Melindungi Perempuan Disabilitas Intelektual dari Potensi Kekerasan Seksual

Noviana Rahmawati
ASN Pekerja Sosial Dinas Sosial PPPA Kabupaten Kulon Progo
Konten dari Pengguna
3 September 2021 20:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Noviana Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Penyandang Disabilitas Intelektual, gambar diambil dari Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penyandang Disabilitas Intelektual, gambar diambil dari Freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini saya mendampingi tiga kasus pelecehan seksual dengan korban perempuan penyandang disabilitas intelektual. Tiga perempuan ini memiliki beberapa persamaaan. Kasus mereka baru terangkat ketika mereka sedang hamil tanpa ada yang bertanggung jawab. Bahkan sebelum kehamilan ini, mereka sudah memiliki anak yang juga di luar pernikahan.
ADVERTISEMENT
Jangan membayangkan mereka hidup di kota, dengan pergaulan bebas dan semacamnya. Tidak, mereka adalah penduduk desa yang jauh dari hiruk pikuk kota. Bahkan, salah satunya tinggal di lereng pegunungan yang hanya bisa bisa dijangkau dengan berjalan kaki, dari jalan utama yang merupakan perbatasan antara dua provinsi.
Ketiganya tidak tamat SD, dan tidak pernah bersekolah di SLB. Sejak awal mereka tidak teridentifikasi sebagai penyandang disabilitas intelektual. Baru kemudian ketika dalam proses pendampingan, dilakukan asesmen dan mendapatkan hasil bahwa mereka adalah penyandang disabilitas intelektual ringan dan sedang.
Selepas putus sekolah, mereka semakin tertinggal dan jauh dari akses informasi, pendidikan dan pekerjaan. Secara fisik, mereka tidak memiliki kekurangan, bahkan terbilang lumayan cantik. Dua di antara mereka suka jalan-jalan ke luar rumah, dan akhirnya bertemu dengan laki-laki hidung belang dan terjadilah pelecehan seksual. Yang satu, meskipun di rumah saja, ada seorang laki-laki tua yang sering mendatanginya, sampai dia hamil dan melahirkan dua anak.
ADVERTISEMENT
Perempuan penyandang disabilitas intelektual memiliki kecerdasan dan kemampuan mental di bawah rata-rata. Sehingga, mereka cenderung lebih gampang dipengaruhi dan dieksploitasi. Bahkan setelah berkali-kali dilakukan, mereka tetap tidak menyadari. Pemahaman mereka akan norma sosial juga terbatas. Ketika mereka didekati seseorang, merasa disayang, mereka menjadi lebih mudah terbuai. Malangnya, ini membuat membentuk stigma di masyarakat bahwa mereka adalah perempuan gampangan, dianggap tidak punya harga diri.
Dengan stigma yang seperti ini, mereka semakin menarik di mata orang-orang yang berniat memanfaatkan untuk kepentingannya sendiri. Dalam salah satu kasus mereka, pelaku berkelit telah melakukan kekerasan seksual karena melakukan atas dasar suka sama suka. Tetapi menolak untuk bertanggung jawab atas kehamilan korban karena merasa bukan satu-satunya pelaku.
ADVERTISEMENT
Ketika kasus masuk ke ranah hukum, prosesnya pun tidak mudah. Ketika BAP, korban ditanya alasan melakukan hubungan seksual. Mereka menjawab tidak ada paksaan. Meskipun sudah melampirkan bukti bahwa korban adalah penyandang disabilitas intelektual, tetapi tidak serta merta jawaban korban diabaikan. Karena, korban terbukti mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar.
Menurut National Sexual Violence Research Center (NSVRC), kekerasan seksual adalah ketika seseorang dipaksa atau dimanipulasi untuk melakukan hubungan aktivitas seksual tanpa persetujuan orang tersebut. Kasus yang banyak terjadi, perempuan penyandang disabilitas ini tidak mengalami pemaksaan, tetapi sebenarnya dimanipulasi. Dengan kata-kata, janji-janji manis yang hanya digunakan oleh pelaku untuk memanipulasi korban.
Berdasarkan data yang dihimpun Komnas Perempuan yang tercantum dalam Catatan Tahunan (CATAHU), kekerasan seksual pada penyandang disabilitas yang terjadi pada tahun 2019-2020 meningkat sebanyak 47%. Lebih lagi, perempuan disabilitas yang paling banyak mengalami kekerasan seksual adalah perempuan disabilitas intelektual dibandingkan disabilitas lainnya, dengan persentase mencapai 40%. Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual (BBRSPDI) Kementerian Sosial yang merupakan balai rujukan, mencatat 30 kasus penyandang disabilitas, dan 20 di antaranya adalah kasus pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Langkah yang saya lakukan sebagai pekerja sosial setelah melakukan asesmen pada korban yang mengalami kekerasan seksual, salah satunya adalah melakukan rujukan ke Balai Rehabilitasi. Ini bertujuan untuk mengamankan mereka sementara dari pemangsa-pemangsa di luar sana. Memastikan mereka melakukan persalinan dengan bantuan tenaga medis, dan bayi yang dilahirkan mendapatkan pengasuhan yang baik oleh ibunya dengan didampingi pekerja sosial.
Mereka dilatih meningkatkan kemandiriannya untuk melakukan kegiatan sehari-hari, juga memperoleh pendidikan vokasi agar kelak dapat berdaya secara ekonomi. Mereka memiliki kemampuan untuk mempelajari hal-hal baru, tetapi dibandingkan orang lain pada umumnya, mereka lebih lambat. Sedangkan balai memiliki batas waktu layanan, tidak bisa selamanya mereka berada di sana.
Upaya pemerintah yang dilakukan melalui Balai Rehabilitasi Penyandang Disabilitas saat ini sudah semakin berkembang. Tidak hanya melayani klien di balai, tetapi semakin luas menjangkau penyandang disabilitas di luar balai dengan mengembangkan layanan berbasis keluarga dan masyarakat. Namun demikian, layanan yang diberikan masih lebih banyak pada pemberian bantuan sosial, rehabilitasi, bimbingan, dan keterampilan.
ADVERTISEMENT
Untuk melindungi penyandang disabilitas intelektual, pemerintah perlu melakukan terobosan dengan mengidentifikasi kedisabilitasan intelektual lebih cepat. Setelah teridentifikasi secara tepat, pemerintah melalui fasilitas kesehatan dan pendidikan dapat melakukan intervensi untuk membantu mereka agar lebih terlindungi.
Pemerintah harus memastikan agar mereka dapat mengakses pendidikan sesuai dengan kondisi kedisabilitasannya. Sehingga tidak terjadi lagi, penyandang disabilitas intelektual berhenti mendapatkan pendidikan hanya karena mereka dianggap bodoh dan tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah.
Mereka seharusnya bisa tetap mendapatkan pendidikan melalui pendampingan guru bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi, atau sekolah di SLB. Penyandang disabilitas intelektual yang mendapatkan akses pendidikan yang layak akan lebih mampu melindungi dirinya sendiri dan lebih berdaya mencegah kekerasan seksual.
Kedisabilitasan intelektual seringkali tidak terlihat, sehingga banyak masyarakat yang belum mengetahui. Pemerintah perlu lebih banyak melakukan edukasi terhadap masyarakat tentang ini. Masyarakat perlu diajak untuk bersama-sama melindungi penyandang disabilitas khususnya perempuan disabilitas intelektual, karena mereka rawan mengalami kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT