Belajar Hukum: Cara KPK Buktikan Keabsahan Alat Bukti Elektronik

Roy Riady
Praktisi Hukum
Konten dari Pengguna
13 Februari 2019 12:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roy Riady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Barang Bukti di Sidang Praperadilan Setya Novanto Foto: Antara/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Barang Bukti di Sidang Praperadilan Setya Novanto Foto: Antara/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
Bukti elektronik terkadang dijadikan bukti utama oleh penuntut umum dalam proses pembuktian di persidangan dalam kasus tindak pidana korupsi. Mengapa disebut bukti utama? Karena harus diakui kalau pelaku kejahatan kerah putih (koruptor) memiliki modus yang rapi dalam melakukan perbuatannya.
ADVERTISEMENT
Ia tidak akan berhubungan banyak orang, cukup berhubungan dengan satu orang saja dalam melaksanakan perbuatannya. Sehingga dalam proses penyidikan, didapatkanlah keterangan saksi yang berdiri sendiri atau disebut saksi berantai (kettingbewijs).
Saksi seperti ini rentan, karena ketika saksi satu mencabut keterangannya di persidangan, maka dapat terputuslah peristiwa hukum yang dapat didakwakan kepada terdakwa. Ada beberapa kasus yang memang pelaku memiliki modus seperti di atas, yaitu hanya berhubungan dengan satu orang saja yang tujuannya berusaha meninggalkan jejak perbuatannya.
Apalagi menjadi tren saksi mencabut keterangan di persidangan beberapa perkara di pengadilan tipikor menjadi problematika bagi penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya, sehingga diperlukan alat bukti lain yang dapat membuktikan dakwaan penuntut umum. Salah satunya adalah bukti elektronik yang didapatkan sebelumnya dari proses penyitaan di penyidikan.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah teori yang dibawakan oleh Dr. Edmund Locard, yang merupakan pelopor dalam ilmu forensik dan kriminologi dari Prancis, yaitu Teori Locard Exchange. Pada pokoknya, teori ini mengatakan, “Every contact leaves a trace (setiap kontak yang terjadi akan meninggalkan jejak)”.
Maksud teori ini menjelaskan bahwa siapapun, apapun, ataupun kedua-duanya yang melakukan kejahatan di lokasi kejadian akan meninggalkan sesuatu ketika mereka meninggalkan kejadian. Jejak ini dapat berupa sidik jari, potongan rambut, dan jejak kaki.
Pada kasus kejahatan korupsi, penggunaan perangkat IT, baik dengan ponsel memanfaatkan aplikasi, seperti WhatsApp, Twitter, Telegram, SMS; maupun media elektronik lainnya berupa CCTV/percakapan suara, biasanya dapat meninggalkan jejak digital dari pelaku kejahatan. Jejak digital tersebut biasanya menjadi alat bukti utama dari penyidik dan digunakan oleh penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya dalam persidangan, terjadi perdebatan antara penuntut umum dengan penasehat hukum/terdakwa ketika bukti rekaman CCTV maupun percakapan suara, yang dipindahkan ke media penyimpanan berbentuk CD/DVD, itu diputar oleh penuntut umum di persidangan. Adapun perdebatan tersebut mengenai keabsahan perolehan bukti elektronik berupa media penyimpanan berbentuk CD/DVD dan keaslian isi dari media penyimpanan berbentuk CD/DVD yang bersumber dari CCTV ataupun rekaman percakapan.
Bahkan, perdebatan tidak hanya mengenai bukti elektronik saja, melainkan terjadi juga silang pendapat antara ahli yang menerangkan terhadap bukti elektronik tersebut, baik itu ahli yang dihadirkan oleh penuntut umum maupun yang dihadirkan oleh penasehat hukum/terdakwa. Salah satu contoh perkara yang terjadi perdebatan mengenai bukti elektronik adalah perkara menghalang-halangi proses penyidikan (obstruction of justice) Pasal 21 UUTPK dengan terdakwa Fredrich Yunadi dan perkara memberikan keterangan tidak benar Miryam S. Haryani (obstruction of justice) Pasal 22 UUTPK.
ADVERTISEMENT
Timbul pertanyaan, bagaimana penuntut umum dapat meyakinkan bukti elektronik itu sebagai bukti yang sah untuk membuktikan dakwaannya?
Kedudukan Bukti Elektronik sebagai Alat Bukti
Maksud bukti yang sah terhadap bukti elektronik ini adalah bukti elektronik itu, baik secara perolehan maupun isinya, dapat diperoleh dengan cara yang sah dan legal. Kedudukan bukti elektronik sebagai alat bukti yang mandiri telah dipertegas eksistensinya melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.”
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 5 ayat (2) juga menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”
ADVERTISEMENT
Bahkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah juga telah diakui dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi, sebagaimana terdapat pada ketentuan Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:
“Alat bukti yang sah dalam dalam bentuk Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
ADVERTISEMENT
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 26 A huruf a menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik”, misalnya data yang disimpan dalam mikrofilm, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM), sedangkan yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” adalah tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimile.”
ADVERTISEMENT
Bukti Elektronik berupa CCTV di Tempat Umum/Perkantoran/Rumah
Dalam perkara Fredrich Yunadi, penasehat hukum/terdakwanya keberatan atas CCTV di rumah sakit yang dihadirkan oleh penuntut umum saat di persidangan. Dalil keberatan penasehat hukum/terdakwa, yaitu CCTV tersebut diambil bukan oleh penegak hukum sebagaimana pasca-putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 dengan pemohon Setya Novanto menafsirkan pasal 5 ayat (1) dan (2) dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26 A UU Tipikor menyatakan bahwa khusus bukti elektronik (informasi/dokumen elektronik) harus dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Sidang Fredrich Yunadi di Pengadilan Tipikor Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Terhadap keberatan penasehat hukum/terdakwa Fredrich Yunadi tersebut, Argumentasi penuntut umum, yaitu CCTV di rumah sakit bukanlah tindakan penyadapan yang dilakukan oleh penegak hukum melainkan elektronik yang berupa CCTV yang biasa dipasang masyarakat di rumah maupun di kantor pada perusahaan/instansi/rumah sakit yang tujuannya menjaga keamanan dari pencurian. Yang terpenting CCTV itu dilakukan prosedur penyitaan dan ketika dipindahkan ke media penyimpanan dapat dijaga keasliannya.
ADVERTISEMENT
Metode Hash sebagai Bukti Keaslian Bukti Elektronik di Persidangan
Salah satu ahli IT dalam perkara MIRYAM S. HARYANI di persidangan tipikor Jakarta Pusat mengatakan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE pada pasal 6 pada pokoknya menerangkan barang bukti digital yang dianggap sah apabila yang dapat dijamin keaslian dan keutuhannya. Keaslian dan keutuhan tersebut dilakukan dengan cara proses Hash, sehingga barang bukti digital itu sah, saat dilakukan analisa oleh pihak manapun sampai di depan pengadilan, barang bukti itu pasti tetap akan sama seperti awalnya.
Miryam Haryani Foto: ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
Di KPK, proses pengambilan bukti elektronik yang dilakukan penyitaan oleh penyidik biasanya diikuti oleh tindakan Hash yang dilakukan oleh unit Digital Forensik KPK. Unit Digital Forensik ini berdasarkan keahliannya dan di bawah Surat Perintah Tugas Pimpinan KPK untuk melakukan supporting tindakan penyidik dalam mengambil bukti elektronik dan menjaga keasliannya.
ADVERTISEMENT
Menurut Didik Sudyana, sebagaimana dikutip dalam Blog Didik Sudyana, membahas fungsi Hash untuk menjaga integritas bukti digital. Beliau juga mengutip sebuah buku berjudul Managing Discovery of Electronic Information (2007) yang ditulis Barbara J. Roshtein (2007). Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, fungsi Hash, yaitu:
Suatu pengkodean unik yang diberikan ke file, kelompok file, atau bagian dari file, menggunakan standard algoritma matematika untuk memberikan karateristik atau semacam identitas pada kumpulan data tersebut. Algortitma yang paling sering digunakan yaitu MD5 dan SHA, yang mana akan menghasilkan nilai angka khusus dan probabilitas munculnya angka yang sama untuk 2 buah data tersebut 1 berbanding 1 miliar. Hashing digunakan untuk menjamin keaslian data original (sebelum di akuisisi) dan dapat digunakan sebagai cap digital seperti cap atau stempel yang digunakan pada dokumen kertas”.
ADVERTISEMENT
Kami tidak menguraikan bagaimana cara pengambilan metode Hash itu dengan rumus dan angka-angkanya, tetapi yang ingin kami tekankan, metode Hash ini dalam dunia forensik sebagai tindakan memastikan pemeriksaan terhadap salinan barang bukti yang digunakan adalah asli dan dapat diyakinkan dalam proses pembuktian di persidangan.
Dan untuk beberapa perkara KPK yang menghadirkan bukti elektronik dipastikan ada Berita Acara Hash terhadap penyimpanan bukti elektronik ke dalam suatu media penyimpanan seperti CD/DVD. Penyidik tentunya sangat memahami jika tindakan-tindakannya yang tidak melalui metode hash atau ketika diperiksa ulang terdapat ketidaksamaan antara bukti asli dengan bukti salinan maka akan berdampak dengan tindakan penyidik tersebut di persidangan sebagai bukti yang tidak sah.
Jika fungsi Hash itu sendiri untuk menjaga keaslian bukti elektronik, maka ketika ahli menggunakan sumber bukti elektronik itu sebagai bahan analisa keahliannya. Sebagai contoh, ketika perkara Miryam S. Haryani, penuntut umum menghadirkan Dra. Reni Kusumowardhani, M.PSI, Psikolog sebagai ahli psikologi forensik yang menganalisis media penyimpanan (CD) yang berasal dari CCTV ruang pemeriksaan di KPK terhadap Miryam S. Haryani dan penyidik untuk melihat apakah ada tekanan yang dilakukan penyidik dalam pemeriksaan yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Dra. Reni Kusumowardhani, M.PSI, Psikolog tidak harus mengkroscek apakah media penyimpanan (CD) yang berasal dari CCTV itu asli atau tidak karena sudah ada tindakan penyidik bersama tim supporting digital forensik pada KPK melakukan Hash terhadap media penyimpanan (CD) tersebut. Selain itu, bukan kapasitas atau keilmuwan dari seorang ahli psikologi forensik untuk mengecek media penyimpanan (CD) tersebut sudah di-Hash atau belum.
Sekiranya, ada sebuah kasus tipikor lagi yang disidangkan dan penuntut umum menghadirkan bukti elektronik, baik itu berupa CCTV maupun bukti percakapan. Sepanjang itu dilakukan proses penyitaan dan dilakukan metode Hash saat memindahkan ke media lain berupa CD, hakim seharusnya sudah merasa yakin jika bukti elektronik itu sudah sesuai dengan keasliannya karena dengan metode Hash tujuannya menjaga integritas bukti elektronik.
ADVERTISEMENT