Nestapa Anak Korban KDRT dan Keterlambatan Kita

Noviana Rahmawati
ASN Pekerja Sosial Dinas Sosial PPPA Kabupaten Kulon Progo
Konten dari Pengguna
18 Juli 2021 10:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Noviana Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Foto Kekerasan terhadap Anak. freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Foto Kekerasan terhadap Anak. freepik.com
ADVERTISEMENT
Seorang anak tidak bisa memilih dari orang tua mana ia akan dilahirkan. Orang tua yang melindungi dan menyayangi sepenuh hati adalah dambaan setiap anak. Namun demikian, tidak sedikit orang tua yang justru melakukan kekerasan, menjadi ancaman yang paling mengerikan bagi anak.
ADVERTISEMENT
Menurut data yang terhimpun dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sepanjang tahun 2021 hingga Juni 2021, tercatat sebanyak 3.683 anak menjadi korban kekerasan, dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih mendominasi.
Presiden Joko Widodo sudah menyoroti meningkatnya jumlah kekerasan terhadap anak secara signifikan sejak awal masa pandemi Covid-19, seperti dilansir dalam siaran pers dalam rapat terbatas 9 Januari 2020. Sangat disayangkan, peningkatan ini terus menerus menerus terus terjadi hingga saat ini.
Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua umumya adalah penelantaran/tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak, kekerasan fisik, verbal dan psikis. Namun tidak sedikit pula anak yang mengalami kekerasan seksual.
Karena dilakukan di wilayah privat atau sebagian besar di rumah, kekerasan dalam keluarga menjadi tindakan yang sangat sulit diketahui dan dilaporkan, apalagi dicegah. Tindak kekerasan ini seringkali terungkap ketika korban sudah jatuh dan dalam kondisi yang parah. Pada saat korban mengalami luka fisik ringan, atau luka psikis yang tidak terlihat, peristiwa kekerasan seringkali luput dari pengamatan lingkungan sekitarnya sehingga tidak ada upaya untuk menghentikan atau mencegah agar tidak semakin berlanjut.
ADVERTISEMENT
Dalam hal pelaporan, Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur bahwa kekerasan terhadap anak adalah delik khusus, bukan delik aduan. Untuk melakukan tindakan hukum, Kepolisian, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan pihak terkait tidak harus menunggu laporan atau pengaduan. Tanpa adanya pihak yang melaporkan, tetap bisa diproses secara hukum. Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan keterlambatan masih saja terjadi.
Berbeda dengan kekerasan pada orang dewasa, anak korban jarang melaporkan kekerasan atas dirinya, karena keterbatasannya sebagai anak. Selain itu, biasanya saksi adalah anggota keluarga tersebut. Sehingga, seringkali enggan melaporkan meskipun mengetahui bahwa tindakan tersebut melawan hukum. Tetangga yang mengetahui, akan menimbang berbagai hal sebelum melaporkan, karena merasa tidak ingin mencampuri urusan keluarga orang lain.
ADVERTISEMENT
Pada kasus kekerasan yang terjadi di Kulon Progo pada tahun 2020, korban anak adalah penyandang disabilitas. Nenek korban yang kebetulan sedang berkunjung mengetahui kekerasan yang dialami cucunya, yang dilakukan oleh anak dan menantunya sendiri yaitu ibu dan ayah korban. Nenek korban kemudian melaporkan ke kepolisian.
Permasalahan muncul, ketika pelapor mendapatkan intimidasi dari keluarga besar, karena tega melaporkan keluarga sendiri dan dianggap mencemarkan nama keluarga. Nenek korban kemudian dalam pemeriksaan mengatakan ingin mencabut laporan. Hal ini tidak dapat dilakukan karena kekerasan terhadap anak bukan delik aduan dan ditambah lagi kekerasan mengakibatkan luka yang sangat serius pada anak.
Anak diikat di kandang kambing, selama lebih dari 1 bulan dengan posisi duduk. Anak ditemukan dalam kondisi bengkak seluruh tubuh dan tidak bisa bergerak, tidak memakai baju dan dibiarkan kedinginan di luar rumah. Sekujur tubuhnya penuh memar dan ditemukan bekas ikatan di tangan dan kaki.
ADVERTISEMENT
Pada kasus yang lain, pelaku adalah ibu kandung yang merupakan orang tua tunggal. Pada saat diketahui warga sekitar, sang ibu sedang hamil anak ke tiga di luar pernikahan. Anak menjadi terlantar, sampai akhirnya dirawat oleh tetangganya.
Tekanan ekonomi yang menghimpit, membuat sang ibu memukuli anaknya karena sering memaksa minta uang jajan. Melalui mediasi dengan warga, pelaku kemudian menandatangani pernyataan bahwa tidak akan lagi melakukan kekerasan terhadap anaknya. Namun demikian, anak berada dalam posisi sangat rentan selama kondisi keluarga tersebut belum membaik.
Kesulitan ekonomi bisa mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak, dan rentan mengakibatkan penelantaran. Namun, kekerasan juga banyak dilakukan oleh orang tua terhadap anak dengan alasan mendidik, atau penegakkan disiplin. Hal ini terjadi karena kurang pahamnya orang tua tentang pengasuhan yang baik. Bahwa anak juga harus didengarkan pendapatnya, bukan hanya dituntut harus selalu menurut. Tidak semua anak mampu dan selalu menurut apa yang diminta orang tuanya. Bisa juga karena keterbatasan yang dimiliki anak.
Ilustrasi foto perlindungan anak dalam keluarga. freepik.com
Penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap anak dalam keluarga bisa dilakukan di lingkungan keluarga, anak dan remaja, masyarakat dan pemerintah. Hal ini sejalan dengan strategi yang disusun oleh UNICEF untuk penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap anak (Ending Violence Against Children: Six Strategies for Action, UNICEF: 2014).
ADVERTISEMENT
Bagi orang tua, dibutuhkan dukungan pengasuhan agar dapat memahami dan menerapkan pengasuhan yang baik terutama pada kelompok masyarakat rentan. Kepada anak dan remaja, diajarkan tentang mengelola potensi kekerasan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada dirinya.
Masyarakat perlu didorong untuk mengubah perilaku atau norma sosial yang dapat memicu tindak kekerasan dan diskriminasi. Misalnya, pola pikir bahwa kekerasan dapat mendisiplinkan anak, dan kebiasaan membanding-bandingkan anak.
Pemerintah wajib menyediakan pelayanan bagi anak dan implementasi kebijakan serta hukum yang benar-benar melindungi anak. Layanan bagi anak meliputi layanan pengaduan yang sedekat mungkin dengan lingkungan tempat tinggal anak agar mudah diakses.
Rumah adalah benteng perlindungan bagi anak. Namun, apabila kekerasan justru terjadi di dalam rumah dan dilakukan oleh orang tuanya sendiri, rumah menjadi tempat yang paling tidak aman bagi seorang anak. Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli yang sebentar lagi kita peringati sudah seharusnya menjadi pengingat untuk bersama-sama melindungi anak-anak kita dimanapun mereka berada.
ADVERTISEMENT