Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pertamina dengan Kehadiran BTP
25 November 2019 14:50 WIB
Saya memakai BTP (Basuki Tjahaja Purnama) sebagai ganti “Ahok” sesuai permintaannya sendiri (namun diabaikan publik sampai hari ini, termasuk pendukung garis kerasnya!), seperti yang ia publikasikan 17 Januari 2019 silam di akun Instagram.
Sejak mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang sebelumnya diharuskan memiliki dua nama (nama Tionghoa dan Indonesia), perkara nama Tionghoa seharusnya tidak lagi jadi masalah.
Barangkali, dia mengganti namanya guna menyampaikan pesan kepada orang-orang yang selama ini menerapkan garis penegas tentang “mereka”, bahwa BTP adalah bagian dari “kami” karena memiliki kesamaan identitas bersama, yaitu sama-sama bernama Indonesia.
Atau barangkali BTP melakukan itu sekadar iseng, dan tidak ada motivasi ndakik-ndakik tentang rekonsiliasi konflik yang pernah membuatnya mendekam di penjara selama dua tahun (dikurangi remisi 3,5 bulan) dalam kasus penistaan agama. Karena, toh, ia tetap menjadi musuh bersama.
Tidak jelas!
Sama tidak jelasnya dengan kehadiran BTP menggantikan Tanri Abeng di Pertamina sebagai Komisaris Utama.
Tidak jelas, karena menurut Erick Thohir, Menteri BUMN, “tangan dingin” BTP dibutuhkan untuk mengelola perusahaan pelat merah. Padahal, untuk mewujudkan hal itu harus berharap banyak pada Direktur Utama (Dirut), bukannya Komisaris Utama (Komut).
Tugas Komut tidak seberat Dirut karena hanya bertugas sebagai pengawas. Mengawasi direksi, bukannya menjalankan (dan mengelola). Apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang memiliki tangan besi di dalam mengelola perusahaan, jika selain mengawasi direksi dalam menjalankan persero, ternyata tangan besi itu harus berubah menjadi mulut pemberi nasihat?
Tapi BTP belum bekerja. Mengukurnya sekarang (dan berharap banyak dengannya) adalah sia-sia.
Namun, lima tahun yang lalu dan lima tahun yang akan datang mempunyai satu kesamaan: negara ini sama-sama dipimpin Jokowi, bukan?!
Saya berusaha mencari berita lima tahun ke belakang di tubuh Pertamina, dan belum menemukan hal yang memuaskan selain fakta lazim bahwa komisaris (tidak hanya di BUMN) hanyalah jabatan kehormatan (baca: pajangan).
Agak setuju dengan Kang Hasan, Jokowi menempatkan orang-orang yang entah kompetensinya sebagai Komisaris BUMN pada lima tahun ke belakang. Artinya Jokowi memiliki pola yang sama dengan pemimpim-pemimpin sebelumnya, di mana kebanyakan jabatan-jabatan komisaris diberikan kepada mantan menteri, mantan pejabat tinggi, atau pihak yang pernah membantu selama kampanye, dan tidak lebih sebagai jabatan Magabut (makan gaji buta).
Tentu ceroboh jika saya buru-buru menganggap BTP akan tega bekerja secara Magabut. Dengan kehadiran BTP, saya justru berharap besar pola-pola seperti itu berubah. Jika dirasa sulit melakukan perubahan besar, paling tidak terjadi perubahan kecil namun signifikan.
Kembali lagi, Komut hanya di posisi pengawas, dan tidak terlibat langsung dalam urusan operasional perusahaan pelat merah. Memang ada ruang demokrasi (politik) di dalam perusahaan, tapi perusahaan tetaplah ruang kerja. Itulah kenapa keputusan di dalam ruang kerja seperti rencana produksi, tender proyek, dan semisalnya tidak bisa diintervensi oleh komisaris.
Sampai sekarang saya masih menggali makna lebih dalam dari pernyataan Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, bahwa BTP memiliki kewenangan kuat untuk mengawasi direksi Pertamina, dan yang seolah-olah BTP adalah nafas baru di dalam Pertamina.
Kursi komisaris memanglah kuat dalam spektrum pengawasan. Betapa pun kuat pengawasan, kemampuannya hanya sampai pada level kebijakan. Dampak “nafas baru” ini akan lebih terasa jika BTP adalah yang mengeksekusi langsung, bukan?!
BTP memang dikenal sebagai figur yang memiliki kapasitas dalam leadership, tegas, detail (masih ingat “Pemahaman Nenek Lo”?) dan memiliki citra anti korupsi yang kental. Namun melihat wilayah yang menjadi ruang gerak seorang komisaris, menganggap BTP sebagai “umpan untuk memancing ular keluar dari sarangnya” saya kira kelewat berlebihan (demikian yang saya tangkap dari euforia tersebarnya foto hoaks BTP memakai seragam Pertamina beberapa hari silam).
Saya teringat pepatah bahwa ikan membusuk dimulai dari kepala. Saya percaya Erick Thohir bukanlah figur kaleng-kaleng yang mengambil langkah tanpa perhitungan matang. Dalam struktur organisasi, kursi Komut yang diduduki BTP berada di level atas (mengutip istilah Arya Sinulingga: ketua kelas). Dan sesuai pepatah itu, tugas BTP adalah mengipasi kepala ikan (direksi) agar kesegaran tubuhnya ke bawah tetap terjaga.
Jika akhirnya BTP benar-benar menjadi “nafas baru Pertamina”, dan ternyata membuktikan sebaliknya, anggap saja semua uraian saya di atas salah, dan ternyata saya terlalu mengada-ada.
Tapi jika tenyata kehadiran BTP tidak membawa perubahan apa-apa, alih-alih kehebohan ini hanya berakhir sebagai kehebohan belaka, semoga ini hanya kekhawatiran saya belaka.
Toh, kita sudah pernah mengalaminya.
Berkali-kali, pula.