DPR dan Ironi Pencegahan Korupsi

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
18 September 2019 10:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya ingin memulai tulisan ini dengan satu pertanyaan: Adakah yang bisa memberikan satu contoh saja unsur komisi mana di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selama kurun tahun 2009 hingga 2019 yang belum pernah menjadi "pasien" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Pertanyaan dan jawabannya sangat penting karena berhubungan erat dengan judul tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Dan, menurut saya, pasti tidak ada yang akan bisa menjawab. Kenapa? Karena kurun 2009 hingga 2019, unsur Komisi I hingga Komisi XI di DPR pernah ditangani KPK. Tidak percaya? Baiklah, mari kita mulai.
Dari Komisi I, ada dua orang. Pertama, Luthfi Hasan Ishaaq selaku anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS periode 2009-2014 merangkap Presiden DPP Partai PKS periode 2009-2014. Luthfi adalah terpidana suap pengurusan kuota impor daging sapi pada Kementerian Pertanian dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Luthfi adalah terpidana 18 tahun penjara dan pencabutan hak politik (tanpa ditentukan lamanya pencabutan). Lihat salinan putusan kasasi atas nama Luthfi, No. 1195 K/Pid.Sus/2014.
Luthfi Hasan Ishaaq Foto: Antara/Wahyu Putro A
Kedua, Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar periode 2014-2018. Saat KPK mengumumkan penetapan Fayakhun sebagai tersangka pada Rabu, 14 Februari 2018, Fayakhun sudah berpindah tugas di Komisi III. Ketua DPD Partai Golkar DKI 2016-2019 ini merupakan terpidana 8 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 5 tahun. Perkaranya yakni suap pengawalan dan pengurusan pembahasan dan pengesahan di DPR atas anggaran monitoring satellite dan drone dengan total anggaran Rp 1,22 triliun pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam APBN Perubahan 2016.
ADVERTISEMENT
Berpindah ke Komisi II. Ada tiga orang anggota Komisi II periode 2009-2014 yang dijerat KPK. Satu orang dalam perkara suap pengurusan putusan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, pada 2013, yang disidangkan Mahkamah Konstitusi (MK). Dia adalah mantan terpidana 5 tahun penjara Chairun Nisa selaku anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar pada 2013. Sebelumnya kurun 2009-2012, Nisa duduk sebagai Wakil Ketua Komisi VIII.
Dua orang lainnya dijerat dalam kasus dugaan korupsi proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP) Tahun Anggaran 2011-2013 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Pertama, terdakwa anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 dan 2014-2019 dari Fraksi Partai Golkar Markus Nari. Nari juga merupakan terdakwa dalam kasus "menghalang-halangi penyidikan hingga persidangan" (obstraction of justice) atau pemberian keterangan palsu atas perkara korupsi proyek e-KTP atas nama terdakwa saat itu, Irman dan Sugiharto.
ADVERTISEMENT
Kedua, Miryam S. Haryani selaku anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Hanura. Penetapan Miryam sebagai tersangka untuk dugaan korupsi proyek e-KTP diumumkan KPK pada Selasa, 13 Agustus 2019. Selain itu Miryam merupakan terpidana 5 tahun penjara atas pemberian keterangan palsu dalam persidangan perkara korupsi proyek e-KTP atas nama terdakwa saat itu, Irman dan Sugiharto. Sebelumnya untuk delik pemberian keterangan palsu, Miryam ditetapkan sebagai tersangka saat dia telah bertugas sebagai anggota Komisi V DPR kurun 2014-2017.
Miryam S. Hariyani. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Yang patut menjadi catatan penting, dari fakta-fakta persidangan hingga tertuang dalam pertimbangan putusan para terpidana perkara korupsi proyek e-KTP, tercantum adanya keterlibatan dan penerimaan uang puluhan anggota dan pimpinan Komisi II DPR maupun anggota dan pimpinan Badan Anggaran periode 2009-2014.
ADVERTISEMENT
Beranjak ke Komisi III. Komisi ini adalah mitra kerja KPK. Dari Komisi Hukum DPR ada tiga orang. Pertama, I Putu Sudiartana selaku anggota Komisi III kurun 2014-2017 dari Fraksi Partai Demokrat. Putu, terpidana 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 5 tahun dalam dua perkara.
Masing-masing Putu menerima suap Rp 500 juta (yang disamarkan dalam kata sandi "500 kaleng susu") untuk pengurusan penambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) Sarana dan Prasarana Penunjang Tahun Anggaran 2016 untuk Provinsi Sumatera Barat dalam APBN Perubahan 2016, dengan nilai Rp 530,76 miliar hingga Rp 620,76 miliar serta menerima gratifikasi Rp 2,7 miliar dari tiga orang.
Dalam perkara suap pengurusan DAK, ada bantuan dan/atau pembicaraan Putu dengan Wihadi Wiyanto selaku anggota Komisi III sekaligus anggota Badan Anggaran DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra periode 2014-2019 dan Rinto Subekti selaku anggota Komisi X DPR merangkap anggota Badan Anggaran DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat periode 2014-2019. Putu mengusulkan alokasi DAK untuk Provinsi Sumatera Barat menggunakan kuota milik Wihadi.
ADVERTISEMENT
Putu lebih dulu diciduk tim KPK pada Selasa malam, 28 Juni 2016. Peristiwa ini sehari setelah Putu bersama rombongan anggota dan pimpinan Komisi III DPR menghadiri buka puasa bersama pimpinan KPK periode 2015-2019 di Gedung lama KPK.
I Putu Sudiartana. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Kedua, Patrice Rio Capella selaku anggota Komisi III periode 2014-2015 dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) sekaligus Sekretaris Jenderal DPP Partai NasDem periode 2013-2015. Rio merupakan mantan terpidana 1 tahun 6 bulan penjara disertai pencabutan hak politik selama 3 tahun. Rio telah bebas dari Lapas Sukamiskin Bandung pada Kamis, 22 Desember 2016.
Perkara Rio yakni penerimaan suap bersandi "uang makan siang dan ngopi-ngopi" agar Rio mengurus dan mengamankan penyelidikan kasus dugaan korupsi dana bansos, BDB, BOS, tunggakan DBH, dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD pada Pemprov Sumut yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejaksaan Tinggi Sumut yang diduga dilakukan Gatot Pujo Nugroho selaku Gubernur Sumatera Utara saat itu.
ADVERTISEMENT
Dari Komisi III pula ada satu nama yang sangat tenar. Dia adalah terpidana Muhammad Nazaruddin alias Nazar. Di periode 2009-2014, Nazar duduk sebagai anggota Komisi III sekaligus anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Posisinya juga mentereng di DPP Partai Demokrat yakni Bendahara Umum kurun 2010-2011. Apa saja perkara korupsi pemilik Permai Group ini? Wah, "cukup" banyak.
Nazar adalah terpidana suap pengurusan pembahasan hingga pengesahan anggaran dan proyek pengadaan pembangunan Gedung Wisma Atlet Jakabaring SEA Games XXVI, Palembang, Sumatera Selatan, pada 2011, yang diampu Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Dia juga terpidana penerima suap Rp 40,369 miliar terkait pengurusan sekitar 12 proyek pemerintah dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) lebih Rp 911,46 miliar.
ADVERTISEMENT
Dari "nyanyian" Nazar kemudian terbuka dengan terang dan gamblang perkara korupsi pengesahan anggaran serta proyek pengadaan pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat 2010-2012. Proyek ini pun diampu Kemenpora.
M. Nazaruddin. Foto: Antara/Wahyu Putro A
Bahkan Nazar kemudian membuka dan memberikan informasi ke KPK atas kasus (perkara) korupsi proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP Elektronik (e-KTP) Tahun Anggaran 2011-2013 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Menuju ke Komisi IV. Sedikitnya ada satu orang yakni Adriansyah selaku anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDIP 2014-2015 sekaligus mantan Bupati Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Adriansyah merupakan mantan terpidana penerima suap pengurusan perizinan usaha pertambangan perusahaan-perusahaan di Kabupaten Tanah Laut yang dikelola mantan terpidana Andrew Hidayat selaku Marketing Manager, pemilik, dan pemegang saham terbesar PT Mitra Maju Sukses (MMS).
ADVERTISEMENT
Adriansyah adalah anggota DPR pertama pada periode 2014-2019 yang terjerat kasus korupsi dan menjadi "pasien" KPK. Adriansyah lebih dulu ditangkap KPK di sela Kongres IV PDIP di Bali, malam hari pada 9 April 2015. Saat penangkapan tim KPK menyita uang tunai SGD 50.000. Berdasarkan fakta persidangan dan pertimbangan putusan, uang tersebut rencananya mau dipergunakan Adriansyah untuk keperluan Kongres terkait dengan biaya kebutuhan kader PDIP Kabupaten Tanah Laut yang menghadiri Kongres.
Jauh sebelum Adriansyah, KPK telah menyeret rombongan Komisi IV DPR periode 2004-2009 dalam dua perkara suap. Masing-masing suap pengurusan pembahasan dan pengesahan anggaran Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) tahun 2007 yang masuk dalam Pagu Anggaran 69 Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan. Berikutnya perkara suap pembahasan persetujuan alih fungsi hutan lindung untuk pembangunan pelabuhan Tanjung Api-Api, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
ADVERTISEMENT
Melangkah ke Komisi V. Ada rombongan yang secara bergiliran ditindak KPK dalam delik penerimaan suap pengurusan usulan dan pengesahan alokasi jatah program aspirasi Komisi V DPR yang masuk menjadi proyek-proyek dalam APBN 2016 untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Mereka adalah terpidana Damayanti Wisnu Putranti (divonis 4 tahun 6 bulan) selaku anggota Komisi V dari Fraksi PDIP kurun 2014-2016, terpidana Budi Supriyanto (divonis 6 tahun) selaku anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar kurun 2015-2016, Andi Taufan Tiro (divonis 9 tahun dan pencabutan hak politik selama 5 tahun) selaku anggota sekaligus Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PAN di Komisi V kurun 2014-2016, Musa Zainuddin (divonis 9 tahun dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku anggota merangkap Kapoksi PKB di Komisi V kurun 2014-2016, dan Yudi Widiana (divonis 9 tahun dan pencabutan hak politik selama 5 tahun) selaku Wakil Ketua Komisi V dari Fraksi PKS kurun 2014-2017.
Andi Taufan Tiro. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Saat KPK mengumumkan penetapan tersangka Budi pada Rabu, 3 Maret 2016, Budi sudah bertugas di Komisi X. Sedangkan untuk Musa, telah berpindah tugas sebagai anggota Komisi III sejak Juni 2016 saat KPK mengumumkan status Musa sebagai tersangka pada Senin, 6 Februari 2017.
Khusus Yudi juga menjadi terpidana untuk suap program aspirasi Komisi V DPR yang masuk menjadi proyek-proyek dalam APBN 2015. Bahkan pada Rabu, 7 Februari 2018, KPK mengumumkan penetapan Yudi sebagai tersangka dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Berdasarkan fakta-fakta persidangan dan pertimbangan putusan para terpidana baik penerima suap maupun pemberi suap, ada jatah program aspirasi untuk 54 anggota Komisi V termasuk empat pimpinan Komisi V selain Yudi.
ADVERTISEMENT
Meminjam kesaksian Damayanti, "Dana aspirasi yang diplot nominalnya oleh pimpinan fraksi, kemudian kapoksi, dan anggota. Untuk nilai, hasil nego antara pimpinan Komisi V dengan Kementerian PUPR. Bagian jatah seperti ban berjalan, siapapun anggota DPR pasti dapat. 54 anggota Komisi V semua dapat. Jadi bukan saya sendiri. Sesuai sistem yang sudah (lama) ada di Komisi V. Mengalir saja."
Berpindah ke Komisi VI. Komisi yang membidangi perindustrian, perdagangan, koperasi UKM, BUMN, ini, dan standarisasi nasional ini "menyumbang" dua orang. Pertama, terdakwa penerima suap dan gratifikasi Bowo Sidik Pangarso selaku ketua dan anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Golkar periode 2014-2019. Kedua, tersangka penerima suap I Nyoman Dhamantra selaku anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP periode 2014-2019 merangkap pemilik money changer PT Indonesia Central Valutamas (Indocev) Ltd.
ADVERTISEMENT
Pada Rabu, 14 Agustus 2019 JPU pada KPK mendakwa Bowo Sidik Pangarso menerima suap dan gratifikasi dengan total mencapai setara Rp 10.783.711.957. Rinciannya, penerimaan suap USD 163.733 dan Rp 611.022.932. Penerimaan gratifikasi sebesar SGD 700.000 dan Rp 600 juta.
Uang suap Bowo karena Bowo telah membantu PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) mendapatkan kerjasama pekerjaan pengangkutan dan/atau sewa kapal dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog) serta membantu PT Ardila Insan Sejahtera menagihkan pembayaran utang ke PT Djakarta Lloyd (Persero) dan agar PT Ardila Insan Sejahtera mendapatkan pekerjaan penyediaan BBM (Bahan Bakar Minyak) jenis MFO (Marine Fuel Oil) kapal-kapal PT Djakarta Lloyd (Persero).
Sementara uang terkait dengan empat hal. Pertama, pada awal 2016. Bowo menerima SGD 250.000 dalam jabatan Bowo selaku Anggota Badan Anggaran DPR yang mengusulkan Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau mendapatkan DAK fisik APBN 2016. Kedua, sekitar 2016. Bowo menerima uang tunai SGD 50.000 saat Bowo mengikuti Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Denpasar Bali untuk pemilihan Ketua Umum Partai Golkar Periode 2016-2019.
ADVERTISEMENT
Ketiga, 22 Agustus 2017. Bowo menerima uang sejumlah SGD 200.000 di Restoran Angus House di Lantai 4 Plaza Senayan, Jalan Asia Afrika, Senayan, Jakarta, dalam kedudukannya selaku Wakil Ketua Komisi VI DPR yang bermitra dengan PT PLN (Persero) yang merupakan BUMN. Keempat, 26 Juli 2017. Bowo menerima uang SGD 200.000 dalam kedudukannya selaku Wakil Ketua Komisi VI DPR RI yang sedang membahas Peraturan Menteri Perdagangan tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi melalui Pasar Lelang Komoditas.
Bowo bersama pegawai PT Inersia Ampak Engineers (Inersia) M. Indung Andriani (orang kepercayaan Bowo yang merupakan terdakwa penerima suap dan gratifikasi) dan terdakwa pemberi suap General Manager Komersial PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasty (divonis 1 tahun 6 bulan) lebih dulu diciduk KPK pada 27-28 Maret 2019.
ADVERTISEMENT
Sehari setelah OTT, tim KPK menyita uang tunai dengan total Rp 8.000.300.000. Seluruh uang dengan pecahan Rp 20.000 terdapat di dalam amplop berwarna putih sebanyak 400.015 dalam 4.000 boks amplop yang disimpan di 81 kardus dan 2 kontainer plastik berwarna oranye. Uang ini disita dari kantor PT Inersia.
Berdasarkan fakta persidangan terdakwa Bowo, terungkap Rp 8.000.300.000 merupakan bagian dari total Rp 8,45 miliar hasil penerimaan-penerimaan Bowo. Di masing-masing amplop dari 400.015 amplop, ada cap jempol. Seingat M. Indung Andriani membeberkan, dari total keseluruhan uang lebih dulu dibawa dan diserahkan mantan Sekretaris Jenderal Nawacita Ayi Paryana.
Indung memastikan, uang-uang pecahan Rp 20.000 yang berada di setiap amplop disiapkan untuk serangan fajar Pemilu Legislatif 2019 yang diikuti Bowo. Bowo maju dari daerah pemilihan Jawa Tengah 2. Sebelumnya pada Pemilu 2014, Bowo maju dari dapil yang sama.
ADVERTISEMENT
"Di 2014 ada seperti ini. Ada 250 ribu amplop," ujar Indung saat bersaksi dalam persidangan Bowo, di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Rabu, 4 September 2019.
Yang patut juga diingat, Menteri Perdagangan sekaligus kader Partai NasDem Enggartiasto Lukita pernah dipanggil KPK satu kali disertai penjadwalan ulang dua kali guna menjadi saksi untuk Bowo di tahap penyidikan. Tapi hingga perkara Bowo dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta, Enggartiasto tidak pernah memenuhi panggilan KPK.
Berikutnya, untuk tersangka I Nyoman Dhamantra cukup gres. Dhamantra diciduk bersama beberapa orang kurun Rabu, 7 Agustus 2019 hingga Kamis, 8 Agustus 2019. Sebelum dibekuk KPK, Dhamantra sempat menghadiri Kongres V PDIP di Sanur, Bali, pada Rabu 8 Agustus 2019.
ADVERTISEMENT
Dhamantra bersama lima orang lainnya telah ditetapkan sebagai tersangka suap pengurusan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementrian Pertanian (Kementan) dan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementrian Perdagangan (Kemendag) tahun 2019 atas kuota impor 20.000 ton bawang putih.
Kuota ini untuk tersangka pemberi suap pemilik PT Cahaya Sakti Agro (CSA) Chandry Suanda alias Afung dan kawan-kawan. Bawang putih pada 2019 rencananya diimpor dari Tiongkok. Uang suap yang telah diserah-terimakan sebesar Rp 2,1 miliar--yang Rp 2 miliar untuk Dhamantra. Total commitment fee untuk kuota impor 20.000 ton bawang putih itu mencapai sekitar Rp 35 miliar, dengan asumsi Rp 1.700 hingga Rp 1.800 untuk setiap kilogram.
Melangkah ke Komisi VII yang melingkupi energi, dan riset dan teknologi, dan lingkungan. Dari Komisi ini, setidaknya ada tiga orang. Pertama, (almarhum) Sutan Bhatoegana selaku Ketua Komisi VII periode 2009-2014. Sutan sebelumnya divonis terbukti bersalah dalam perkara perkara suap pembahasan dan pengesahan APBN Perubahan 2013 Kementerian ESDM serta beberapa penerimaan gratifikasi termasuk gratifikasi terkait pengurusan remisi, asimilasi pembebasan bersyarat Saleh Abdul Malik, mantan terpidana korupsi.
Sutan Bhatoegana. Foto: Antara/Reno Esnir
ADVERTISEMENT
Berdasarkan fakta persidangan, uang suap yang diterima Sutan sekitar USD 340.000. Sebagiannya yakni USD 140.000 diserahkan terpidana mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini melalui terpidana mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno. Uang diterima Sutan melalui Iryanto Muchyi selaku staf ahli Sutan saat itu pada Mei 2013.
Dari fakta-fakta persidangan dan pertimbangan putusan atas nama Sutan juga Rudi, uang sebesar USD 140.000 untuk dibagikan Sutan ke para pimpinan Komisi VII (amplop berkode P), 43 anggota Komisi VII (amplopp berkode A), dan Sekretariat Komisi VII (berkoede S). Masih fakta-fakta persidangan dan pertimbangan putusan, sebagian besar uang tersebut telah dibagikan Sutan ke para pihak.
Saat tahun berganti, KPK menciduk Dewi Aryaliniza alias Dewie Yasin Limpo selaku anggota Komisi VII periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Hanura bersama beberapa pihak lainnya pada Selasa, 20 Oktober 2015. Belakangan Dewie divonis terbukti bersalah menerima suap SGD 177.700 atau setara Rp 1,7 miliar. Suap ini terbukti agar Dewie membantu memuluskan dan meloloskan proposal dan anggaran pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua. Dewie dihukum dengan pidana penjara selama 8 tahun dan pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Masih dari periode 2014-2019. Kali ini ada Eni Maulani Saragih selaku Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Partai Golkar. Eni bersama beberapa pihak lain dibekuk tim KPK melalui OTT pada Jumat, 13 Juli 2019. Eni kini menjadi terpidana setelah sebelumnya divonis terbukti bersalah menerima suap Rp 4,75 miliar dan gratifikasi total Rp 5,6 miliar dan SGD 40.000. Eni divonis dengan pidana selama 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun.
Suap diterima Eni dari terpidana pemberi suap pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo. Suap ini terbukti karena Eni telah membantu Kotjo untuk memperoleh kontrak kerja sama proyek Independent Power Producer (IPP) pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau 1 atau IPP PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2 x 300 megawatt di Provinsi Riau milik PT PLN (persero).
ADVERTISEMENT
Sementara gratifikasi diterima Eni dari empat orang pengusaha migas dan pertambangan. Pertama, Rp 5 miliar dari pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal Samin Tan (sudah ditetapkan sebagai pemberi suap oleh KPK). Kedua, Rp 100 juta dan SGD 40.000 dari Direktur PT One Connect Indonesia Herwin Tanuwidjaja. Ketiga, Rp 250 juta dari Direktur PT Smelting Prihadi Santoso. Terakhir dari Presiden Direktur PT Isargas Iswan Ibrahim sebesar Rp 250 juta.
Belakangan dalam perkara suap yang sama, KPK menyeret dua orang ke pengadilan sebagai terdakwa. Pertama, Idrus Marham (divonis 5 tahun di tingkat banding) selaku plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018. Kedua, Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT PLN (Persero), sedang menjalani persidangan.
Idrus Marham. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Dari Komisi VIII DPR ada terpidana Zulkarnaen Djabar selaku Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Golkar periode 2009-2014. Zulkarnaen telah divonis terbukti menerima suap terkait pengurusan anggaran hingga pekerjaan pengadaan kitab suci Alquran di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarat Islam (Ditjen Bimas Islam) dari APBN Perubahan 2011 dan APBN Perubahan 2012 serta pengadaan pengadaan laboratorium MTs 2011 di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Zulkarnaen merupakan terpidana 15 tahun penjara.
Bertandang ke Komisi IX. Dari Komisi Ketenagakerjaan dan Kesehatan ini tercatat ada terpidana Charles Jones Mesang selaku anggota Komisi IX DPR 2009-2014 dan 2014- 2019 dari Fraksi Partai Golkar. Saat KPK mengumumkan status tersangka Mesang pada Senin, 5 Desember 2016, Mesang sedang bertugas di Komisi II DPR.
ADVERTISEMENT
Mesang divonis terbukti menerima uang suap sebesar Rp 9,75 miliar dari 16 pemberi suap para kepala dinas di seluruh Indonesia. Suap diterima Mesang bersama dan melalui terpidana Jamaluddien Malik ‎selaku Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) ‎saat itu dan Achmad Said Hudri selaku Sesditjen P2KT saat itu.
Mesang dihukum dengan pidana penjara selama 4 tahun penjara disertai pencabutan hak politik selama 2 tahun. Suap yang diterima Mesang terkait dengan pengusulan, pembahasan hingga pengesahan dana optimalisasi berupa dana tugas pembantuan tahun 2014 dari APBN atas usulan Ditjen P2KT yang dipergunakan bagi sejumlah daerah dengan alokasi Rp 150 miliar. Angka ini dari total sekitar Rp 610 miliar untuk Kemnakertrans di era Menakertrans saat itu Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan fakta-fakta persidangan dan pertimbangan putusan Mesang, dari total uang Rp 9,75 miliar yang diterima Mesang sebagiannya dialokasikan dan diberikan ke pimpinan Komisi IX dan beberapa anggota Komisi IX periode 2009-2014. Bahka saat pemeriksaan sebagai terdakwa, Mesang mengakui di hadapan majelis hakim tentang hal tersebut.
Selain itu berdasarkan fakta-fakta persidangan dan pertimbangan putusan Jamaluddien, tercantum tentang catatan jatah alokasi dan pemberian Rp 400 juta ke Muhaimin Iskandar alias Cak Imin selaku Menakertrans periode 2009-2014. Meski begitu Jamaluddien membantah Cak Imin terlibat apalagi meminta uang. Cak Imin juga telah membantah terlibat, apalagi Jamaluddien telah memastikan tidak pernah ada permintaan uang dari Cak Imin dan tidak pernah ada pemberian uang ke Cak Imin.
Angelina Sondakh. Foto: Antara/Puspa Purwitasar
ADVERTISEMENT
Beranjak ke Komisi X. Dari Komisi Olahraga, KPK "menyeret" dua orang ke pengadilan. Pertama, terpidana 12 tahun penjara Angelina Patricia Pinkan Sondakh alias Angie‎. KPK menjerat dan membawa Angie selaku anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat periode 2009-2014 dan beberapa perkara korupsi dalam delik penerimaan suap. Perkara Puteri Indonesia 2001 ini yakni suap pengurusan anggaran pembangunan Wisma Atlet, Sea Games XXVI, Jakabaring Palembang 2011 yang diampu Kemenpora dan pengurusan anggaran pembangunan sejumlah rumah sakit yang diampu Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).
Kedua, terpidana Anas Urbaningrum. Anas pernah duduk sebagai anggota Komisi X sekaligus Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR kurun 2009-2010. Selain itu Anas pernah menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat sejak 23 Mei 2010 hingga 23 Februari 2013. Dalam kapasitasnya selaku Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR kurun 2009-2010, Anas ditersangkakan dan kemudian dibawa ke pengadilan serta terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan korupsi dalam delik penerimaan suap terkait beberapa proyek pemerintah yang bersumber dari APBN serta Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang (TPPU).
ADVERTISEMENT
Di tahap kasasi MA, Anas divonis dengan pidana penjara selama 14 tahun dan pencabutan hak politik. Tapi pencabutan hak politik Anas tanpa batas waktu. Lihat putusan kasasi Mahkamah Agung nomor: 1261 K/Pid.Sus/2015 atas nama Anas.
Berikutnya Komisi XI. Dari Komisi Anggaran ini sedikitnya ada tiga orang. Pertama, terpidana Amin Santono selaku anggota Komisi XI sekaligus anggota Badan Anggaran (Banggar) dari Fraksi Partai Demokrat periode 2014-2019. Amin telah divonis 8 tahun penjara disertai pencabutan hak politik selama 3 tahun.
Amin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum menerima suap atas pengurusan alokasi tambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID) dari APBN 2018 untuk Kabupaten Lampung Tengah serta untuk pengurusan penambahan DAK dari APBN Perubahan 2018 untuk Kabupaten Sumedang.
ADVERTISEMENT
Irisan perkara Amin dengan perkara suap terpidana Yaya Purnomo selaku Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Khusus perkara Yaya sehubungan dengan penerimaan suap dan gratifikasi terkait pengurusan DAK dan DID dari APBN 2016, APBN 2017, APBN-P 2017, dan APBN 2018 untuk sekitar 10 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Dalam perkara Yaya, selama proses persidangan maupun tertuang dalam pertimbangan putusan Yaya telah tercantum ada keikutsertaan Muchammad Romahurmuziy (Rommy) selaku anggota Komisi XI DPR periode 2014-2019 sekaligus Ketua Umum DPP PPP masa bakti 2014-2019 dalam pengurusan alokasi DAK Kota Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat dan alokasi DAK bidang pendidikan untuk Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dari APBN 2018.
ADVERTISEMENT
Kedua, tersangka penerima suap Rp 2,65 miliar dan USD 22.000, Sukiman selaku anggota Komisi XI DPR sekaligus anggota Banggar dari Fraksi PAN periode 2014-2019. Penerimaan suap Sukiman diduga untuk pengurusan dan pengawalan atas pengusulan, pembahasan, dan pengesahan DAK untuk Kabupaten Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat dari APBN 2017, APBN-Perubahan 2017, dan APBN 2018.
Ketiga, terdakwa penerima suap Muchammad Romahurmuziy (Rommy) selaku anggota Komisi XI DPR periode 2014-2019 sekaligus Ketua Umum DPP PPP masa bakti 2014-2019. Rommy telah didakwa melakukan dua perbuatan tipikor dalam delik penerimaan suap. Rommy bersama Lukman Hakim Saifuddin (belum tersangka) selaku Menteri Agama periode 2014-2019 menerima suap Rp 325 juta dari terpidana Haris Hasanuddin (telah divonis 2 tahun penjara) selaku pelaksana tugas yang kemudian menjabat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Jawa Timur.
Romahurmuziy. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Suap ini menurut JPU pada KPK, karena Rommy dan Lukman telah melakukan intervensi baik langsung maupun tidak langsung terhadap proses pengangkatan Haris Hasanuddin sebagai Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, yang bertentangan dengan kewajibannya. Sebagai pembanding, lihat pula putusan dan pertimbangan putusan atas nama Haris.
Kemudian Rommy secara sendiri juga telah menerima uang suap Rp91,4 juta dari terpidana Muh Muafaq Wirahadi (divonis 1 tahun 6 bulan) selaku PNS Kemenag. Uang suap ini karena Rommy baik secara langsung atau tidak langsung telah melakukan intervensi terhadap proses pengangkatan Muafaq sebagai Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik. Sebagai pembanding, lihat pula putusan dan pertimbangan putusan atas nama Muafaq.
Haris maupun Muafaq mengikuti proses Seleksi Jabatan Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi pada Kementerian Agama 2018/2019.
ADVERTISEMENT
Selain itu ada juga terpidana 15 tahun penjara Setya Novanto (Setnov). Perkaranya yakni korupsi proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket penerapan e-KTP Tahun Anggaran 2011-2013 pada Kemendagri dengan kerugian negara sebesar Rp 2.314.904.234.275,39. Saat ditetapkan sebagai tersangka, Setnov sedang menjabat sebagai Ketua DPR (2016-2017) merangkap Ketua Umum DPP Partai Golkar (2016-2017).
Setya Novanto. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Setnov ditersangkakan oleh KPK dalam kapasitasnya selaku Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR periode 2009-2014. Selama periode 2009-2014 maupun periode 2014-2019, nama Setnov sering tercatat sebagai anggota Komisi III DPR.
Dari unsur pimpinan DPR pun ada terdakwa penerima suap Taufik Kurniawan. Pada Senin, 15 Juli 2019, majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang memvonis Taufik selaku Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 dengan pidana penjara selama 6 tahun disertai pencabutan hak politik selama 3 tahun. Wakil Ketua Umum DPP PAN (2015-2019) ini terbukti telah menerima suap dengan total Rp 4,85 miliar untuk pengurusan DAK dua kabupaten di Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Pertama, Rp 3,65 miliar karena telah membantu pengurusan penambahan dan pengesahan DAK untuk Kabupaten Kebumen dari APBN Perubahan 2016. Kedua, Rp 1,2 miliar karena telah membantu penambahan dan pengesahan DAK untuk Kabupaten Purbalingga dari APBN Perubahan 2017.
Bahkan kalau mau ditambahkan, ada juga terpidana Irman Gusman selaku Ketua DPD kurun 2014-2016. Irman sebelumnya divonis dengan pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan disertai pencabutan hak politik selama 3 tahun. Irman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum telah menerima suap Rp 100 juta terkait pemberian rekomendasi untuk pengurusan kuota impor gula rafinasi untuk CV Semesta Berjaya di Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) tahun 2016.

Pencegahan Korupsi untuk DPR

Para pembaca yang budiman, sesaat setelah 555 anggota DPR periode 2014-2019 dilantik pada Rabu, 1 Oktober 2014, sebenarnya KPK telah mengingatkan para anggota DPR agar tidak melakukan korupsi sebagaimana yang terjadi pada periode 2009-2014.
ADVERTISEMENT
Bambang Widjojanto selaku Wakil Ketua KPK periode 2011-2015 menyatakan para anggota DPR periode 2014-2019 harus memperbaiki kinerjanya hingga tidak lagi melakukan perbuatan (dugaan) korupsi. Apalagi menurut pria yang karib disapa BW ini, KPK telah menyerahkan hasil kajian dan rekomendasi KPK ke DPR periode 2009-2014. Kajian dan rekomendasi KPK itu terkait dengan lima aspek.
Pertama, proses perekrutan sistem pendukung anggota DPR seperti tenaga ahli harus dijalankan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, mekanisme pelaksanaan kewenangan DPR termasuk di dalamnya lobi tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Ketiga, menghindari konflik kepentingan dalam menjalankan tugas dan fungsi DPR. Keempat, membangun integritas dan akuntabilitas DPR saat pelaksanaan tugas dan fungsi. Kelima, evaluasi atas proses dan kinerja Badan Kehormatan (BK) DPR yang berdasarkan UU MPR, DPR, dan DPD (MD3) namanya berubah menjadi Dewan Kehormatan.
ADVERTISEMENT
"Belajarlah dari periode masa sebelumnya yang banyak tersangkut kasus korupsi. Ke depan kami harapankan itu tidak terjadi lagi. Artinya untuk itu integritas pribadi dari DPR yang baru ini integritasnya diperbaiki supaya bisa berfungsi dengan baik sesuai dengan amanat rakyat, memperjuangkan kepentingan rakyat," ungkap Zulkarnain selaku Wakil Ketua KPK periode 2011-2015.
Lihat secara detail pernyataan BW dan Zulkarnain serta data pendukung dalam berita Antaranews berjudul "Selamat datang para legislator, semoga tidak korup!" dalam tautan ini.
Berdasarkan data dan dokumen pendukung yang berhasil penulis peroleh, dalam kurun September hingga Desember 2013 KPK telah melakukan kajian tentang proses kerja di DPR dan rekomendasi perbaikan telah diserahkan ke DPR. Kajian dan rekomendasi KPK meliputi aspek individu, sistem, dan politik.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan individu, KPK menyarankan di antaranya adalah pengaturan atas penyampaian pertanggungjawaban lobi dengan mempublikasikan informasi hasil kegiatan lobi yang dilaksanakan serta melaporkannya kepada pimpinan DPR, pimpinan alat kelengkapan, dan fraksi.
Pada aspek sistem di antaranya terkait fungsi legislasi dan pengawasan, DPR perlu menetapkan kriteria prolegnas dan akses informasi publik terkait draft RUU dan proses pembahasannya, penyederhanaan prosedur dalam pembahasan undang-undang, hingga penyusunan kriteria dalam pemilihan objek pengawasan yang harus ditetapkan secara jelas.
Salah satu rekemondasi KPK yang "belakangan" dijalankan DPR adalah terkait fungsi penganggaran dengan tidak adanya lagi pembahasan anggaran di DPR hingga satuan tiga. Rekomendasi KPK ini bahkan diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 35/PUU-XI/2013 yang diputus pada Kamis, 22 Mei 2014. MK mempreteli kewenangan DPR membahas anggaran hingga satuan tiga berupa kegiatan dan jenis belanja masing-masing kementerian/lembaga.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, pada 2014, KPK juga telah mengkaji dana optimalisasi dalam APBN dan menemukan enam potensi korupsi mulai dari pengalokasian, besaran usulan DPR, pembahasan di DPR, hingga tidak adanya peraturan tentang pemanfaatan dana optimalisasi. Karenanya KPK menitikberatkan pada transparansi dan akuntabilitas dalam menetapkan mekanisme, kriteria, peruntukan, dan pembiayaannya.
Sehubungan dengan kajian KPK pada 2013 atas proses kerja di DPR dan rekomendasi perbaikan telah diserahkan ke DPR, ada baiknya kita hadirkan pernyataan Pramono Anung selaku Wakil Ketua DPR periode 2009-2014. Sebagai catatan, Pramono kini sedang menjabat sebagai Sekretaris Kabinet periode 2014-2019. Pada 2013, Pramono beberapa kali hadir mengikuti paparan KPK atas kajian tersebut. Bahkan Pramono yang langsung menerima hasil kajian dan rekomendasinya dari KPK. Silakan akses berbagai berita media massa atas hal ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sebelum perkara korupsi proyek e-KTP ditangani KPK dan "meledak" ke publik, hakikatnya sejak jauh-jauh hari KPK telah melakukan kajian pencegahan korupsi dan memberikan rekomendasi pada 2011 ke pemerintah dalam hal ini Kemendagri serta ke Komisi II DPR periode 2009-2014. Spesifiknya terkait dengan sistem dan proyek e-KTP.
Dari kajian itu, KPK menemukan potensi korupsi. Karenanya ada enam rekomendasi yang diberikan KPK untuk perbaikan dan mesti dilakukan pemerintah.
Pertama, menyempurnakan grand design proyek e-KTP. Kedua, menyempurnakan aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan mendorong penggunaan SIAK di seluruh wilayah Indonesia dengan melakukan percepatan migrasi non-SIAK ke SIAK. Ketiga, memastikan tersedianya jaringan pendukung komunikasi data online/semi online antara kabupaten/kota dengan MDC di pusat agar proses konsolidasi dapat dilakukan secara efisien.
ADVERTISEMENT
Keempat, melakukan pembersihan data kependudukan dan penggunaan biometrik sebagai media verifikasi untuk menghasilkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) tunggal. Kelima, melaksanakan e-KTP setelah basis database kependudukan bersih atau NIK tunggal. Padahal pada 2011, NIK belum tunggal tetapi sudah terjadi pelaksanaan/penerapan e-KTP. Keenam, pengadaan e-KTP harus dilakukan secara elektronik dan semestinya dikawal secara ketat oleh LKPP.
Meski KPK telah melakukan pencegahan korupsi untuk proyek e-KTP, kenyataannya masih saja terjadi korupsi dengan pelaku mulai dari anggota/mantan anggota DPR, pejabat/mantan pejabat Kemendagri, unsur Konsorsium Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sebagai pemenang tender, hingga sejumlah pengusaha perusahaan swasta dan pihak swasta lainnya.
Ketika terjadi korupsi seperti di proyek e-KTP, apakah masih harus KPK masih yang disalahkan?
ADVERTISEMENT
Jadi bagi saya, agak sedikit aneh ketika masih ada anggota DPR lebih khusus periode 2014-2019 yang menyebutkan KPK tidak melakukan pencegahan korupsi dengan maksimal. Bahkan ada beberapa anggota DPR yang "menuding" KPK lebih mengedepankan penindakan daripada pencegahan korupsi.
Narasi seperti ini kemudian dipakai saat beberapa kali DPR menggulirkan (upaya) revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, termasuk pada September 2019. Satu di antara sejumlah maksud dari revisi UU KPK yaitu agar KPK turut fokus dan serius melakukan pencegahan korupsi secara konsisten.
Memang, saya juga memahami, narasi tadi sebagai langkah DPR mengkritik KPK agar lebih meningkatkan program dan kegiatan pencegahan korupsi, serta tindakan DPR menjalankan fungsi pengawasan terhadap KPK.
ADVERTISEMENT
Tapi kemudian ada berbagai pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya.
Saya hanya ingin memberikan dua contoh saja terkait RDP Komisi III dengan KPK. Satu, RDP pada Senin, 23 Juli 2018. Berdasarkan laporan singkat RDP tersebut, KPK melalui pimpinan KPK telah menjelaskan secara menyeluruh tentang bidang pencegahan korupsi yang digarap KPK mencakup banyak aspek. Di antaranya kepentingan nasional (national interest) pada enam sektor strategis. Masing-masing yakni sektor penerimaan negara, sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor sumber daya alam (SDA), sektor energi dan infrastruktur, serta sektor ketahanan pangan dan reformasi birokrasi.
ADVERTISEMENT
Masih berdasarkan laporan singkat RDP tersebut, KPK menyampaikan telah memberikan berbagai rekomendasi untuk enam sektor strategis. Saat implementasi rekomendasi, KPK bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait serta instansi terkait lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dalam mengawal pengadaan serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) untuk mengawal area perbaikan sistem sumber daya manusia (SDM).
Bahkan KPK juga mendorong rekomendasi atas hasil kajian pencegahan korupsi enam sektor strategis masuk dan menjadi bagian dari rekomendasi yang dipantau dalam Program Strategi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi yang diinisiasi pemerintah.
Dua, RDP pada Senin, 2 September 2019. Penulis mendapatkan dua materi paparan KPK saat RDP ini. Meski membahas Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2020, tapi KPK juga menyampaikan keberhasilan bidang pencegahan korupsi. Khususnya meliputi capaian Juli 2018 hingga Juli 2019 berupa Rp 27,7 triliun penyelamatan kekayaan daerah. Kekayaan ini terdiri atas penerimaan pajak, penagihan piutang pajak, dan aset-aset beberapa pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai data dan informasi lainnya yang penulis peroleh, secara keseluruhan saat melakukan pencegahan korupsi pada kementerian, lembaga, intansi hingga pemerintah daerah, KPK memaketkan pencegahan dan penindakan korupsi terintegrasi. Guna upaya ini KPK turut menggandeng Kepolisian, Kejaksaan, dan hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Direktorat Jenderal Pajak.

GOPAC dan Pencegahan Korupsi DPR

Indonesia lebih khusus DPR, mendapatkan "berkah" yang luar biasa selama kurun 2013 hingga 2017. Apa musababnya? Sepanjang 2013-2015, Marzuki Alie selaku Ketua DPR periode 2009-2014 mendapat amanah menjadi President of Southeast Asian Parliamentarians Against Corruption (SEAPAC) atau Presiden Parlemen Asia Tenggara Melawan Korupsi.
Kemudian Pramono Anung selaku Wakil Ketua DPR periode 2009-2014 memegang amanah sebagai Ketua Gugus Tugas Nasional Global Organziation of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, Pramono menegaskan Gugus Tugas Nasional GOPAC Indonesia merupakan gerakan moral untuk mencegah terjadinya korupsi di DPR. Gerakan ini diharapkan bisa didengar oleh para anggota DPR, dan para anggota DPR mencegah sejak dari sendiri untuk tidak melakukan korupsi.
ADVERTISEMENT
"Selama ini KPK seperti sendirian dalam pemberantasan korupsi ini, di mana korupsi itu biasanya melibatkan pemerintah, DPR, dan pengusaha," ujar Pramono sebagaimana dilansir Antaranews dalam berita berjudul "Pramono: korupsi kejahatan kemanusiaan dan HAM".
Berikutnya, mengutip halaman 5 Buletin Parlemen edisi NOMOR: 787/IX/2013 yang diterbitkan DPR, Pramono menegaskan, memang pemberantasan korupsi di Indonesia belum berhasil secara menyeluruh. Tapi sejauh ini menurut Pramono, Indonesia termasuk cukup maju dalam pemberantasan korupsi. Ditambah lagi, ujar Pramono, Indonesia memiliki KPK. Politisi PDIP ini menggariskan, saat dia menjadi pembicara di Brazil dan Afrika Utara ternyata banyak negara memberi apresiasi yang luar biasa kepada KPK.
"Yang paling utama kita punya KPK. Dan KPK ini sudah menjadi model dunia," tegas Pramono.
ADVERTISEMENT
Setelah periode DPR berganti, Fadli Zon selaku Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 terpilih menjadi President Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) atau Presiden Organisasi Parlemen Melawan Korupsi Sedunia periode 2015-2018.
Dalam berbagai kesempatan, Fadli Zon menekankan, betapa pentingnya peran parlemen termasuk DPR RI dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif, transparan, terbuka, dan bebas dari korupsi. Bahkan Pemberantasan korupsi termasuk di dalamnya pencegahan korupsi menjadi penyokong utama bagi penyelenggara pemerintahan guna menunjang, mendukung, dan mencapai pembangunan berkelanjutan serta mendukung perdamaian.
"Yang jelas kita punya komitmen bahwa parlemen turut memiliki andil besar dalam memberantas korupsi karena harus sistematis, mulai dari pencegahan penindakan melalui perannya dalam legislasi, pengawasan dan penganggaran," ujar Fadli, sebagaimana dilansir DPR dalam artikel "Parlemen Berperan Dalam Memberantas Korupsi".
ADVERTISEMENT
Saya tidak ingin menihilkan peran dan pelaksana tugas Marzuki Alie dalam jabatan di SEAPAC, Pramono Anung di GOPAC, maupun Fadli Zon di GOPAC. Tapi faktanya, sepanjang 2009 hingga 2019 ada banyak anggota DPR baik selaku Anggota, Anggota Komisi, Ketua Fraksi, hingga level Wakil Ketua dan Ketua DPR. Fakta ini menunjukkan, paling tidak, para Anggota DPR (yang jadi "pesakitan") tidak serius mencegah korupsi di rumahnya sendiri.
Agus Rahardjo selaku Ketua KPK periode 2015-2019 menyatakan sejak KPK efektif bertugas pada 2003 maka KPK telah menangani 1.064 perkara dengan tersangka dari berbagai macam latar belakang. Dari DPR/DPRD ada total 255 perkara (orang).
"Jumlah OTT (operasi tangkap tangan) 123 kali. Jumlah tersangka dari OTT 432 orang. Latar belakang tersangka yang ditangani KPK per Juni 2019, anggota DPR/DPRD 255 perkara, kepala daerah 30 perkara, pimpinan partai politik 6, kepala lembaga/kementerian 27 perkara, dan lain-lain," tegas Agus saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis, 5 September 2019.
ADVERTISEMENT
Keseluruhan isi materi konferensi pers ini hakikatnya pernyataan sikap KPK menyikapi proses seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023 dan revisi UU KPK sedang berlangsung.

Cegah Korupsi dari 'Rumah Sendiri'

Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan dana optimalisasi yang kemudian di antaranya bertransformasi menjadi usulan program aspirasi anggota DPR memang diduga sangat rentan terjadi korupsi. Dalam proses usulan bahkan anggota DPR bekerjasama dengan pejabat pemerintah daerah, pejabat kementerian/lembaga, hingga pengusaha. Berbagai kasus (perkara) yang ditangani KPK membuktikan dugaan tersebut.
Padahal tutur Pahala, KPK telah memberikan rekomendasi ke DPR berdasarkan hasil kajian pencegahan korupsi atas dana optimalisasi maupun proses kerja di DPR. Harapannya DPR maupun pemerintah dapat mengikuti dan melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yang telah diberikan KPK. Bahkan dia mengungkapkan, sebenarnya KPK telah memaparkan berbagai program dan capaian bidang pencegahan korupsi yang telah dilaksanakan KPK kepada DPR.
ADVERTISEMENT
"Sudah kita sampaikan (ke DPR). Ada detailnya. Terakhir kita paparkan di RDP dengan Komisi III DPR hari Senin, 2 September 2019, tentang pencegahan korupsi berupa penyelamatan keuangan dan aset daerah-daerah," ujar Pahala kepada penulis.
Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menyatakan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002 tentang KPK maka KPK memiliki lima tugas. Pertama, koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor). Kedua, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tipikor. Ketiga, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tipikor. Keempat, melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Kelima, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tipikor.
Laode M. Syarief. Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Dia membeberkan, pihaknya telah, terus, dan tetap menerima kritikan, masukan, dan saran dari berbagai pihak terkait pencegahan korupsi. Syarif menegaskan, berbagai kegiatan dan program bidang pencegahan telah, sedang, dan terus dilakukan KPK menyasar berbagai kementerian, lembaga, instansi, pemerintah daerah, hingga level DPR RI maupun DPRD provinsi, kabupaten, dan kota.
ADVERTISEMENT
Bahkan Syarif menggariskan, berbagai rekomendasi dan saran perbaikan telah disampaikan KPK termasuk ke DPR RI yang didasarkan hasil kajian dan penelitian KPK. Rekomendasi dan saran tersebut mencakup perbaikan sistem di DPR atas pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan serta peta rawan korupsi di DPR. Saat pelaksanaan kajian dan penyampaian rekomdasi, KPK duduk bersama dengan DPR.
"Seharusnya lebih difokuskan bahwa parlemen harus menjaga betul-betul rambu-rambu agar tidak ada lagi terjadi tindak pidana korupsi di sana. Seperti semacam program khusus untuk pencegahan di DPR. KPK sudah pernah melakukan khusus melakukan pencegahan di DPR. Rekomendasi sudah kita berikan juga, tapi masih ada yang tidak dijalankan. Sambutan dari sana (DPR) juga kurang bagus," ujar Syarif.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, berbagai kasus (perkara) korupsi secara umum terbagi dengan kategori terbesar masing-masing penyuapan (suap menyuap) dan penyalahgunaan kewenangan dengan kerugian negara. Objeknya baik dalam pengadaan barang dan jasa; pengurusan pengajuan, pembahasan, dan pengesahan anggaran; hingga perizinan.
Karenanya, Syarif menegaskan, jika masih ada pihak termasuk anggota DPR yang berpikir dan menyebutkan KPK harus serius melakukan pencegahan korupsi maka hal tersebut salah besar. Musababnya pencegahan korupsi adalah tugas semua pihak termasuk di antaranya KPK, DPR, maupun pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
"Janganlah semua kesalahan tindak pidana korupsi di Indonesia itu seakan-akan tanggung jawabnya itu hanya ke KPK saja, tidak bisa. Dari Sabang sampai Merauke, dari setiap lapisan, pencegahan itu kita harus rame-rame. Kalau misalnya di parlemen maka kita sama-sama untuk mencegahnya. Di eksekutif kita juga sama-sama. Selama dimintai pasti kita dengan senang hati untuk itu," ungkap Syarif.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai fakta dan informasi di atas, saya sangat sepakat bahwa sudah semestinya dan seharusnya (para anggota) DPR sadar akan diri dan rumahnya sendiri. DPR harus bertindak dan membuktikan diri mampu mencegah korupsi dari rumahnya sendiri. Tak perlu menyematkan kesalahan pada pihak lain atas perilaku atau perbuatan atau tindakan korup yang dilakukan penghuni rumah.
Dengan kepercayaan dari dunia internasional terhadap DPR dengan partisipasi bahkan pernah menjadi Presiden GOPAC, sepatutnya DPR memberikan contoh dan teladan bagi masyarakat, termasuk di dalamnya bagi DPRD baik tingkat satu maupun tingkat dua. Artinya lembaga legislatif di Indonesia memberikan contoh terbaik bagi parlemen-parlemen dunia.
ADVERTISEMENT
Selain itu saya juga ingin ikut menyumbang saran agar DPR dapat membendung korupsi dari rumahnya sendiri. Saran ini pernah penulis tuangkan dalam artikel berjudul "Penerimaan Suap dan Gratifikasi, Tradisi Berujung Pidana".
Dengan banyak pelaku korupsi dari unsur legislatif, maka upaya membendung korupsi yang bisa dilakukan adalah perlu dibentuk badan pengawas khusus yang independen. Badan ini bertugas untuk mengawasi DPR dan DPRD serta mencakup MPR dan DPD. Untuk pembentukan badan ini kiranya MPR, DPR, DPD, dan DPD mesti terbuka dan legowo.
Mekanisme pembentukannya diserahkan sepenuhnya kepada legislatif. Tapi legislatif pun harus terbuka dengan tetap melibatkan pemerintah atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga penegak hukum terkait.
ADVERTISEMENT
Andai DPR ingin agar KPK menjadi "Komisi Pencegahan Korupsi", maka DPR juga harus bertindak sebagai "Dewan Pencegahan Rasywah (suap)" sekaligus dewan pencegahan ghulul (korupsi).
Kita tentu semua berharap lembaga legislatif menjadi pengawas yang sepadan bagi pemerintah, kementerian, lembaga, dan intansi terkait. Sembari DPR tetap menjadi garda terdepan pemberi contoh baik membendung apapun bentuk korupsi. Jangan sampai lembaga yang mewakili suara rakyat malah mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompoknya sendiri.[]