
Permukaan dindingnya berjendul-jendul. Ketika aku menekannya, dinding itu menenggelamkan tanganku. Tetapi, bukan seperti saat aku membenamkan tangan di bantal atau adonan kue yang lembut dan kenyal. Dinding itu tidak menekan balik seperti lazimnya benda kenyal, melainkan berusaha menolak kuat tekanan yang kuberikan sehingga rasanya seperti sedang mendorong dinding beton yang lunak. Telapak tanganku memang tenggelam, tapi saat menariknya tak ada ceruk atau bekas telapak tangan atau apapun. Permukaan dinding itu kembali ke bentuk semula. Seolah tanganku baru saja menembusnya, bukan menekannya.
Apakah aku sudah mati dan sekarang ini aku sedang jadi hantu? Itu pikiran yang kekanak-kanakan, aku tahu, tetapi aku tak punya penjelasan lain yang bisa membuatku merasa aman berada di sini sendirian.
Aku memberanikan diri untuk melangkah. Tanah yang kupijak terasa tidak stabil. Ia naik dan turun secara perlahan, tak ubahnya berdiri di perut orang yang sedang tidur. Semua benjolan di dinding yang dapat kulihat juga melakukan hal yang sama: mengembang dan mengempis dan mengembang dan mengempis membuat tumbuhan yang mirip jamur bercabang yang tumbuh di atasnya terlihat seperti sedang berloncat-loncatan. Aku berpikir tumbuhan itu jamur karena yang aku tahu cuma jamur yang bisa bertahan di dalam tempat seperti ini, sebetulnya ini pertama kalinya aku melihat tumbuhan itu. Bagian puncaknya lebar dan bercabang dan berdaun jarang di ujung-ujungnya. Pada batangnya terdapat lubang-lubang yang menyemburkan benang-benang, dan benang-benang itu menjuntai di udara. Tiap kali akan menyentuh tanah, benang-benang itu naik lagi dan melambai-lambai. Begitu seterusnya.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanplus
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanplus
Gratis akses ke event spesial kumparan
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814
Konten Premium kumparanplus
Dari retakan di tanah muncul lusinan siluet tangan dan kepala. Cahaya ungu muncul dari mulut dan mata mereka, menyerang pari bandi yang mengerang lebih keras. Beginilah akhirnya.
Nikmati novel Sabda Armandio, MONGREL, di kumparanplus.
18 Konten
KONTEN SELANJUTNYA
Mongrel 012: BADAI SUARA
Sabda Armandio
SEDANG DIBACA
Mongrel 11: AKU
Sabda Armandio
KONTEN SEBELUMNYA
Mongrel 010: NOKTURNAL
Sabda Armandio
Lihat Lainnya
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten