Kumparan Plus - Kala Koma - Ruwi Meita

Asklepios

7 Februari 2022 2:56 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Singapura, dua bulan lalu.
Tidak ada yang mati hari ini.
Nol.
Bagi James ini bukan hanya perkara angka, namun suatu prestasi yang harus dipertahankan. Jika angka nol itu berubah, mungkin julukan Asklepios yang disematkan padanya akan hilang. Tabib hebat dalam mitologi Yunani itu sudah menginspirasinya untuk menjadi dokter—meski dia tak pernah menyangka bakal dijuluki Asklepios.
Selama ia bekerja di rumah sakit ini, tak pernah ada pasien mati jika ia berjaga di IGD. Bukan berarti James hanya mendapat pasien mudah. Dia pernah mendapat pasien tabrak lari parah, pasien gagal jantung, pasien yang kehilangan banyak darah karena mengiris pergelangan tangan, bahkan suami yang digorok istrinya. Mereka memiliki persentase hidup rendah.
James tidak serta-merta mengacungkan tangan, lalu mereka sembuh. Tidak. Kenyataannya mereka tetap mati. Hanya saja mereka mengembuskan napas terakhir di luar jam jaga James.
Selalu akan ada yang mati. Mereka hanya bertahan sedikit lebih lama, seolah tak nyaman mati jika ada James.
Menurut James, julukan Asklepios itu terdengar berlebihan karena sebenarnya ini hanya masalah keberuntungan. Beberapa koleganya berkelakar, malaikat maut mungkin sungkan melakukan tugasnya jika ada James. James tak terlalu menyukai gurauan itu sebab dia tak suka dengan fiksi fantasi.
Kemarin para pasien efek gelombang panas datang membanjiri IGD. Lima orang tak bisa diselamatkan. Hari ini James mendapat giliran jaga pagi. Sama seperti kemarin, pasien gelombang panas juga berdatangan sejak pagi, namun sampai malam tak ada yang mati. Sebagian sudah dipindah ke ICU atau bangsal. Mereka semua bertahan. Entah esok.
Seharusnya James bisa pulang pukul tujuh malam tadi, namun karena masih banyak pekerjaan yang harus ditangani dan rumah sakit kekurangan tenaga, James harus menunda masa akhir giliran jaga sampai besok pagi.
“Gelombang panas di bulan April terdengar seperti kiamat sudah singgah di teras rumah kita,” keluh dokter Aisyah, teman sejawat James, sambil menghempaskan diri di kursi dan mulai menulis.
Aisyah juga memperpanjang jam jaga agar IGD tidak kolaps. Bedanya, dia punya keluarga yang menunggu di rumah sedangkan James tidak. James tidak pernah keberatan soal lembur. Apalagi rumah sakit ini selalu bisa diandalkan soal gaji tambahan lembur.
Tiba-tiba James teringat perkataan nenek penjaja minuman di Marina Bay. Saat James membeli dagangannya, nenek tersebut mulai berceloteh tentang musim yang sudah mulai kebingungan di bumi, tak bisa membedakan mana bulan yang tepat untuk singgah.
Mungkin pemanasan global lebih cepat datang dari prediksi, dan bumi memutuskan untuk menyeleksi manusia-manusia yang lemah agar bisa bernapas lebih lega. Ini hanya masalah keseimbangan. Alam tahu mana yang harus dikurangi dan mana yang harus ditambah. James sebenarnya tak terlalu peduli dengan hal ini. Tapi anehnya, dia selalu mengulang kalimat yang diucapkan nenek itu.
“Kiamat terjadi setiap hari. Kita hanya belum dapat giliran saja,” gumam James.
James membuyarkan lamunannya dan bangkit. “Mau kopi?”
Aisyah menggeleng. “Kopi tidak berpengaruh padaku. Lagipula aku akan pulang setelah pekerjaanku selesai.”
“Sama,” kata James berlalu sambil bergumam. “Aku hanya ingin minum.”
Lorong tempat mesin penjual minuman sepi. Jam kritis IGD sudah berlalu. Rumah sakit jadi lebih tenang, bernapas teratur sambil bersiap untuk esok hari.
James menengok jam tangannya. Sudah pukul satu dini hari. Jika beruntung, James bisa memejamkan mata selama dua atau tiga jam. Namun James masih berharap bisa bertemu dengan dia untuk sekadar bicara atau mengajaknya sarapan setelah jam jaga berakhir.
Semua bermula dari makan malam kolega di daerah Holland Village pekan lalu. Orang-orang bilang, pork knuckle dengan bir bir dingin di Baden Pub sangat enak. Masakan Jerman berupa paha babi itu dipanggang memutar hingga menghasilkan kulit luar yang renyah dan daging yang lembut di dalam.
Tadinya James ingin menolak ajakan teman-temannya itu. Tapi saat tahu perawat Pradnya ikut, ia berubah pikiran.
Perempuan itu sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali melihatnya. Ini bukan cinta pada pandangan pertama, sebab James tidak mempercayainya.
“Eh?”
“Saya tahu anda menyukai saya. Anda selalu menatap saya. Apa yang anda pikirkan tentang saya?”
“Aku hanya penasaran.”
“Semua selalu dimulai dari penasaran, lalu berlanjut pada ketertarikan.”
“Anda keberatan?”
Pradnya menggeleng. “Tidak. Semua orang punya perasaan dan hak untuk tertarik pada seseorang.”
“Jika anda tahu saya menatap anda, berarti anda juga memperhatikan saya,” kata James percaya diri. “Mungkin anda juga tertarik dengan saya.”
Pradnya tertawa kecil, lalu menatap James. “Bagaimana dengan apartemen anda?”
James tertegun. Ia berusaha mencerna apa yang dimaksud Pradnya.
“Sebentar lagi lewat rumah sakit.” Sopir taksi menyela, memberikan informasi.
Pradnya mengedipkan mata pada James.
“Lurus saja, Pak. Tidak jadi berhenti di sini,” jawab James sambil membalas tatapan Pradnya.
Di situlah malam panas itu dimulai. Mereka bergegas, bahkan sebelum James menutup pintu, Pradnya langsung membuka baju. Mereka melakukannya di ruang depan. Saat itu James sadar, suara Pradnya sama sekali tidak lembut. Parah dan kasar, tapi membuatnya bergairah. Apalagi saat Pradnya berteriak di kala puncak.
Putaran pertama di ruang depan belum selesai. Pradnya bertanya, di mana kamar James dan menariknya ke sana. Ranjang yang biasanya dingin jadi panas. Mereka bergumul di ranjang James yang tak besar. Saat itu James sadar, tatapan Pradnya ternyata sangat mengintimidasi, mampu mengontrol birahi dengan cara yang sangat liar.
Saat mereka selesai, James mengira tidak akan ada putaran ketiga. Namun setelah sekaleng bir tandas, Pradnya menariknya ke kamar mandi. Berendam berdua di bathtub yang hangat.
Keesokan paginya, James mendapati tempat tidurnya kosong. Pradnya sudah menyelinap pergi. James sama sekali tidak mendengar suaranya.
Seharian James tersenyum lebar, namun Pradnya bersikap formal seperti biasa kepadanya saat berpapasan di rumah sakit. Dia bertingkah seolah malam panas itu tak pernah ada. Bahkan Pradnya tak menghubungi James lagi.
Jika malam itu Pradnya tidak menikmatinya, pasti bohong besar. Pradnya terus meminta James untuk memuaskannya saat itu. James tahu betul, mana yang pura-pura dan mana yang tidak. Jika perempuan itu hanya berpura-pura, harusnya dia jadi bintang film saja daripada mengurusi orang sakit.
James bingung. Perempuan itu kini bertingkah seolah tak ada apa-apa yang terjadi di antara mereka. Foto: Tim Kreatif kumparan
James menoleh saat mendengar suara langkah. Dadanya berdetak keras. Pradnya menghampirinya. Apakah Pradnya akan mengatakan sesuatu padanya? Atau jangan-jangan, Pradnya akan memintanya melupakan apa yang terjadi tadi malam? James tidak bisa membaca ekspresi perempuan itu.
Jika iya, artinya James tak perlu lagi berharap. Bukan apa-apa, James hanya merasa sayang saja. Ia akui, malam itu adalah seks terhebat selama beberapa tahun terakhir. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, mereka tak pernah berciuman bibir. Setiap kali James hendak menciumnya, Pradnya selalu menyodorkan lehernya.
Sebenarnya siapa perempuan itu? James tak mampu melihat sisi lain darinya. Dinding itu terlalu tinggi.
“Dokter, saya butuh anda.”
James mengedipkan mata. Di lorong ini mereka hanya berdua dan Pradnya masih bersikap formal.
“Pradnya, kamu belum menjawab pes….”
“Anda sebaiknya segera ke ruang ICU,” potong Pradnya.
“Tapi aku tidak mendengar kode biru.”
“Ini bukan status gawat darurat, justru sebaliknya. Situasinya tidak bisa saya jelaskan kecuali ada ke ICU sekarang,” tegas Pradnya.
Pradnya mulai berjalan dan James mengikutinya, masih tidak mengerti.
“Ada apa sebenarnya?”
“Pasien-pasien koma baru saja sadar. Anda harus memeriksanya.”
“Pasien-pasien? Lebih dari satu?” James kaget dan menghentikan langkahnya.
Pradnya ikut berhenti, lalu menatap James.
“Semua pasien koma sudah sadar.”
“Semua?” James mengulang pernyataan Pradnya, tidak percaya. “Kau bercanda?”
“Sama sekali tidak. Mereka semua bangun, seolah hanya bangun dari tidur.”
Saat James sampai di ICU dan melihat pasien-pasien itu, ia sadar jika julukan Asklepios tak perlu dipertahankan lagi. Julukan itu akan melekat dalam waktu yang cukup lama. Pasien-pasien koma itu tak sekadar bangun. Mereka seperti lahir kembali dari kegelapan.
***Bersambung***
___________________________
Catatan editor: sebagian teks pada cerita ini dialihmediakan menjadi audio. Putar media untuk mendapatkan kisah secara utuh.
Ikuti cerita lengkap “Kala Koma” karya Ruwi Meita di bawah ini:
Kala Koma. Ilustrasi: Tim Kreatif kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten