Haruskah Pejabat Publik Bersikap Netral dalam Pemilu?

Sabar Setiyanto
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Sains Al Quran Jawa Tengah di Wonosobo
Konten dari Pengguna
25 April 2024 16:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sabar Setiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sabar Setiyanto Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Sains Al Qur'an Jawa Tengah di Wonosobo (Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Sabar Setiyanto Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Sains Al Qur'an Jawa Tengah di Wonosobo (Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilu 2024 telah usai, namun berbagai persoalan mengenai netralitas pejabat publik dalam Pemilu 2024 menyisakan tanda tanya besar. Apakah seorang pejabat publik harus netral atau diperbolehkan memihak dalam kontestasi pemilu? Berikut akan dijelaskan dalam sebuah artikel.
ADVERTISEMENT
Sebelum kita tahu lebih dalam mengenai aturan netralitas pejabat publik dalam pemilu, kita mesti tahu terlebih dahulu pengertian dari pejabat publik itu sendiri.
Pengertian Pejabat Pubik
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pejabat publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Secara gampangnya, pejabat publik dapat didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki wewenang publik untuk mengeluarkan kebijakan dan keputusan yang berdampak bagi masyarakat. Mereka memiliki posisi dan kedudukan yang cukup strategis dalam badan publik.
Pejabat Publik Harus Netral?
Pada Pasal 282 Undang-Undang Pemilu Nomor 5 Tahun 2014 berbunyi “Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa kampanye.”
ADVERTISEMENT
Secara regulasi pejabat publik di luar ASN, TNI, dan Polri diperbolehkan untuk berkampanye dengan mengikuti aturan yang ada. Akan tetapi secara etika politik, netralitas pejabat publik memiliki peranan yang penting dalam pemilu untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu netralitas juga diperlukan untuk menjaga integritas pemilu agar berjalan adil dan demokratis.
Beberapa bulan yang lalu, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa presiden dapat memihak dalam pemilu dengan alasan selain sebagai pejabat publik, presiden juga pejabat politik. Termasuk juga menteri-menteri diperbolehkan berpihak dan berkampanye.
Ini menjadi ironi mengingat Jokowi adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang mana sebagai seorang negarawan, tentunya etika politik haruslah di kedepankan, yang mana dirinya memiliki pengaruh dan kekuasaan yang sangat besar.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh adanya kebijakan pembagian bansos menjelang Pemilu 2024. Di mana pada saat itu bansos diberikan secara besar-besaran berupa bantuan langsung tunai (BLT) dengan anggaran sebanyak Rp. 11,2 triliun untuk dibagikan pada masyarakat sebanyak 18.8 juta orang. Kemudian menilik ke belakang proses awal pencalonan Gibran sebagai Cawapres mendampingi Prabowo yang penuh kontroversi karena adanya perubahan atuan batas usia minimal pencalonan. Satu hal lagi ketika seorang anak presiden mencalonkan diri menjadi cawapres ketika orang tuanya sedang menjabat sebagai presiden. Hal ini tidak menutup kemungkinan demokrasi yang sudah direbut dari tahun 1998 akan kembali turun dengan menjamurnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Bagi sebagian pihak, pemberian bansos menjelang pemilu dianggap sebagai langkah untuk menambil simpati rakyat dalam pesta demokrasi yang dilaksanakan bulan Februari lalu. Karena memang masih banyak kalangan masyarakat yang memilih calon berdasarkan untung rugi memilih siapa maka akan dapat apa. Contoh lain adalah adanya dugaan pelanggaran kampanye bagi-bagi minyak goreng yang dilakukan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan pada tahun 2022. Pelanggaran diduga karena aktivitas bagi-bagi minyak goreng disertai dengan ajakan untuk memilih putrinya.
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan betapa besar pengaruh kekuasaan dan wewenang yang dimiliki seorang pejabat publik untuk memengaruhi pemilih terhadap calon yang akan dipilihnya.
Birokrasi dan Politik
Memang, hubungan antara birokrasi dan politik di Indonesia tidak dapat dipisahkan, mengingat banyak sekali politisi yang menempati posisi jabatan publik. Dampaknya adalah kebijakan-kebijakan yang dilakukan seringkali ditunggangi dengan kepentingan pribadi atau kelompok.
Maka dari itulah penting untuk dapat membedakan antara jabatan publik dan jabatan politik serta tidak mencampur adukkan dari kedua kepentingan yang ada. Satu-satunya hal yang dapat mencegah hal itu terjadi adalah etika politik. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, memang tidak ada hukum yang menyatakan bahwa mereka tidak boleh berkampanye, pejabat publik diperkenankan untuk berkampanye harus mematuhi berbagai persyaratan, salah satunya dilarang menggunakan fasilitas negara kecuali pengamanan dan harus mengajukan cuti. Namun, dalam realitasnya banyak sekali ditemukan dugaan-dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh pejabat publik yang menggunakan fasilitas negara dan tanpa mengajukan cuti.
ADVERTISEMENT
Pejabat publik tidak seharusnya ditempatkan pada posisi abu-abu ketika pemilu berlangsung. Dirinya harus tegas tetap menjadi pejabat publik yang tugasnya melayani masyarakat atau pejabat politik yang pastinya memiliki kepentingan terhadap kelompoknya. Menjadi kurang pas ketika dirinya sebagai pejabat publik yang harus bekerja melayani masyarakat tetapi dibarengi dengan kepentingan dirinya tanpa melakukan cuti terlebih dahulu dan menggunakan kekuasaan serta wewenang yang ada.
Begitu pentingnya netralitas pejabat publik dalam negara demokrasi untuk memastikan pemilu dapat berjalan secara jujur dan adil.