'Asa' Sadarkan Pentingnya Rangkulan Keluarga untuk Korban Kekerasan Seksual

Konten dari Pengguna
5 Desember 2021 22:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roswita Hijriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto ilustrasi kekerasan seksual. From: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi kekerasan seksual. From: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Scroll-scroll-scroll-scroll adalah kegiatan yang saya lakukan untuk mengisi waktu luang, dengan kata kunci "film pendek" yang saya cari di youtube, saya menemukan sebuah film berjudul 'Asa'. Film pendek yang sangat menarik, kisahnya sangat relate dengan kehidupan orang di desa atau kota. Mengangkat isu sensitif tentang perempuan yang dalam situasi tertentu selalu menjadi pihak yang disalahkan.
ADVERTISEMENT
Film pendek 'Asa' mengisahkan tentang seorang perempuan bernama Shinta yang masih duduk di bangku sekolah. Melalui jaringan internet dan teknologi yang semakin canggih, Shinta bertemu dengan seorang laki-laki bernama Alex. Atas pertemuannya lewat media sosial itu, mereka sepakat untuk bertemu langsung. Namun, hal yang tidak diinginkan terjadi, Alex yang ternyata sudah memiliki istri itu mengajak Shinta untuk melakukan 'hubungan'. Shinta tidak menyetujui, namun laki-laki tidak tau diri itu bersikeras memaksa Shinta untuk melakukan hal tersebut demi memuaskan nafsunya.
Rekaman video sudah tersebar luas dan hasil testpack sudah menunjukkan bahwa Shinta berbadan dua. Alex menghilang, keluarga dibuat malu. Ibunya ingin Shinta dinikahi, sementara Ayahnya ingin kasus anaknya itu ditindak lanjut sampai hukum. Perbedaan pendapat dan perdebatan antara orang tua terjadi, hingga pada akhirnya menemukan jalan keluar terbaik untuk Shinta.
ADVERTISEMENT
Melalui film ini, saya ingat akan kejadian-kejadian serupa yang sampai saat ini masih sering terjadi. Adanya pemaksaan dalam melakukan 'hubungan' yang berujung keterpurukan bagi salah satu pihak. Dalam kondisi seperti ini, mereka yang menjadi korban sangat perlu dukungan dari berbagai pihak, terutama keluarga. Namun, kebanyakan keluarga maupun lingkungan sekitar mengacuhkan hal tersebut, menyudutkannya menjadi seseorang yang paling bersalah, dan melihatnya menjadi seseorang yang paling hina. Belum lagi jika korbannya masih duduk di bangku sekolah yang seharusnya masih perlu bimbingan, namun harus merasakan diasingkan oleh teman-teman, tidak dirangkul oleh guru selaku pembina di sekolah, dan lebih parahnya harus dikeluarkan dari sekolah. Jika sudah seperti ini, korban yang sedari awal merasakan keperihan akan semakin sakit, dan terus-terusan dipenuhi rasa bersalah akan kejadian yang bahkan ia sendiri pun tidak mau merasakannya.
ADVERTISEMENT
Diacuhkan lingkungan, lalu diacuhkan pula oleh hukum. Hukum yang berjalan tidak seperti hukum yang seharusnya berjalan, orang-orang yang mengerti hukum seperti tidak memahaminya. Kasus kekerasan seksual semakin meningkat, hal ini membuktikan adanya rasa tidak peduli bagi mereka yang paham hukum, yang seharusnya menjalankan tugasnya, memproses dan menghukum, bukan mengacuhkannya. Kasus kekerasan seksual ini bisa mengakibatkan korban bunuh diri karena tidak mendapat keadilan, menandakan bahwa hukum di dunia ini masih saja tumpul ke atas dan berpihak pada mereka yang ber-uang.
Sudah saatnya orang-orang dari berbagai macam kalangan sadar akan kepentingan seperti ini. Dengan merangkul korban kekerasan seksual, memberikan dukungan dan rasa aman, bukan malah menjauhinya. Rasa trauma akan terus menghampiri, oleh karena itu peran keluarga dan lingkungan sangat penting untuk korban. Ketajaman hukum juga diperkukan untuk tersangka kejahatan kekerasan seksual ini, bukan semata-mata hanya untuk menenangkan korban, tetapi juga untuk memenangkan keadilan.
ADVERTISEMENT