Guruku Pahlawan, Guru Tahanan

Riyan Putra Setiyawan
Guru SD di Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2021 16:39 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riyan Putra Setiyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
“Engkau patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia”
Begitulah lirik terakhir lagu Himne Guru ciptaan Sartono. Lagu tersebut memang sudah mengalami revisi dari versi aslinya yang berbunyi “Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”. Meski liriknya berubah, tapi masih ada kata yang sama dan tidak berubah hingga sekarang, yaitu guru tetap dianggap sebagai pahlawan bangsa.
ADVERTISEMENT
Idealnya memang begitu. Idealnya, guru dielu-elukan sebagai pahlawan bangsa. Mengingat begitu banyak kontribusi beliau dalam mengajar, mendidik, menginspirasi, serta mencerdaskan kehidupan bangsa, tentu panggilan pahlawan merupakan hal yang lumrah. Namun sayangnya realita kadang tidak seindah alunan nada pada Hymne Guru.
Silakan tengok di berbagai media baik konvensional maupun elektronik, kondisi yang dialami para guru justru sebaliknya. Guru bukannya dijadikan teladan, namun dalam beberapa kasus justru dijadikan tahanan. Penyebabnya kadang kadang sepele. Siswa melanggar peraturan sehingga bapak ibu guru memberikan teguran atau hukuman.
Sebagai contoh kasus yang pernah dialami Bapak Aop Saepudin, seorang guru honorer SDN Penjaljn Kidul dari Majalengka, Jawa Barat. Cerita berawal ketika Pak Aop Saepudin mengingatkan siswa siswanya yang memiliki rambut panjang agar segera memangkasnya. Merasa imbauannya tidak diindahkan, beliau akhirnya mengambil tindakan dengan memangkas rambut 4 siswa yang masih membandel. AN, M, MR, dan THS menjadi korban potong rambut dadakan oleh Pak Saepudin kala itu.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di rumah, THS salah satu siswa yang dipangkas rambutnya, menceritakan kasus yang dialaminya kepada orang tuanya. Atas laporan itu, Iwan selaku orang tua THS tidak terima dan mendatangi sekolah. Iwan marah-marah dan mengancam balik Aop. Lebih lanjut, Iwan mencukur balik rambut sang guru sebagai tindakan balasan.
Tak puas sampai di situ, Iwan juga melaporkan Pak Aop ke pihak berwajib. Guru honorer itu pun dikenakan pasal berlapis yaitu tentang Perlindungan Anak dan tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Atas tuntutan itu, pengadilan negeri akhirnya menjatuhkan hukuman percobaan. Yaitu dalam waktu 6 bulan setelah vonis jika tidak mengulangi perbuatan pidana, maka tidak dipenjara. Tapi jika berbuat pidana, maka langsung dipenjara selama 3 bulan
ADVERTISEMENT
Menanggapi kejadian Pak Aop, respons masyarakat pun terbelah. Sebagian mendukung aksi Pak Iwan, sementara yang lain mendukung aksi yang dilakukan Pak Aop. Bagi yang mendukung aksi Pak Iwan, mereka berdalih bahwa cara mendidik siswa bukanlah seperti itu. Masih ada cara lain yang lebih manusiawi yang bisa diterapkan. Bila kenakalan siswa bisa diatasi dengan kekerasan, maka mudah sekali tugas guru. Begitu ada siswa yang nakal, guru tinggal mengumpulkan mereka di depan kelas lalu memukul siswa dengan penggaris, atau mencubitnya satu per satu. Kenakalan siswa teratasi. Sementara pihak yang membela Pak Aop tak kalah kerasnya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa siswa juga melakukan banyak kejahatan di sekolah. Seperti tawuran, mencorat-coret meja kursi, mengejek guru, mencuri barang barang di sekolah, hingga memukul gurunya sendiri. Apabila semua kenakalan itu dilaporkan ke pihak yang berwenang (polisi), tentu penjara akan penuh. Nyatanya guru lebih memilih membina daripada melaporkannya. Lebih lanjut pihak yang mendukung Pak Aop mengatakan "Jika tidak ingin dididik guru di sekolah, bukankah lebih mudah untuk mendidik putramu sendiri, beri raport sendiri, dan beri ijazah sendiri?"
ADVERTISEMENT
Silang pendapat antara pihak pro dan kontra ini tidak akan ada habisnya. Maka, ketika masyarakat hanya bisa saling adu argumentasi, seyogyanya pemerintah segera mencari solusi. Untuk menindaklanjuti permasalahan Pak Aop, dan mungkin juga permasalahan guru-guru lain di Indonesia, pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus bertindak. Tindakan nyata yang benar-benar bisa dirasakan bagi guru di seluruh Indonesia.
Sepanjang yang saya tahu, perlindungan hukum dan keamanan kerja bagi guru hingga saat ini masih amat minim. Memang sudah ada UU bagi guru dan dosen yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005. Di salah satu pasalnya, yaitu pasal 39 ayat (1) bahkan disebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/ atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Sementara pada pasal (2) disebutkan juga bahwa “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, hingga saat ini peraturan pelaksanaan yang mengatur secara teknis berbagai macam perlindungan terhadap guru, termasuk perlindungan hukum masih belum ada. Akibatnya, ketika dihadapkan pada kasus hukum tertentu, posisi guru sering kali menjadi rentan. Pada kasus Pak Aop misalnya, meskipun sudah ada UU yang mengatakan bahwa guru mendapatkan perlindungan hukum keselamatan kerja, nyatanya Pak Iwan selaku orang tua THS masih leluasa datang ke sekolah dan mengancam serta memangkas rambut Pak Aop. Di mana kepala sekolah, dewan guru, ataupun penjaga sekolah waktu itu? Mengapa dengan mudahnya Pak Iwan mendatangi Pak Aop dan melancarkan aksinya tanpa ada perlindungan dari rekan sejawat? Bukankah seharusnya Pak Aop mendapatkan perlindungan dari rekan sejawat ataupun kepala sekolah? Masih untung Pak Aop hanya dipangkas rambutnya dan diancam Pak Iwan. Di tempat saya mengajar, di SDN 2 Kalisari sana malah lebih mengerikan lagi. Tidak tahu darimana datangnya, tiba tiba salah satu orang tua siswa masuk ke dalam kelas. Tanpa aba-aba, si orang tua siswa langsung mengalungi celurit ke leher sang guru. Sekolah menjadi riuh seketika. Para guru datang ke kelas untuk menghampiri si orang tua dan menenangkannya. Begitu ditanya sebabnya, si orang tua mengatakan bahwa ia mendapat aduan dari anaknya. Kata anaknya, sang guru telah memperlakukan putranya dengan semena-mena. Memang pada akhirnya kasus ini berakhir damai, namun hal ini semakin membuktikan bahwa perlindungan hukum dan keselamatan kerja masih belum optimal meskipun sudah ada undang undang yang mengaturnya.
ADVERTISEMENT
Kembali pada kasus Pak Aop, setelah dipangkas rambutnya, diceritakan bahwa Pak Aop masih harus dibawa ke meja hijau. Sudah jatuh tertimpa tangga, di pengadilan ini beliau kemudian dijatuhi hukuman pula. Tidak ada perlindungan hukum dari organisasi profesi seperti PGRI atau pemerintah daerah yang meringankan atau membela Pak Aop waktu itu. Padahal menurut UU Guru dan dosen, seharusnya pihak-pihak tersebut wajib memberikan perlindungan hukum pada guru ketika menjalankan tugas.
Zaman berganti, UU juga terus diperbaharui. Dulu pemberian sanksi seperti yang dilakukan Pak Aop dianggap lumrah. Menjewer, membentak, meminta siswa lari mengelilingi halaman sekolah, meminta siswa membersihkan toilet, dan sebagainya adalah hal yang biasa terjadi. Hukuman-hukuman ini dianggap wajar beberapa dekade yang lalu. Namun dalam dunia pendidikan saat ini, perbuatan semacam tadi dinilai tidak lagi mendidik dan bahkan dianggap melanggar Undang-undang Perlindungan Anak.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, kebanyakan guru belum mengetahui dan memahami perubahan peraturan tersebut. Mereka masih menganggap hukuman disiplin seperti menjewer dan sebagainya adalah hal yang biasa. Setahu mereka, tindakan memberikan hukuman disiplin ini, dulunya juga mendapat apresiasi dari orang tua dan masyarakat. Kerapkali begitu orang tua mendapatkan laporan bahwa ada putranya yang mendapat hukuman disiplin di sekolah, orang tua siswa tidak segan memberikan hukuman tambahan yang lebih keras di rumah. Sanksi disiplin seperti itu, kini sudah dianggap sebagai pelanggaran hukum. Kini, guru harus semakin hati-hati dalam memberikan hukuman disiplin kepada siswa.
Tapi tak jarang, sekalipun guru sudah berhati hati dalam memberikan hukuman, ada kalanya guru melakukan kesalahan. Kalau kata peribahasa, tiada gading yang tak retak. Sebaik apa pun guru, tetaplah ada salahnya. Guru memang tak sempurna. Guru sama-sama manusia seperti kita. Keputusan yang guru ambil tidak selamanya bijak dan mampu menyenangkan semua golongan. Namun tidak melulu setiap kebijakan yang guru berikan kepada siswa lantas harus diganjar dengan penjara. Sekali mencubit langsung dipenjara, memotong rambut siswa dipolisikan, menegur siswa dipidana.
ADVERTISEMENT
Bila kejadian seperti ini dibiarkan berlama lama, guru bisa kehilangan wibawa. Belum adanya perlindungan hukum dan keamanan kerja bagi guru, bisa membuat siswa merasa makin jumawa. Setiap kali siswa berbuat kenakalan, mereka tetap merasa aman. Sebab, guru akan berpikir berkali kali sebelum memberikan hukuman. Jangan sampai ketika guru menghukum, mereka malah ditengarai melanggar HAM, dituduh melakukan kekerasan pada anak. Karena sulitnya menemukan hukuman yang cocok, maka tak heran bila akhirnya guru malah acuh pada siswa yang melanggar aturan. Siswa tidur di kelas dibiarkan. Siswa merokok di kelas dan dengan bangga menayangkan aksinya melalui akun sosmed, guru juga hanya membiarkan. Siswa menantang guru berkelahi, guru hanya berdiam diri. Ini disebabkan karena belum memadainya perlindungan hukum dan perlindungan keselamatan kerja bagi guru.
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah bangsa yang besar. Sebagai bangsa yang besar, sudah selayaknya menghargai jasa para pahlawannya. Di antara sekian banyak pahlawan, ada pahlawan pendidikan yang biasa kita panggil dengan nama guru. Namun dengan banyaknya kasus guru yang dipidana seperti sekarang, apakah sebutan pahlawan masih layak disandang oleh guru?