begitulah, ketika hidup sedang berlari dengan kencang, biasanya kelengahan itu muncul dan mala menghajar dengan seketika. Ketika menyadari kecepatannya sudah mencapai batas, Zarco melakukan kesalahan minor dengan menikung sedikit terlalu jauh. Motornya tergelincir, ia pun terjatuh. Dalam penyesalan yang lamat-lamat muncul di benaknya, ia berjalan menghampiri motornya yang sudah terguling di gravel trap sembari memegangi kepalanya. Ia tahu balapannya selesai.
“Sangat disayangkan, tentu saja. Saya jelas mungkin naik podium. Tapi, untuk balapan pertama, ini bagus untuk mental dan kepercayaan diri saya. Sekarang saya bisa melihat bagaimana pebalap lainnya mengontrol motor mereka dan bersikap pintar pada saat balapan. Saya belajar dari sini,” kata Zarco seperti dilansir Crash.
ADVERTISEMENT
Penyesalan, bagi Zarco, akhirnya hanya lewat sekelebatan saja. Yang ada di pikirannya setelah penyesalan itu lewat hanyalah tekad. Tekad untuk naik podium di balapan berikutnya, di Argentina, pada 9 April mendatang.
“Seperti yang sudah saya bilang, saya tidak terlalu bagus di sini. Saya tidak mengakhiri balapan dengan baik. Tapi saya tahu, saya akan melakukannya di balapan berikutnya.”