Ditjenpas Gandeng Uni Eropa dan ESIWA, Bahas Reintegrasi Narapidana Ekstremis

Rupbasan Moker
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Kelas II Mojokerto Kantor Wilayah Jawa Timur Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
7 Mei 2024 15:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rupbasan Moker tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ditjenpas Gandeng Uni Eropa dan ESIWA, Bahas Reintegrasi Narapidana Ekstremis dan Risiko Tinggi
zoom-in-whitePerbesar
Ditjenpas Gandeng Uni Eropa dan ESIWA, Bahas Reintegrasi Narapidana Ekstremis dan Risiko Tinggi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) terus lakukan strategi inovatif dan kreatif dalam melakukan penanganan narapidana terorisme (napiter) demi mendukung keberhasilan rehabilitasi dan reintegrasi mereka. Salah satu langkah yang diambil Ditjenpas adalah menggandeng Uni Eropa dan Enhancing Security Cooperation in and with Asia (ESIWA) gelar Lokakarya Regional Bidang Pengelolaan dan Reintegrasi Narapidana Ekstremis dan Risiko Tinggi mulai Selasa (7/5) hingga Rabu (8/5) di Hotel Westin, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Saat membuka kegiatan, Direktur Pembinaan Narapidana dan Anak Binaan, Erwedi Supriyatno, memaparkan dalam membina napiter, Ditjenpas menggunakan pendekatan lunak (soft approach) untuk membangun hubungan positif (pro sosial) dalam bentuk keamanan dinamis akan mendukung keberhasilan program deradikalisasi mereka. Selain itu, digunakan pula pendekatan soft approach yang memungkinkan petugas untuk tetap memelihara keberlanjutan keberhasilan pembinaan napiter sampai mereka kembali ke masyarakat untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana.
“Tidak jarang para wali napiter tetap memiliki hubungan komunikasi yang baik dengan para mantan napiter yang membantu memelihara mereka dari pengaruh negatif jaringannya. Hal ini menjadi salah satu kekuatan dan praktik baik yang kami miliki dalam penanganan napiter di Sistem Pemasyarakatan, yaitu sustainable pro social model,” tegas Erwedi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Ditjenpas juga bersinergi dengan stakeholder terkait dalam keberhasilan membina napiter. “Kami laksanakan program pembinaan keagamaan yang bukan hanya melibatkan penyuluh keagamaan yang didukung oleh BNPT, tapi berinovasi bersama dengan Detasemen Khusus 88 untuk melibatkan napiter ideolog yang sudah terderadikalisasi dalam program safari dakwah sebagai pemateri. Program lainnya adalah dialog antara korban dan napiter yang didukung oleh AIDA, serta berkolaborasi dengan organisasi sosial masyarakat dan NGO, seperti peningkatan kapasitas serta penyusunan kebijakan dan kajian akademis,” urainya.
Erwedi mengakui dalam pelaksanaan pembinaan napiter, Ditjenpas masih menghadapi beberapa tantangan yang diharapkan bisa ditemukan solusinya dalam lokakarya ini, yaitu tersusunnya indikator keberhasilan pembinaan/deradikalisasi napiter, peningkatan kompetensi dan regenerasi Wali napiter yang perlu dilaksanakan secara terus menerus untuk mendukung keberhasilan program pembinaan napiter dengan baik, serta penyusunan kebijakan dan pedoman yang bisa membentuk suatu mekanisme penanganan napiter yang lebih terpadu dengan pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat. “Semoga kita dapat saling bertukar pengalaman, ilmu, pendapat, dan saran tentang upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas penanganan narapidana high risk kategori terorisme,” harap Erwedi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Marc Vierstraete-Verlinde sebagai Delegasi Uni Eropa menjelaskan lokakarya ini merupakan hasil kesepakatan antara Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam terkait praktik-praktik rehabilitasi napiter. “Lokakarya ini menjadi tindak lanjut dengan fokus pada menghubungkan petugas yang terlibat langsung dengan manajemen, rehabilitasi, dan reintegrasi tahanan berisiko tinggi, khususnya mereka yang dihukum karena pelanggaran terorisme,” terangnya.
Lokakarya ini diikuti peserta asal Ditjenpas, Wali Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan, serta perwakilan negara-negara asal Uni Eropa, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Selain paparan dari sejumlah pembicara, baik dari Ditjenpas, Wali Pemasyarakatan, dan beberapa negara Uni Eropa, para peserta juga berkesempatan untuk menyambangi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang untuk mempelajari manajemen penanganan narapidana risiko tinggi di Lapas tersebut.
ADVERTISEMENT