
Tiga orang Tionghoa diundang menjadi bintang tamu acara bincang-bincang TV edisi Imlek. Dua di antaranya politikus, satu sisanya konsultan politik. Ketika masuk, si politikus perempuan diiringi lagu F4, boyband dari Taiwan. Dua tamu lainnya, laki-laki, diiringi musik tema film Once Upon A Time In China sambil diminta bergaya kungfu. Dalam bagian lain, pembawa acara meminta mereka untuk menyanyi Mandarin, memperagakan kungfu (lagi), dan berlagak menjadi pedagang elektronik di Glodok.
Adegan-adegan itu dipamerkan dalam talkshow “Rosi” di Kompas TV pada Imlek tahun lalu dengan tajuk “Saya Tionghoa, 100% Indonesia”. Pameran “kecinaan” tersebut mungkin tidak diniatkan rasis, tapi jelas ia berangkat dari rasisme. Dan banyak media di Indonesia tampaknya ketagihan meritualkan hal serupa tiap Imlek.
Rasisme adalah kerangka berpikir yang menyediakan cara melihat dunia dalam kategori ras. Manusia bisa saja dikelompokkan dalam kategori “jenis bingkai kacamata” atau “bentuk jempol kaki”, tapi rasisme membuat manusia dikelompokkan dalam kategori ras dan etnis. Rasisme mengajak kita untuk melihat kelompok yang berbeda pertama-tama dari identitas rasnya. Karena itulah kita terdorong untuk mengidentifikasi seseorang sebagai “sutradara Tionghoa” atau “atlet keturunan”, ketimbang menggunakan variabel non-rasial yang memungkinkan kita mengenali orang yang sama sebagai “sutradara berkacamata kotak” atau “atlet berjempol kaki mungil”.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814