news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Lapas Sukamiskin, Sebuah Dilema

Roy Riady
Praktisi Hukum
Konten dari Pengguna
10 April 2019 11:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roy Riady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Eks Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen, saat diadili. Foto: ANTARA FOTO/Leci Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Eks Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen, saat diadili. Foto: ANTARA FOTO/Leci Kurniawan
ADVERTISEMENT
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung memutus bersalah Wahid Husen selaku Kepala Lapas Sukamiskin. Hukumannya: Pidana penjara selama 8 tahun, denda 400 juta rupiah subsidair 4 bulan.
ADVERTISEMENT
Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan Penuntut Umum yaitu dengan pidana penjara selama 9 tahun denda 400 juta rupiah subsidair 6 bulan.
Sedangkan ajudan Wahid Husen yang bernama Hendri Saputra diputus bersalah dengan pidana penjara selama 4 tahun, denda 200 juta rupiah subsidair 1 bulan. Putusan ini sama dengan tuntutan penuntut umum.
Ketika Hakim selesai membacakan putusan tersebut, Wahid Husen melalui penasihat hukumnya menyatakan keinginan untuk tidak dieksekusi di Lapas Sukamiskin. Pertimbangannya adalah ia mantan Kalapas dan dikhawatirkan mengganggu psikologis dirinya dan keluarganya.
Terlepas dari alasan itu, kami ingin menggambarkan sebuah fakta yang terdapat di Lapas Sukamiskin dan fakta tersebut dikaji secara teori tujuan pemidanaan, apakah Lapas Sukamiskin masih cocok dikhususkan untuk para napi tipikor?
ADVERTISEMENT
Lapas Sukamiskin Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
Dari kasus Wahid Husen, terungkap banyak fakta yang menegaskan bahwa Lapas Sukamiskin selayaknya "surga" sebagian dari napi, khususnya napi tipikor.
Dalam persidangan, misalnya, terungkap fakta jual-beli kamar tahanan sesama napi, fasilitas mewah dalam kamar, bilik asmara, penggunaan hp, dan bisnis renovasi sel kamar tahanan.
Bahkan ada kamar sel yang ditempati salah satu napi, dijual dengan harga Rp 700 juta untuk 2 kamar sel, satu kamar tidur, dan satu kamar dapur. Ini sudah dilengkapi fasilitas AC, kamar mandi di dalam, hingga tv.
Dari beberapa fakta tersebut, Lapas Sukamiskin selama ini sesungguhnya tidak mencerminkan teori tujuan pemidanaan bagi si pelaku (koruptor) sebagai efek jera untuk tidak mengulangi perbuatannya, karena disadari atau tidak, salah satu tujuan dijatuhkan pidana agar pelaku jera dan tidak mau mengulangi perbuatannya lagi.
ADVERTISEMENT
KPK sudah beberapa kali mengeluarkan kebijakan untuk membuat efek jera bagi pelaku tipikor: 1. Penggunaan rompi tahanan; 2. Pelaku harus masuk melalui pintu depan gedung KPK agar disorot media; 3. Pelaku harus menggunakan borgol.
Semua kebijakan tersebut tidak terlepas dari upaya untuk memberikan efek jera dan rasa malu bagi pelaku.
Borgol bagi tahanan KPK. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dalam sebuah teori tujuan pemidanaan yang pernah dikatakan Muladi mengenai teori Integratif (gabungan), ada empat tujuan: Pencegahan, perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat (mencegah balas dendam), dan pidana bersifat pengimbalan/pengimbangan.
Tujuan pemidanaan integratif ini seperti pedang bermata dua, sisi yang satu mengambarkan keadilan, yaitu keadilan bagi pelaku dan adil bagi masyarakat, sisi lain menunjukkan adanya perlindungan bagi pelaku dari tindakan balas dendam masyarakat, begitu pula masyarakat terlindung dari perbuatan yang tidak adil di mana pelaku menerima pidana atas perbuatannya.
ADVERTISEMENT
Pidana dijatuhkan secara proporsional sesuai perbuatannya dan tujuan lain adalah prevensi umum. Akibat penting dari pidana itu ialah pelajaran yang diberikan kepada masyarakat dan menimbulkan rasa sakit, begitu pula untuk memperbaiki penjahat.
KPK memang mengeksekusi sebagian besar terpidana tipikor di Lapas Sukamiskin Bandung, sehingga di lapas tersebut sekarang berkumpul warga binaan (napi) perkara tipikor yang hampir bisa dikatakan mantan pejabat yang dulu mempunyai pengaruh dan kekuasaan. Ada mantan Ketua DPR, mantan ketua parpol, mantan penegak hukum, hingga mantan kepala daerah.
Penempatan terpidana tipikor di Lapas Sukamiskin menjadi persoalan tersendiri. Tujuan untuk memperbaiki penjahat (pelaku) tidak tercapai bahkan menimbulkan kejahatan baru lagi di sebagian para napi.
Fahmi Darmawansyah, napi Lapas Sukamiskin yang menyuap Kalapas Sukamiskin Wahid Husen. Foto: Eny Immanuella Gloria/kumparan
Kebiasaan hidup enak di luar lapas, ketika masuk ke dalam lapas membuat sebagian mereka mengupayakannya dengan cara memberi suap ke oknum petugas lapas untuk mendapatkan fasilitas.
ADVERTISEMENT
Bahkan napi tipikor di dalam lapas membentuk "paguyuban" sebagai strata sosial baru di kalangan napi di dalam lapas suka miskin. Anggota Paguyuban dari napi tipikor ini bisa dikatakan lebih elite dari napi lain (napi pidum), bahkan mereka mengajukan ke kalapas agar mereka dapat diberi kemudahan ijin-ijin untuk keluar lapas seperti halnya izin berobat.
Fakta terungkap di persidangan dari pengakuan staf-staf Lapas Sukamiskin jika mereka merasa "segan" atau takut jika menegur napi-napi tipikor melakukan pelanggaran seperti penggunaan hp, kelebihan waktu besuk, dan pelanggaran lainnya di dalam lapas. Lebih ironi lagi ada sebagian napi tipikor yang memiliki kunci sel kamar sendiri yang tidak bisa dimasuki oleh petugas lapas selain ia sendiri yang bisa masuk ke kamar selnya.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya fakta “paguyuban” napi tipikor yaitu dengan latar belakang pejabat yang masih memiliki pengaruh dan uang akan menjadi “tekanan” secara psikologis buat petugas lapas termasuk kalapasnya.
Dengan uang akan menggoda petugas lapas dari staf sampai ke kalapas. Dalam sebuah teori behaviorisme dalam disipilin sosiologi di sebutkan teori yang psikologis, manusia tidak dipengaruhi bawaan lahir tetapi sikap tindak manusia yang mempengaruhi tingkah laku dilakukan karena respons terhadap lingkungannya.
Sebuah lapas yang di dalamnya berkumpul para napi tipikor yang memiliki pengaruh berupa uang atau koneksi akan membentuk tingkah laku orang-orang sekitarnya menjadi korup. Karena semua ditransaksikan dengan uang. Ada hubungan simbiosis mutualisme, saling ketergantungan kebutuhan yang dianggap menguntungkan yakni sebagian napi butuh fasilitas istimewa sedangkan oknum petugas lapas sampai ke kalapas membutuhkan uang.
Salat Id di Lapas Sukamiskin. Foto: Antara/M Agung Rajasa
ADVERTISEMENT
Pasca-OTT tersebut, Kemenkumham melalui Dirjenpas mengeluarkan surat edaran perihal pelaksanaan eksekusi terpidana korupsi di lapas. Surat tersebut menjelaskan pada sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan beberapa asas yang salah satunya asas terjamin hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu, sehingga warga binaan perlu dikenalkan dengan masyarakat dan tetap diberi kesempatan berkumpul dengan keluarga dan masyarakat.
Lanjutannya: Sebagai tindak lanjut pelaksanaan eksekusi terpidana kasus korupsi, dapat dilakukan di masing-masing wilayah yurisdiksi pengadilan yang menyidangkan perkara.
Perlu diapresiasi kebijakan yang dikeluarkan oleh Dirjenpas tersebut, sebagai upaya bentuk pembinaan tidak hanya bagi warga binaan saja, karena menurut hemat kami juga upaya untuk memperbaiki sistem pemasyarakatan yang ada di Lapas Sukamiskin. Sehingga dapat menjawab sebuah pengakuan jujur dari staf sampai ke kalapas di dalam persidangan mengatakan jika pelanggaran di dalam lapas sukamiskin sudah terjadi lama dan mereka tidak begitu berdaya untuk mengatasinya.
ADVERTISEMENT
Penempatan napi tipikor disebarkan ke lapas-lapas lain dan mereka bergabung dengan napi-napi dengan tindak pidana yang berbeda, tanpa ada perbedaan perlakuan, tanpa ada fasilitas mewah sehingga tujuan pemidanaan di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan berupa “pembinaan” yaitu untuk merehabilitasi napi dengan cara pengayoman terwujud.
Lapas haruslah sebagai tempat pembinaan bagi para napi, bukan sebaliknya: Menjadi tempat kejahatan baru dilahirkan.
Pintu masuk Lapas Sukamiskin. Foto: Kevin Kurnianto/kumparan