Kasus ‎Century yang Perlahan Dilupakan

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
23 Februari 2018 10:19 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sabir Laluhu di KPK. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sabir Laluhu di KPK. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kasus ini ‎sangat masyhur di masanya. Kala itu segala energi, tenaga, upaya, tindakan, sumber daya, dan waktu di‎kerahkan untuk mengurai, menguliti, mendalami, mengusut, dan membongkarnya.
ADVERTISEMENT
Minimal tiga ranah ambil bagian di gelanggang yang sangat luas. Masing-masing legislatif (DPR), eksekutif (pemerintah), dan penegak hukum. ‎Dari sisi penegak hukum, sedikitnya ada empat komponen yakni Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA).
‎Kasus ini ibarat santapan pembuka sarapan di pagi hari, juga bagaikan santapan penutup di malam hari. Seluruh mata dan telinga masyarakat hampir di seantero Indonesia lekat sekali dengannya. Bagaimana tidak, segala informasi yang terkait dengannya diberitakan secara masif oleh media massa hampir tak mengenal waktu. Pagi, siang, sore, malam, tengah malam, dan juga dini hari kasus ini terus ada beritanya.
ADVERTISEMENT
Ia tenar dengan sebutan 'Bailout Bank Century' atau 'Kasus Century'.
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Dari ranah politik legislatif, ‎DPR pernah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century. Penanganan oleh Pansus Angket Century ‎disertai persidangannya di Gedung Parlemen harus diakui. Hasilnya pun patut diberikan jempol. Karena banyak fakta dan data begitu telanjang.
‎‎Para penggawa Pansus Angket Century beberapa tahun silam masih bisa kita jumpai hingga kini. Mereka bahkan masih sangat vokal dan lantang. Sampai-sampai ada beberapa yang menulis buku dan sudah diterbitkan.
Sebagai misal, mantan anggota Pansus Angket Century sekaligus mantan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar yang kini Ketua DPR Bambang Soesatyo; mantan anggota Pansus sekaligus mantan anggota Komisi III DPR‎ yang kini Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah; dan mantan anggota Pansus dari Fraksi PKS yang kini anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar M Misbakhun‎.
ADVERTISEMENT
Bambang Soesatyo membuat dua buku: Skandal Gila Bank Century: Mengungkap yang TAK Terungkap Skandal Keuangan Terbesar Pascareformasi dan Skandal Century di Tikungan Terakhir Pemerintahan SBY-Boediono. Fahri dengan buku Kemana Ujung Century: Penelusuran dan Catatan Mantan Anggota Pansus Hak Angket Bank Century DPR-RI. Misbakhun menggoreskan buku Sejumlah Tanya Melawan Lupa, Mengungkap 3 Surat SMI kepada Presiden SBY.
Dari ranah politik legislatif kemudian bergeser ke penanganan pidananya oleh penegak hukum. Mabes Polri pernah menangkap Robert Tantular selaku pemilik saham PT Bank Century Tbk pada 25 November 2008 atas perintah ‎Wakil Presiden saat itu M. Jusuf Kalla (JK). Robert juga pemilik sekaligus pemegang saham pengendali PT Antaboga Delta Sekuritas.
Penangkapan tersebut dilakukan 4 hari setelah dana talangan (bailout) sebesar Rp 2,7 triliun dikucurkan Bank Indonesia. Pengucuran dana akibat adanya masalah, kerugian, hingga likuiditas karena Robert mempermainkan bank dan mentransfer surat berharga bodong.
ADVERTISEMENT
"‎Kenapa bikin bailout, ini perampokan, masa perampok dibantu? Tangkap orangnya, jangan dikasihani orang begitu. ... Karena Pak Boediono tidak mau melaporkan (ke polisi), akhirnya saya yang meminta Mabes Polri menangkap Robert. ... Saat itu kemudian ditangkap," ujar JK di hadapan Pansus Angket Century di Gedung DPR, Jakarta pada Kamis, 14 Januari 2010.
‎Robert bahkan dijerat dan dibawa ke pengadilan dengan berbagai delik. Di antaranya penipuan, beberapa penyimpangan dalam perbankan, hingga Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Pada Juni 2016, majelis hakim agung kasasi di Mahkamah Agung (MA) memvonis total pidana penjara 21 tahun untuk Robert. Vonis tersebut juga disertai perampasan uang dan aset milik Robert ratusan miliar termasuk sebuah mal di kawasan Serpong.
ADVERTISEMENT
Masih ada beberapa tersangka lain yang ditangani Mabes Polri juga Kejagung. Tim Mabes Polri dan Kejagung menangkap buronan kasus Century yakni terpidana Hartawan Aluwi pada April 2016 di Singapura. Hartawan yang sudah divonis 14 tahun penjara dengan in absentia (tanpa kehadiran pelaku/Hartawan) berhasil ditangkap setelah buron lebih 8 tahun atau sejak 2008.
Mari berpindah ke 'Kuningan', sebutan untuk KPK. Sebutan atau kode ini muncul serta sudah dipahami berbagai kalangan karena dengan melihat alamat kantor (gedung) KPK yang berada di Kuningan, Jakarta Selatan. Harus diakui, sorotan paling kencang terkait penanganan kasus Century dari berbagai kalangan tentu saja ada pada KPK.
Lembaga antikorupsi yang sudah berusia lebih dari 14 tahun ini 'baru' menangani satu orang kurun November 2012 hingga Februari 2018 atau selama 6 tahun. Hingga tingkat pengadilan, KPK sudah membawa ‎perkara atas nama Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang 4 Pengelolaan Moneter, Devisa, dan Kantor Perwakilan.
ADVERTISEMENT
Perkara Budi Mulya ‎sudah divonis di tiga tingkatan pengadilan. Saat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ‎pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) putusannya bernomor: 21/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengeluarkan putusan dengan nomor: 67/PID/TPK/2014/PT.DKI. Pada tahap kasasi di Mahkamah Agung (MA), putusannya memiliki nomor: 861 K/PID.SUS/2015.
Sekadar informasi, perkara yang menjerat Budi Mulya bertajuk korupsi dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Putusan yang Sangat Menarik
Yang paling menarik dari tiga putusan terhadap Budi Mulya di atas adalah di pengadilan tingkat pertama ‎(Pengadilan Tipikor) dan tingkat kasasi di MA.
Di Pengadilan Tipikor Jakarta, majelis hakim yang dipimpin Aviantara memutus Budi Mulya dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi atas pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
ADVERTISEMENT
Perbuatan Budi Mulya ‎terbukti secara bersama-sama atau turut serta dengan pihak lain dan berlanjut sesuai Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana, sebagaimana dalam dakwaan primer.
Majelis menjatuhkan pidana 10 tahun penjara dan pidana denda Rp 500 juta subsider 5 bulan kurungan. Majelis pun memutus uang Rp 1 miliar yang diterima Budi Mulya dari Robert Tantular dirampas untuk negara.
Majelis menilai dalam perkara ini negara mengalami kerugian yang sangat fantastis. Untuk pemberian FPJP ada kerugian Rp 689,394 miliar dan dalam proses penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik terjadi kerugian Rp 6.762.361.000.000.
Bahkan dalam pertimbangan putusan, majelis memasukkan tambahan dana penyertaan modal sementara (PMS) sebesar Rp 1,25 triliun yang digelontorkan pada Desember 2013 sebagai kerugian negara. Majelis memastikan jika dijumlahkan maka total kerugian negara adalah Rp 8.012.221.000.000.
ADVERTISEMENT
Dalam putusan tingkat pertama, majelis menuangkan pihak yang turut serta atau bersama-sama dengan Budi Mulya. Mereka yakni mantan Gubernur BI Boediono, mantan Deputi Gubernur (almarhum) Siti Chalimah Fadjrijah, mantan Deputi Gubernur Muliaman Dharmansyah Hadad, mantan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom (mantan terpidana pemberi suap cek pelawat ke DPR saat pencalonan sebagai calon dewan gubenur 2004), mantan Deputi Gubernur (almarhum) S. Budi Rochadi, Robert Tantular, Harmanus H Muslim, dan mantan Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede.
Satu majelis hakim lain menilai mantan Ketua KSSK sekaligus mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati juga tergolong turut serta atau bersama-sama melakukan korupsi dalam perkara tersebut.
Pada tingkat kasasi MA, majelis hakim agung yang diketuai Artidjo Alkotsar dengan anggota Mohamad Askin dan MS Lumme memutuskan, menerima kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK dan menolak kasasi Budi Mulya. Majelis kasasi juga membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (Budi Mulya divonis 12 tahun) dan memperbaiki (sedikit) putusan Pengadilan Tipikor Jakarta.
ADVERTISEMENT
Majelis kasasi menyatakan, Budi Mulya telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama-sama atau turut serta dengan pihak lain dan berlanjut, sebagaimana dalam dakwaan primer.
Majelis kasasi lantas menghukum Budi Mulya dengan pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan selama 8 bulan. Selain itu, lebih dari 1.000 barang bukti diputuskan dipergunakan untuk perkara lain.
"Memerintahkan barang bukti (nomor 1-1.045) dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain," bunyi salinan putusan kasasi yang diputuskan dalam rapat musyawarah pada Rabu, 8 April 2015, sebagaimana diunduh dari laman Direktori Putusan MA.
Bank Century (Foto: Facebook Bank Century)
zoom-in-whitePerbesar
Bank Century (Foto: Facebook Bank Century)
Dalam pertimbangan putusan, majelis kasasi menyatakan perbuatan Budi Mulya secara bersama-sama dengan pihak lain dan berlanjut telah melawan hukum hingga merugikan negara sebesar Rp8.021.221.000.000 kurun November 2008 hingga Desember 2013. Bagi majelis kasasi, kerugian tersebut merupakan kerugian yang sangat besar di tengah banyaknya rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Perbuatan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik untuk diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akibat dari keputusan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang diikuti Budi Mulya, yang berujung kerugian negara tadi telah mencederai kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan negara dalam membangun demokrasi ekonomi.
Dalam menjatuhkan pidana, majelis kasasi mempertimbangkan hal-hal meringankan dan memberatkan. Yang meringankan bagi Budi Mulya ada tiga. Satu, berlaku sopan selama persidangan. Dua, masih mempunya tanggungan keluarga. Tiga, belum pernah dihukum.
Pertimbangan memberatkan ada lima. Satu, perbuatan Budi Mulya kontraproduktif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dua, perbuatannya telah merusak citra Bank Indonesia sebagai bank sentral. Tiga, sebagai pejabat BI seharusnya Budi Mulya menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat. Empat, Budi Mulya tidak mengakui terus terang perbuatannya. Lima, nilai kerugian negara sangat besar hingga mencapai lebih dari Rp 8 triliun.
ADVERTISEMENT
Putusan majelis kasasi MA ini jelas sangat mendukung pertimbangan dan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta. Lebih khusus majelis kasasi tak menghapuskan dan malah memperkuat adanya pihak-pihak yang disebut turut serta atau bersama-sama dengan Budi Mulya melakukan perbuatan pidana.
Pelajaran untuk Kasus Lain
Perjalanan kasus atau perkara korupsi Century atas nama Budi Mulya selama di KPK maupun di Pengadilan Tipikor Jakarta memberikan pelajaran dan menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Baik bagi KPK sebagai penegak hukum, pengadilan, para praktisi hukum, eksekutif, legislatif, masyarakat luas maupun bagi para jurnalis yang meliput.
Beberapa pelajaran yang bisa dipetik: (1) kebijakan pemerintah khususnya bidang ekonomi kalau tak hati-hati maka sangat berpotensi terjadinya korupsi; (2) penegakan hukum pemberantasan korupsi perlu keseriusan dan kesungguhan semua pihak.
ADVERTISEMENT
(3) siapapun dan apapun jabatannya seseorang bisa dihadapkan ke depan persidangan sebagai saksi. Hal ini merujuk kehadiran dua orang dalam persidangan Budi Mulya di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Mereka adalah Boediono saat menjabat Wakil Presiden 2009-2014 yang bersaksi pada 9 Mei 2014 dan Sri Mulyani Indrawati kala menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia yang bersaksi pada 2 Mei 2014. Bahkan khusus untuk kehadiran dan kesaksian Boediono di persidangan, ketika itu seorang mantan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mengirim pesan singkat ke jurnalis.
Isi pesan singkatnya kurang lebih tentang apresiasi kehadiran Boediono. Kehadiran tersebut menjadi contoh bagus bahwa ‎siapapun sama di hadapan hukum dan pengadilan.
Mantan Wapres, Boediono usai di periksa KPK (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Wapres, Boediono usai di periksa KPK (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
Selain itu ada M. Jusuf Kall‎a (JK) selaku Wakil Presiden 2004-2009, yang kini Wakil Presiden 2014-2019, menjadi saksi dalam persidangan Budi Mulya di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 8 Mei 2014. Kesaksian JK di hadapan majelis hakim sebagiannya serupa dengan pernyataannya dalam forum Pansus Angket Century, sebagaimana yang ada di atas tadi.‎
ADVERTISEMENT
(4) selama proses persidangan kurang lebih tiga bulan para jurnalis mendapat kuliah gratis tentang ekonomi dan tindak pidana korupsi di sektor ekonomi. Karena jujur saja, para jurnalis yang meliput ketika itu sebagian besar tak terlalu mengerti dan paham tentang istilah-istilah ekonomi. Bahkan setiap kali persidangan berlangsung, 'sakit kepala' kerap melanda para jurnalis. Termasuk saya yang menulis artikel ini.
(5) uang Rp 1 miliar yang diterima Budi Mulya tak masuk dalam bagian jumlah atau perhitungan kerugian negara. Atau dengan kata lain, uang yang diterima atau dinikmati seorang terdakwa bisa tak masuk dalam jumlah kerugian negara.
Kalau kita sempat mendengar dan menyaksikan pemberitaan media massa, maka otak kita bisa tertuju pada satu kasus besar juga dengan kerugian negara yang fantastis yakni lebih Rp 2,3 triliun.
ADVERTISEMENT
Ya, perkara korupsi pembahasan hingga persetujuan anggaran dan proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2011-2013.‎ Lebih tepatnya, perkara e-KTP atas nama terdakwa mantan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR sekaligus mantan Ketua DPR dan mantan Ketua Umum DPP Golkar, Setya Novanto (Setnov).
Dalam materi nota keberatan atas dakwaan (eksepsi) yang disusun dan dibacakan tim penasihat hukum Setnov, bahwa kerugian negara proyek e-KTP harusnya bukan lebih Rp 2,3 triliun. Tapi lebih Rp 2,42 triliun dengan termasuk melihat angka sebesar USD 7,3 juta yang dituduhkan JPU sudah diterima Setnov. Eksepsi dibacakan pada 20 Desember 2017 di Pengadilan Tipikor‎ Jakarta.
‎Tanpa Teman Peserta
Para pembaca yang budiman. Membaca putusan atas nama Budi Mulya pastinya kita mafhum pelaku korupsi dalam kasus Century tak hanya satu orang. Bila mengukur putusan Pengadilan Tipikor Jakarta pada 16 Juli 2014 maka sudah hampir 4 tahun, tindaklanjut atas kasus Century mangkrak di KPK.
ADVERTISEMENT
Jika menggunakan ukuran putusan kasasi MA pada 8 April 2015, maka sudah berlalu hampir tiga tahun. Dengan putusan yang dijatuhkan MA, maka putusan atas nama Budi Mulya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Budi Mulya pun sudah menjadi terpidana dan dieksekusi menjalani pidana penjara ke Lapas Sukamiskin, Bandung sejak 28 April 2015.‎
Waktu masa pimpinan KPK di era pelaksana tugas dikomandoi Taufiequrachman Ruki bergulir pada 2015, kita memang tak bisa berharap banyak. Karena di masa itu proses konsolidasi internal dan memperbaiki hubungan dengan lembaga penegak hukum lain dilakukan. Proses ini akibat dari prahara dan badai yang menimpa KPK.
Kala proses seleksi yang diselenggarakan Panitia Seleksi serta uji kepatuhan dan kelayakan yang digelar Komisi III DPR pada Desember 2015 terhadap calon pimpinan (capim) KPK periode 2015-2019, rakyat Indonesia sebenarnya menaruh harapan besar. Para capim yang nantinya terpilih dapat melanjutkan penuntasan berbagai kasus atau perkara yang mangkrak, termasuk kasus Century.
ADVERTISEMENT
Harapan itu kian membumbung ketika lima pimpinan terpilih Agus Rahardjo (ketua) dengan empat wakil ketua, Inspektur Jenderal Polisi (purnawirawan) Basaria Panjaitan, Thony Saut Situmorang, Alexander Marwata, dan Laode Muhamad Syarif, dilantik Presiden Joko Widodo pada Senin, 21 Desember 2015.
Laode dan Agus Rahardjo, di Komisi III DPR RI. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Laode dan Agus Rahardjo, di Komisi III DPR RI. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Kepercayaan tersebut tetap dijaga publik saat Agus Rahardjo cs dalam berbagai kesempatan di awal masa kepemimpinan, mereka menyampaikan komitmen dan janji bahwa upaya tindaklanjut atas berbagai kasus-kasus yang mandek termasuk kasus Century akan dilakukan.
Bahkan terus mereka janjikan dalam kesempatan-kesempatan lain. Termasuk salah satunya, jika melihat peristiwa terbaru saat konferensi pers laporan 'Capaian dan Kinerja KPK 2017' pada Rabu, 27 Desember 2017 di Gedung Merah Putih KPK Jakarta. Tiga pimpinan KPK yang hadir saat itu Agus, Basaria, dan Syarif. Ketiganya senada tentang penuntasan kasus-kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap.
ADVERTISEMENT
Agus mengakui, memang ada beberapa kasus yang sempat tak ditangani KPK selama dua tahun di masa kepemimpinan Agus cs, meski ada perkara yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan terpidananya sudah dieksekusi menjalani pidana penjara.
Dalam putusan berbagai perkara tersebut, pun memang termaktub perbuatan terpidana dilakukan bersama-sama dengan sejumlah pihak lain. Dia mencontohkan perkara korupsi Bank Century dengan terpidana Budi Mulya.
Saat kesempatan konferensi pers tersebut, Agus lagi-lagi menjanjikan seperti dalam penyampaian laporan ‎kinerja 2016. Pihaknya memastikan kasus Century dan kasus-kasus lain yang belum sempat ditangani pasti dilanjutkan. Caranya dengan dikaji lagi pada 2018.‎
"Yang lain menunggu giliran aja. Kita akan kaji lagi (di 2018). Karena hari ini kita memang disibukkan dengan yang tidak semua bisa kita sentuh. Karena ada prioritas yang didorong penyidik," ‎ujar Agus.
ADVERTISEMENT
Tapi janji hanya sekadar janji. Kata yang terucap seperti asap. Hilang dalam hebusan angin. Bagaimana tidak, ketika tahun kembali berganti, hari terus bergulir, dan tanggalan bulan berubah, tetap saja Budi Mulya 'masih saja sendiri' dalam kasus Century. Dia masih tanpa teman peserta seperti dalam putusannya. Paling tidak sampai tulisan ini rampung pekan terakhir Februari 2018.‎
Bukankah ada perintah MA dalam putusan bahwa barang bukti lebih 1.000 dikembalikan ke KPK lewat JPU untuk dipergunakan dalam perkara lain (bukan perkara atas nama Budi Mulya)?
Selama meliput di KPK dan Pengadilan Tipikor Jakarta hampir 6 tahun, ‎saya mengetahui dan mengenal beberapa Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani perkara atas nama Budi Mulya. Ada yang masih bertugas di KPK, juga ada yang sudah kembali ke instansi asal yakni Kejagung.
ADVERTISEMENT
Yang kembali ke Kejagung ada yang tetap bertugas di Kejaksaan, pun ada yang dipekerjakan di lembaga lain. Menurut saya, mereka adalah jaksa-jaksa mumpuni atau boleh disebut para jaksa senior (khususnya saat bertugas di KPK).
Dalam berbagai kesempatan saya pernah berbincang dengan sebagian di antara para jaksa itu. Ada sejumlah informasi yang saya da‎patkan dari mereka. Di antaranya, laporan perkembangan perkara saat di tahap pengadilan dan hasil analisisnya sudah disodorkan ke pimpinan KPK, termasuk di dalamnya guna menindaklanjuti siapa saja pihak selain Budi Mulya yang mesti diproses.‎
‎‎Ke Mana Keadilan Dicari?
Setiap kali kita membaca berkas surat dakwaan dan surat tuntutan KPK termasuk untuk Budi Mulya, di bagian pojok kiri tepat di bawah logo KPK ada tulisan "Untuk Keadilan". Pun kalau membaca salinan putusan termasuk putusan kasasi atas nama Budi Mulya juga, tertera kalimat 'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'.
ADVERTISEMENT
Bicara keadilan (hukum) memang banyak perdebatan. Hanya saja saya tak mau masuk ke arah sana. Kalau melihat upaya kasasi yang diajukan oleh Budi Mulya, maka yang dicarinya pasti adalah keadilan.
Mari kita mengetuk rasa kemanusiaan kita dengan mendengar jeritan dan suara hati anak Budi Mulya, Nadya Mulya.
Nadya Mulya (Foto: Munady)
zoom-in-whitePerbesar
Nadya Mulya (Foto: Munady)
Dalam berbagai kesempatan dalam kurun beberapa tahun, baik di KPK maupun di Pengadilan Tipikor dan tempat lainnya, Nadya acap kali bersuara tentang keadilan terhadap sang ayah. Kasasi yang diajukan ke MA, sebenarnya pun bagian dari upaya mencari dan menemukan keadilan untuk ayahnya.
Pernyataan Nadya yang bersumber dari suara hati nuraninya yang paling dalam itu bisa kita lihat dan baca dari berbagai pemberitaan media massa. Silakan berselancar di internet.
ADVERTISEMENT
Bagi Nadya, ‎ayahnya sebagai seorang deputi gubernur tak mungkin bisa mengambil satu kebijakan sendiri. Kebijakan hingga pengucuran bailout triliunan rupiah yang kemudian berujung korupsi seperti dalam putusan, bukanlah keputusan ayahnya seorang. Nadya mengatakan, dirinya dan keluarga sudah mendengar bahwa banyak kalangan menyebutkan ayahnya dikorbankan.
Bagi Nadya, ayahnya tak bersalah. Vonis belasan tahun yang dijatuhkan pengadilan terhadap sang ayah pun sangatlah tak adil. Ditambah lagi sampai putusan kasasi dijatuhkan MA, KPK tak menindaklanjuti proses hukum terhadap pelaku lain.
"KPK harus mengungkap dan mengusut kasus itu lebih lanjut agar semuanya terbuka. Jangan ayah saya dikorbankan. ... Kami tetap berharap kasus tersebut diungkap hingga ke aktor intelektualnya," demikian Nadya seperti dilansir berbagai media.‎
ADVERTISEMENT
Teman Peserta Dapat‎ Jabatan Strategis
Sejumlah kalangan termasuk dari anggota DPR sempat menyindir bagaimana mungkin pelaku peserta yang tercantum dalam putusan atas nama Budi Mulya malah mendapat jabatan lagi sebagai menteri keuangan di pemerintahan saat ini.
Sindiran ini rasanya tepat kalau kita menyodorkan nama Sri Mulyani ‎Indrawati. Ani, demikian sapaan akrabnya, kini mendapat amanah sebagai Menteri Keuangan periode 2014-2019.
Sebenarnya ada juga nama Muliaman Darmansyah Hadad. Muliaman bahkan menduduki kursi Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2012-2017. Selepas itu, Muliaman dipercaya pemerintah menjadi Duta Besar RI untuk Swiss merangkap Liechtenstein. Muliaman bersama para Duta Besar lain dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta pada Selasa, 20 Februari 2018.
ADVERTISEMENT
Saya tak ingin menjustifikasi Ani dan Muliaman. Saya juga tak ingin menyalahkan siapapun atas penunjukkan keduanya dalam jabatan strategis. Tapi faktanya nama keduanya termaktub dalam putusan Budi Mulya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah sempat angkat bicara saat disinggung tentang putusan Budi Mulya dan keberlangsungan kasus Century dengan posisi terbaru Muliaman sebagai duta besar. Pertama, Febri mengaku belum mengetahui tentang perkembangan terbaru informasi penanganan perkara termasuk kasus Century.
Febri Diansyah saat konferensi pers di gedung KPK (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Febri Diansyah saat konferensi pers di gedung KPK (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Kedua, setiap perkara yang diputus hingga inkracht tentu dibahas di internal KPK. Ketiga, dalam perkara Century sudah ada satu orang yang diproses KPK hingga pengadilan yakni Budi Mulya. Keempat, setiap fakta persidangan serta yang tercantum dalam putusan akan ditindaklanjuti dengan melihat kecukupan (alat bukti).
ADVERTISEMENT
Kelima, putusan Budi Mulya tak bisa langsung dipergunakan untuk menjerat pihak lain. Keenam, Febri belum mengetahui tentang apakah ada penyelidikan baru terkait Century atau tidak. Ketujuh, KPK tak mau mencampuri penunjukkan Muliaman sebagai duta besar.‎
"Putusan itu tidak bisa menjadi bukti yang digunakan kemudian digunakan untuk langsung menetapkan seseorang sebagai tersangka, itu tidak akan bisa. Saya kira belum ada informasi itu (penyelidikan baru) ya, saya belum tahu," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Selasa, 20 Februari 2018 malam.‎
‎Kalau mau fair, sebaiknya KPK menyampaikan dan mempertanggungjawabkan kepada rakyat Indonesia tentang kasus Century. Ditutup dan dihentikan atau mau diapakan kasus ini? Tujuannya agar tak ada syak-wasangka dan kecurigaan apapun. Terbuka dan jujur saja. Berani jujur, hebat!‎
ADVERTISEMENT
OTT Terus, Century Buyar
KPK di hampir periode kepemimpinan ‎berganti disebut-sebut acap kali alpa dan lupa, bahkan cenderung terindikasi sengaja membiarkan dan tak menindaklanjuti pelaku lain dalam berbagai kasus (perkara), tak hanya di kasus Century.
Gelombang operasi tangkap tangan (OTT) bertalu-talu di hampir seantero Indonesia. Digelar KPK tanpa henti. Seolah diperlombakan jumlahnya setiap tahun. Mari kita perbandingkan. KPK pada 2015, masih di masa kepemimpinan Abraham Samad cs menggelar OTT sebanyak 12 kali.
Di era kepemimpinan Agus Rahardjo dkk, grafiknya meningkat cukup drastis. Pada 2016 ada 17 kali OTT dan pada 2017 terjadi 19 kali. Memasuki kuartal pertama 2018 saja, KPK sudah melakukan sekitar 4 kali OTT. Saya sempat punya prediksi lucu, jangan-jangan di 2018 ini KPK menargetkan 21 kali OTT. Biar ada grafik meningkat 2 OTT setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Hingga bulan Februari 2018 saja, bisa disaksikan bahwa dalam kurun beberapa bulan atau dalam satu pekan atau dalam satu bulan, OTT sambung-menyambung. Kian masif mendekati tahun politik Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Tak salah memang KPK melakukan OTT. Karena penindakan atas penerimaan dugaan uang suap yang dilakukan para pelakunya termasuk penyelenggara negara, dalam jumlah berapa pun tak boleh dibiarkan. Upaya pencegahan serta berbagai imbauan dan peringatan keras sudah terlalu banyak dilakukan dan disampaikan KPK di seantero negeri ini.
Penindakan termasuk yang bermula dari penangkapan adalah solusi dan jalan pilihan terakhir. Tapi sumber daya penyelidik dan penyidik seperti terkuras menangani OTT dan pengembangannya. Kasus lain buyar, pun lagi-lagi kasus Century.
ADVERTISEMENT
Memang ada beberapa kasus besar dengan kerugian negara besar termasuk mencapai triliunan rupiah yang ditangani KPK di era Agus Rahardjo cs. Di antaranya korupsi proyek e-KTP dengan kerugian lebih Rp2,3 triliun dengan dengan enam orang yang sudah dijerat KPK. Ditambah satu penyelidikan baru saat ini.
Kemudian, kasus dugaan korupsi terkait pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku obligor Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) dan pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004 dengan kerugian negara mencapai Rp4,58 triliun. Dalam kasus ini sudah ada satu tersangka yang ditetapkan yakni mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung.‎
Tapi ada yang perlu diingat oleh kita semua. Penanganan kasus e-KTP maupun SKL BLBI bukan murni dibuka dan diusut awal pada masa kepemimpinan Agus Rahardjo cs. Mereka hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan pimpinan KPK periode sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau melihat kasus Century rasa-rasanya membuat miris. Kasus ini sepertinya diarsipkan dalam tumpukan penanganan kasus. Sedikit demi sedikit hilang. Kemudian mungkin akan dilupakan KPK, juga masyarakat Indonesia. Seperti angin berembus, ia ada dan dirasakan, tapi tak terlihat wujudnya.
Lantas kemudian kita bertanya untuk keadilan yang mana dan keadilan untuk siapa penegakan hukum pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK hingga di tingkat pengadilan? ‎Pada siapa kita harus berharap? Apakah harapan rakyat masih perlu diberikan ke KPK?
Saya masih tetap dan terus berharap sembari berdoa kepada Sang Pemilik Keadilan Sesungguhnya, Tuhan Yang Maha Esa, Allah s.w.t agar membuka hati nurani, pikiran, dan rasa kemanusiaan para insan di KPK.‎
Sabir Laluhu