Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Berbagai peristiwa yang terjadi kurun hampir satu bulan penuh di September 2019 menjadi catatan penting. Musababnya publik selalu dikejutkan dengan sejumlah pernyataan dari pihak pemerintah maupun DPR. Gelombang aksi massa dan protes turut menyertai langkah, tindakan, dan keputusan yang diambil pemerintah termasuk guna menyikapi pernyataan tersebut.
ADVERTISEMENT
Paling tidak di September 2019 ada berbagai isu yang menuai pro-kontra. Mulai dari proses pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023, terpilihnya lima komisioner baru KPK, revisi UU KPK, revisi UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), revisi UU Pemasyarakatan, revisi UU Ketenagakerjaan, revisi UU Sumber Daya Alam, revisi UU Pertanahan, hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Satu yang cukup mencuri perhatian adalah munculnya narasi 'KPK menghambat investasi'. Kurang lebih begitu. Pernyataan ini dilontarkan Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan periode 2018-2019. "Lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi dan apa tadi itu. Buku saya mana? Nah ini yang tidak dipahami masyarakat," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Senin, 23 September 2019.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini juga dilansir kumparan.com dalam berita berjudul 'Benarkah Keberadaan KPK Hambat Investasi? '.
Pernyataan dituturkan Moeldoko sebagai satu dari berbagai alasan Presiden Joko Widodo (pemerintah) menyetujui dilakukannya revisi UU KPK. Pernyataan Moeldoko disampaikan karena menjawab pertanyaan para jurnalis tentang tuntutan para mahasiswa saat melakukan aksi demonstrasi menuntut Presiden mencabut UU baru KPK, hasil revisi yang telah disahkan DPR.
Sebagaimana kita ketahui bersama, revisi UU KPK pada September 2019 ini merupakan hasil usulan inisiatif DPR. Pembahasannya hanya dilakukan 5 hari termasuk dihadiri pemerintah serta telah disahkan DPR dalam rapat paripurna DPR pada Selasa,17 September 2019.
Dalam kesempatan yang sama sebagaimana diberitakan media massa, Moeldoko menyebutkan, alasan lain revisi terhadap UU KPK adalah adanya survei yang dilakukan Litbang Harian Kompas. Hasil survei menunjukkan sebanyak 44,9% masyarakat ingin dan mendukung agar UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK direvisi.
ADVERTISEMENT
Ada dua alasan lain, menurut Moeldoko, UU KPK direvisi. Pertama, keberadaan Dewan Pengawas. Kedua, perlunya kewenangan penerbitan surat penghentian penyidikan atau penuntutan perkara (SP3) karena ada sejumlah kasus di KPK yang tersangkanya menjadi ‘korban’ dengan penanganan dan status tersangka selama bertahun-tahun.
Moeldoko mencontohkan, kasus dugaan korupsi pengadaan 3 Quay Container Crane (QCC) tahun anggaran 2010 di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II dengan tersangka Richard Joost (RJ) Lino selaku Direktur Utama PT Pelindo II. Status tersangka Lino diumumkan KPK pada Jumat, 18 Desember 2015 tapi penyidikannya belum rampung sampai saat ini.
Setelah muncul reaksi masyarakat, Moeldoko membuat dan menyampaikan penjelasan melalui siaran pers atas pernyataan sebelumnya. Penjelasannya pun masih di hari yang sama, Senin, 23 September.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai berita media massa, penulis merangkum penjelasan Moeldoko. Maksud Moeldoko, bukan KPK-nya yang menghambat investasi. Tapi KPK yang bekerja berdasarkan UU lama (UU Nomor 30 Tahun 2002) masih terdapat celah kurangnya kepastian hukum sehingga berpotensi menghambat investasi. Menurut dia, dengan UU baru KPK, maka akan memberikan beberapa landasan bagi kepastian hukum termasuk bagi investor. Dengan sejumlah revisi dalam UU KPK juga, maka KPK secara kelembagaan akan semakin kuat dan kredibilitasnya terjaga. Lagi-lagi untuk memberi kepastian hukum bagi investor.
Ada beberapa rujukan Moeldoko tentang kepastian hukum bagi investasi dan investor, sebagaimana tercantum dalam UU baru KPK. Di antaranya adanya kewenangan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun.
ADVERTISEMENT
“Orang yang menjadi tersangka dan sudah bertahun-tahun tidak ditemukan bukti, statusnya tidak bisa dicabut. Penetapan status tersangka yang tanpa kepastian sampai kapan akan menjadi momok bagi investor untuk menanamkan modalnya,” tutur Moeldoko.
Berikutnya, keberadaan Dewan Pengawas yang bisa lebih membantu KPK bekerja sesuai perundangan yang berlaku, termasuk dalam penyadapan. “Jadi maksud saya bukan soal KPK-nya yang menghambat investasi, tetapi KPK yang bekerja berdasarkan undang-undang yang lama masih terdapat celah kurangnya kepastian hukum, dan ini berpotensi menghambat investasi,” ujarnya.
Keanehan SP3 dan Dewan Pengawas
Jika melihat UU baru KPK yang telah disahkan DPR, maka ada banyak keanehan. Kewenangan KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan kasus (perkara) korupsi jika tidak selesai dalam dua tahun. Artinya KPK memiliki batas waktu dua tahun untuk menangani kasus (perkara). Jika tidak selesai maka KPK dapat menerbitkan surat penghentian penyidikan (SP3) atau Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).
ADVERTISEMENT
Pemberian kewenangan SP3 atau SKPP kepada KPK, seolah menafikan keberadaan lembaga lain yakni Kejaksaan dan Kepolisian yang juga menangani kasus (perkara) korupsi. Dua penegak hukum tersebut pun memiliki kewenangan menerbitkan SP3 dengan merujuk pada Pasal 109 ayat (2) KUHAPidana. Masalahnya adalah kewenangan penyidik Kepolisian atau Kejaksaan menerbitkan SP3 tidak ada batas waktu, seperti jika tidak diselesaikan penanganannya dalam 2 tahun.
Pasal 109 ayat (2) KUHAPidana memberikan tiga alasan penerbitan SP3. Pertama, tidak terdapat cukup bukti atau bukti yang diperoleh tidak memadai guna membuktikan kesalahan tersangka. Kedua, peristiwa yang disangkakan kepada tersangka ternyata bukan merupakan tindak pidana. Ketiga, penyidikan dihentikan demi hukum karena terdakwa (tersangka) meninggal dunia, perkaranya nebis in idem atau seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan pidananya telah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap, perkaranya daluarsa, dan pencabutan perkara yang sifatnya delik aduan.
ADVERTISEMENT
Penjelasan detilnya silakan lihat dua artikel hukumonline.com berjudul 'SP3 ' dan 'Keabsahan SP3 Sebagai Alat Bukti Pengaduan Fitnah ' .
Sehubungan dengan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), yang kadang disingkat SKP2, diatur dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Jika SP3 diterbitkan oleh penyidik, maka SKPP diterbitkan oleh jaksa. Meski begitu, alasan penerbitan SKPP sama seperti penerbitan SP3. Ihwal kewenangan penerbitan SP3 dan SKPP juga bisa dilihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 40/PUU-XIV/2016 yang diputuskan pada Rabu, 11 Januari 2017.
Kewenangan KPK dapat menerbitkan SP3 dan SKPP dengan batasan penangan kasus (perkara) 'hanya' dua tahun jelas telah menyederhanakan penanganan kasus (perkara) korupsi. Korupsi seolah-olah ditempatkan sebagai perkara biasa dan bukan luar biasa (extra-ordinary crime). Padahal penanganan perkara korupsi dengan modus operandi yang canggih maupun dugaan tindak pidananya terjadi lintas negara (transnasional) tidak bisa selesai hanya dengan 2 tahun.
ADVERTISEMENT
“Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus korupsi besar seperti: e-KTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar. Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum,” tegas Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulis pada Rabu, 25 September 2019.
Lebih dari itu kewenangan KPK menerbitkan SP3 juga bertentangan dengan putusan MK pada tahun 2003, 2006, dan 2010. Ditambah lagi ada dua putusan MK. Satu, Putusan Nomor: 81/PUU-X/2012 pada Selasa, 2 Oktober 2012. Dalam putusan Nomor: 81/PUU-X/2012, Mahkamah dengan jelas menyatakan, “Tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa yang pemberantasannya pun harus dilakukan secara luar biasa. Oleh karena itu, institusi yang diberi kewenangan untuk memberantasnya, seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK) oleh Pasal 2 UU 30/2002, diberikan kewenangan luar biasa dalam hal melakukan supervisi dan koordinasi dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Bahkan KPK juga diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan pembicaraan seseorang dan tidak boleh mengeluarkan SP3.”
ADVERTISEMENT
Dua, putusan Nomor: 49/PUU-XI/2013 yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum pada Kamis, 14 November 2013. Mahkamah menggariskan, “Dalam melaksanakan wewenangnya KPK diberikan wewenang untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dan tidak boleh mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atas suatu perkara yang sedang disidik.”
Kewenangan tersebut di samping kewenangan lain yang diatur dalam UU KPK, Mahkamah menegaskan, menunjukkan adanya kewenangan khusus dan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Kewenangan besar tersebut harus diimbangi dengan kehati-hatian sehingga tidak disalahgunakan. Dari pertimbangan itulah, menurut Mahkamah, cukup beralasan bahwa UU KPK yang menentukan pimpinan KPK mengambil keputusan secara kolektif kolegial karena hal itu, antara lain, untuk menghindari kekeliruan atau kesalahan dalam mengambil tindakan yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut juga dimaksudkan, menurut Mahkamah, agar KPK bertindak ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan hukum dalam pemberantasan korupsi. Karena jika tidak demikian atau hanya diberikan kewenangan kepada seorang ketua KPK atau dengan keputusan mayoritas anggota pimpinan, maka akan dikhawatirkan adanya kesalahan dan kekeliruan atau penyalahgunaan KPK oleh kekuatan politik lain di luar KPK.
Putusan MK Nomor: 49/PUU-XI/2013 sebenarnya secara khusus tentang posisi dan kewenangan pimpinan KPK. Pengambilan keputusan secara kolektif kolegial berkaitan erat dengan pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban KPK. Mahkamah menilai, kewenangan yang kolektif kolegial tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Justru kepemimpinan kolektif kolegial adalah demi kepastian hukum serta menghindari kekeliruan dan kesalahan dalam melaksanakan kewenangannya.
Para pembaca yang budiman, bila merujuk UU baru KPK telah tertuang adanya Dewan Pengawas. Jika melihat secara keseluruhan tugas, fungsi, dan kewenangan Dewan Pengawas, maka bisa disebut bahwa Dewan Pengawas telah mengambil sebagian besar tugas, fungsi, dan kewenangan pimpinan dan penasihat KPK. Di sisi lain, dari sisi tugas Dewan Pengawas yakni memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan, maka Dewan Pengawas juga telah mengambil tugas (berjenjang) ketua tim satuan tugas penyelidikan atau penyidikan, direktur penyelidikan atau direktur penyidikan, dan deputi penindakan KPK.
ADVERTISEMENT
Musababnya selama ini di KPK, untuk melakukan penyadapan atau penggeledahan atau penyitaan, maka tim harus lebih dulu menyampaikan ke ketua tim, baru kemudian diputuskan disetujui atau tidak. Jika disetujui, berikutnya diajukan ke direktur (penyelidikan atau penyidikan) guna diverifikasi apakah disetujui atau tidak. Jika disetujui oleh direktur, maka direktur mengajukan ke deputi penindakan. Deputi menentukan apakah disetujui atau tidak. Ketika disetujui deputi, baru kemudian diajukan ke pimpinan KPK.
Lima pimpinan KPK kemudian membahas apakah dengan persetujuan berjenjang tadi disertai alasan-alasannya telah memenuhi persyaratan atau tidak. Jika lima pimpinan menyetujui, berikutnya dikeluarkan surat perintah. Misalnya surat perintah dimulainya penyadapan (sprindap) atau surat perintah penggeledahan atau surat perintah penyitaan.
KPK juga mengirimkan surat ke pengadilan negeri perihal pemberitahuan dan/atau izin penggeledahan. Ketika penggeledahan selesai dan dilakukan penyitaan, maka tim yang menangani kasus harus membuat berita acara penyitaan. Berita acara penyitaan tersebut juga disampaikan kepada direktur (penyelidikan atau penyidikan), deputi penindakan, dan pimpinan KPK. Pemberitahuan atas barang bukti yang disita dari penggeledahan juga disampaikan KPK secara lembaga ke pengadilan negeri.
ADVERTISEMENT
Ada sejumlah contoh KPK melayangkan surat permohonan izin atau penetapan pengadilan negeri guna KPK melakukan penggeledahan. Penulisan ingin menghadirkan dua contoh. Satu, kasus dugaan korupsi pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat 2010-2012 yang diampu Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Dalam kasus ini dengan tiga tersangka saat itu, KPK menggeledah rumah Olly Dondokambey selaku Wakil Ketua Badan Anggaran DPR periode 2009-2014 pada pekan terakhir September 2013. Sebelum penggeledahan dilakukan, KPK mengirimkan surat permohonan penetapan pengadilan guna KPK melakukan penggeledahan di rumah Olly. Surat penetapan pengadilan kemudian dikantongi KPK.
Dua, perkara dugaan suap pengurusan putusan perkara gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang sebelumnya diajukan Ahmad Muzaqi pada 2017. Di tahap penyidikan dengan dua tersangka saat itu, yakni Bupati Jepara, Jawa Tengah sekaligus Ketua DPC PPP Kabupaten Jepara Ahmad Marzuqi (telah divonis 3 tahun penjara) dan hakim Pengadilan Negeri Semarang Lasito (divonis 4 tahun).
ADVERTISEMENT
Saat masih di tahap penyidikan, pada Desember 2018 KPK menggeledah sejumlah lokasi termasuk di rumah pribadi, rumah dinas, dan kantor Bupati Jepara, rumah hakim Lasito, dan kantor PN Semarang. Sebelum penggeledahan dilakukan KPK mengajukan surat izin atas penetapan penggeledahan ke PN Semarang yang kemudian diperoleh KPK.
Sekali lagi, andaipun tetap menggunakan ukuran kepastian hukum kemudian ada kewenangan KPK menerbitkan SP3 (berbatas waktu dua tahun), maka harus diingat pula ada dua penegak hukum lain yang melakukan penindakan korupsi. Dua penegak hukum tersebut memiliki kewenangan SP3 tapi tidak berbatas waktu.
Selain itu harus dilihat juga berapa banyak penyelidikan atau penyidikan atau penuntutan perkara korupsi yang mandek ditangani dua penegak hukum itu. Artinya jangan semata KPK disorot karena menangani satu atau dua atau tiga atau sejumlah kasus di tahap penyidikan yang berbilang tahun dan selalu berulang tahun.
ADVERTISEMENT
Semua kita, siapapun kita wajib mengawasi dan mengkritisi KPK terkait sejumlah kasus (perkara) yang mangkrak dan mandek baik di tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan atau tindaklanjut dari pengembangan putusan para terdakwa dan terpidana. Tapi memberikan kewenangan SP3 untuk KPK dengan alasan ada banyak kasus (perkara) yang mangkrak dan mandek (sehingga KPK menghambat investasi) jelas salah kaprah.
Lantas mengapa penanganan penindakan korupsi baik penyelidikan atau penyidikan maupun penuntutan perkara di persidangan yang ditangani KPK gampang diketahui dan diawasi publik?
Sederhana alasannya. Pemberitaan media massa atas penindakan yang dilakukan KPK begitu masif, di sisi lain pemberitaan tentang pencegahan korupsi yang dilaksanakan KPK sangat minim. Pun para pejabat publik di KPK terkhusus para pimpinan dan juru bicara KPK membuka akses luas bagi para jurnalis, bahkan mereka bisa dihubungi dini hari. Berikutnya, materi konferensi pers KPK selalu dimuat dan dibuat terbuka kepada publik dengan cara dilansir pada website KPK.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan berbeda kemudian muncul, apakah penegak hukum lain melakukan hal demikian? Apakah penegak hukum lain terbuka dan membuka apa saja kasus (perkara) korupsi yang mereka tangani tetapi mandek, berapa jumlah perkara, apa kendalanya, dan sampai di mana penanganannya?
Komunikasi Publik Pejabat Publik
Merujuk Pasal 1 ayat (8) UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), pejabat publik adalah orang yang ditunjuk dan diberikan tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sedangkan Pasal 1 ayat (3) menjelaskan secara detil defenisi badan publik. Bunyinya, “Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.”
ADVERTISEMENT
Dengan melihat defenisi dalam UU KIP itu, maka dapat disimpulkan bahwa Moeldoko merupakan pejabat publik. Sebagai pejabat publik, maka setiap ucapan atau pernyataan atau perkataan yang dikeluarkan Moeldoko tentu akan menjadi perhatian banyak orang. Apa pun yang disampaikan Moeldoko maupun pejabat publik lainnya pasti akan memunculkan reaksi dari masyarakat. Pasalnya deskripsi sebuah pesan yang dituturkan pejabat publik berhubungan erat dengan kepentingan masyarakat.
Apalagi komunikasi publik yang dilakukan pejabat publik terjadi dengan memanfaatkan atau melalui saluran media massa serta melalui saluran media sosial. Dengan kemajuan teknologi informasi komunikasi, pesan yang disampaikan pejabat publik dapat segera dan cepat diterima kemudian diterjemahkan masyarakat sebagai komunikan di seluruh Indonesia
Banyak ahli menyatakan, komunikasi publik yang paling efektif dan efesien dengan menggunakan media massa. Karena para jurnalis yang menulis dan media massa yang memberitakan pesan dari pejabat publik telah melalui proses verifikasi. Yang menjadi persoalan adalah, jika pesan yang disampaikan pejabat publik tidak memiliki dasar atau fakta yang jelas. Ketika tidak ada dasar atau fakta yang jelas yang mendukung pernyataan pejabat publik, maka pesan tersebut akan menjadi bias ketika diterima dan diterjemahkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Moeldoko yang mendapat respon cepat dari masyarakat termasuk netizen disusul dengan siaran pers penjelasan Moeldoko bisa dipotret dengan teori resepsi aktif. Teori ini menempatkan peran aktif masyarakat (komunikan) atas pesan komunikasi yang disampaikan komunikator.
R.J. Ravault, seorang penganjur resepsi aktif, menyatakan bahwa pembangunan diserahkan sepenuhnya kepada peran aktif komunikan (masyarakat). Dengan begitu kita mampu mendefinisikan atau mengidentifikasi cita-cita masyarakat. Andi Faisal Bakti menegaskan, teori resepsi aktif digunakan untuk konteks dari proses komunikasi termasuk juga proses pembangunan. Teori ini menempatkan perhatian pada masyarakat sebagai agen pembangunan. (Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, INIS, 2004).
Bakti melanjutkan, dalam resepsi aktif, makna pesan yang disampaikan komunikator dikonstruksikan oleh komunikan berdasarkan maksud atau tujuan, kebutuhan, kepekaan atau kecakapan komunikasi, dan menurut apa yang dipercayai komunikan dari keinginan komunikator atau memori yang dimiliki komunikan selama berinteraksi dengan komunikator. Komunikan juga memperhitungkan konsekuensi atas penolakan atau penerimaan terhadap pesan yang disampaikan komunikator. Bagi Bakti, yang paling penting dari teori resepsi aktif yakni komunikan menginterpretasikan atau menerjemahkan pesan sesuai dengan norma-norma, nilai-nilai, dan budaya dari kelompok acuan atau komunitasnya.
ADVERTISEMENT
Posisi penting komunikan dalam resepsi aktif sangat berkaitan erat dengan proses decoding pesan atau proses komunikan memaknai pesan yang disampaikan komunikator. Stuart Hall (1980) menyatakan, ada tiga hipotesa terkait komunikan mampu mengkonstruksikan pesan (termasuk di dalamnya media massa). Pertama, the dominant-hegemony position or code (konstruksi dominan), di mana komunikan menjawab pesan sama seperti pesan yang disampaikan komunikator. (Stuart Hall, “Encoding, Decoding” dalam Simon During, Ed., The Cultural Studies Reader, Routledge, t.t.).
Kedua, the negotiated code or position or version (konstruksi negosiasi). Hal ini berkaitan dengan unsur pertentangan dan adaptasi pesan oleh komunikan terhadap kondisi diri, lingkungan, dan organisasinya. Ketiga, the oppositional code (konstruksi pertentangan). Hipotesa konstruksi pertentangan menunjukkan pesan diterjemahkan oleh komunikan dengan menggunakan sebuah metode konstruksi berbeda dengan pesan yang dienkoding (proses pembuatan pesan) komunikator disertai dengan alternatif pola pikir dan referensi yang berbeda pula.
ADVERTISEMENT
Dalam proses komunikasi publik para pejabat publik kadang kala terjadi distorsi atas komunikasi yang dilakukan dan pesan yang disampaikan komunikator. Myria Allen menegaskan, komunikasi yang terdistorsi secara sistematis mengacu pada manipulasi bahasa secara instrumental oleh kepentingan kuat yang merusak praktik jaringan komunikasi kita sehari-hari. (Myria Allen, Strategic Communication for Sustainable Organizations: Theory and Practice, Springer, 2016).
Karenanya komunikasi publik para pejabat publik - tidak semasta terbatas pada pesan 'KPK menghambat investasi' - mestinya didasarkan pada data, fakta, dan kejadian yang sebenarnya. Para pejabat publik semestinya tidak mendistorsi pesan dan proses komunikasi agar publik sebagai komunikan tidak memaknai berbeda dan tidak terjadi resistensi oleh komunikan. Pesan yang ingin disampaikan oleh komunikator ada baiknya disusun dengan rigit, jelas, dan memperhatikan dampak yang bisa ditimbulkan.
ADVERTISEMENT
Jumlah SDM, Beban Perkara, dan SP3
Tahukah kita berapa jumlah kasus (perkara) yang ditangani KPK dalam satu tahun? Berapa jumlah seluruh pegawai KPK? Berapa jumlah pegawai KPK di bidang penindakan?
Berdasarkan laporan tahunan KPK pada tahun 2018, KPK memiliki 1.651 pegawai termasuk pimpinan. Dari angka tersebut terdapat 439 orang jajaran di Kedeputian Bidang Penindakan. Dari angka 439 orang, tidak seluruhnya bertugas menangani kasus (perkara). Hanya 302 orang yang menangani kasus (perkara) dengan rincian 119 penyelidik, 105 penyidik, dan 78 Jaksa Penuntut Umum.
Di tahun 2018, KPK menyelidiki 164 kasus, menyidik 199 kasus (tersangka), dan menyidangkan 151 perkara (terdakwa) disertai perkara berkekuatan hukum tetap sebanyak 104 pelaku dan mengeksekusi 113 terpidana. Dari 199 kasus di tahap penyidikan, 121 tersangkanya berasal dari hasil 30 kali operasi tangkap tangan (OTT).
ADVERTISEMENT
Dengan data tersebut, maka paling tidak satu penyelidik atau satu penyidik atau satu JPU bisa menangani paling sedikit tiga atau empat hingga lima kasus (perkara). Artinya dengan sumber daya manusia (SDM) penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang minim, maka pasti akan sangat berimbas pada kecepatan penanganan kasus (perkara).
Saya sempat membayangkan andai tim bidang penindakan (penyelidik, penyidik, dan JPU) KPK jumlahnya minimal 1.000 orang atau 1.500 orang, maka tiap hari pasti ada yang jadi tersangka. Kemudian penanganan kasus (perkara) dari penyelidikan ke penyidikan dan selanjutnya ke penuntutan dan ke persidangan jauh lebih cepat.
Ihwal hampir serupa acap kali disampaikan pula oleh Thony Saut Situmorang selaku Wakil Ketua KPK periode 2015-2019. Menurut Saut, KPK tidak pernah punya niatan atau keinginan menunda atau tidak mau menyelesaikan sebuah kasus. Dia menggariskan, dalam berbagai kesempatan rapat hakikatnya pimpinan KPK selalu mengingatkan para penyelidik atau penyidik atau penuntut mempercepat penanganan kasus (perkara).
ADVERTISEMENT
Tapi harus diingat juga, ujar Saut, jumlah SDM pada Kedeputian Bidang Penindakan KPK baik penyelidik, penyidik maupun penuntut memang sangat kurang. Karenanya KPK telah membuat daftar kasus atau perkara prioritas yang harus dituntaskan dengan segera dinaikkan dari tahap penyidikan ke penuntutan dan persidangan maupun ditindaklanjuti dengan penyelidikan atau penyidikan baru.
“Sebenarnya seperti yang sering berulang-ulang saya bilang ya, yang dimaksud KPK diperkuat itu kan menambah orang banyak. Salah satu di antaranya itu kalau kita mau cepat. Contoh disebutkan kita lambat. Lambatnya di mana? Karena kita butuh banyak orang,” ujar Saut di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Selasa, 24 September 2019.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, KPK memiliki 135 penyidik dan 83 jaksa berdasarkan data terakhir hingga Agustus 2019. Komposi 135 penyidik terdiri atas 63 orang pegawai tetap KPK, 68 orang pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD) dari Polri, 2 orang PNYD dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan 2 orang penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).
ADVERTISEMENT
Saya kemudian teringat janji Joko Widodo (Jokowi) saat maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2014. Saat itu Jokowi menyatakan dan berjanji dengan tegas akan memperkuat KPK. Di antaranya dengan cara menambah anggaran KPK 10 kali lipat dan menambah 1.000 orang penyidik KPK. Apakah janji tersebut sudah ditunaikan?
Baik mari kita kembali ke pernyataan Moeldoko tentang kewenangan SP3 untuk KPK dan penanganan kasus dugaan korupsi bertahun-tahun khususnya kasus tersangka RJ Lino. Sebenarnya kalau pun pemerintah atau Moeldoko ingin mengetahui secara detil mengapa kasus RJ Lino mandek sekitar empat tahun, maka silakan tanyakan dan gali informasi ke para pimpinan KPK saat 2015 termasuk tiga pelaksana tugas pimpinan saat itu. Selain itu juga dapat meminta informasi dari deputi bidang penindakan dan direktur penyidikan yang pernah menjabat di KPK kurun Desember 2015 hingga Juni 2019.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan informasi resmi yang disampaikan KPK baik melalui pimpinan maupun juru bicara KPK, KPK berupaya semaksimal mungkin menuntaskan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan 3 QCC dengan tersangka RJ Lino. Bahkan tim KPK dengan didampingi direktur penyidikan atau deputi penindakan pernah beberapa kali menyambangi Negeri Tirai Bambu guna meminta dan mendapatkan data dan dokumen sehubungan dengan barang QCC dan dugaan transaksi.
Agus Rahardjo selaku Ketua KPK periode 2015-2019 menggariskan, untuk menuntaskan kasus tersangka RJ Lino sebenarnya KPK juga telah mengajukan Mutual Legal Assistance (MLA) ke otoritas pemerintah Tiongkok sejak tahun 2016. Satu di antara isi dan tujuan MLA tersebut guna mempermudah proses perhitungan kerugian negara dan mendapatkan perbandingan harga QCC.
ADVERTISEMENT
Tapi, tutur Agus, pemerintah Tiongkok tidak merespon positif. Imbasnya proses perhitungan kerugian negara molor. Tidak ada jalan lain, perhitungan kerugian negara harus tetap dilakukan. Untuk itu KPK memutuskan meminta bantuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan perhitungan tanpa data dari Tiongkok.
Selain Moeldoko, pernyataan tentang kasus RJ Lino sehubungan dengan UU baru KPK dengan kewenangan penerbitan SP3 juga datang dari M Jusuf Kalla (JK) selaku Wakil Presiden periode 2014-2019. Dari berbagai pemberitaan media massa, JK mengungkapkan, kewenangan penerbitan SP3 bagi KPK sangat penting. Kewenangan tersebut bagi JK bukan untuk memperlemah KPK. Menurut JK, kewenangan penerbitan SP3 dimaksud agar tidak ada tersangka yang status dan kasusnya digantung KPK bertahun-tahun. Salah satu contohnya tutur JK, yakni kasus tersangka RJ Lino.
ADVERTISEMENT
“Itulah guna ada SP3. Kalau tidak bersalah ya contoh RJ Lino lima tahun digantung. Mau dilepas tidak ada. Akhirnya orang itu hartanya disita sampai sekarang, jabatannya hilang padahal orangnya baik, contoh satu. Pasti banyak lagi. Jadi kita tidak ingin ada semena-mena juga, jadi semuanya jalur hukum,” ungkap JK di kantor Wapres, Jakarta pada Selasa, 10 September 2019.
Dari pernyataan pemerintah melalui Moeldoko dan JK sehubungan dengan SP3 dan kasus tersangka RJ Lino, muncul pertanyaan baru. Apakah pemerintah secara serius dan konsisten mendukung dan membantu KPK melakukan upaya penindakan dengan cara melobi negara asal Wuxi Huadong Heavy Machinery (HDHM) Co Ltd? Apakah pemerintah membantu KPK dalam proses pencapaian kesepakatan penandatanganan MLA? Jika pemerintah telah membantu KPK, apakah ada bukti-bukti yang signifikan berhasil diperoleh KPK dari Tiongkok?
ADVERTISEMENT
Laode Muhamad Syarif selaku Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 mengatakan, sehubungan dengan kewenangan KPK dapat menerbitkan SP3 jika kasusnya tidak bisa diselesaikan dalam dua tahun pada UU baru KPK maka ada satu kasus yang ditangani KPK yang berpotensi diterbitkan SP3. Tapi Syarif tidak menyebutkan nama kasus dan tersangkanya. Meski begitu menurut Syarif, tidak bisa satu kasus dengan serta-merta digeneralisasi pada seluruh kasus yang ditangani KPK.
“Jangan satu kasus digeneralisasi ke seluruh kasus di KPK. Soal SP3, sebenarnya itu juga apa? Dijelaskan dengan baik bahwa dari semua kasus di KPK yang sampai enggak ada SP3, berapa sih jumlahnya? Paling cuma satu. Bahwa kita, karena apa, karena lama itu, karena pihak luar negeri yang seharusnya support data ke kami tak berikan info yang cukup,” tegas Syarif di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Selasa, 24 September 2019.
ADVERTISEMENT
Investasi Jadi Alasan Korupsi
Jika disebutkan bahwa KPK menghambat investasi atau UU lama KPK yang dipergunakan para insan KPK menghambat investasi investasi, maka pernyataan ini bisa ‘dilawan’ dengan fakta yang ada berupa sejumlah kasus (perkara) yang ditangani KPK dan beririsan dengan investasi dan investor (pengusaha).
Salah satu contoh sudah disebutkan oleh Moeldoko yakni kasus dugaan korupsi pengadaan 3 Quay Container Crane (QCC) tahun anggaran 2010 di PT Pelindo II dengan tersangka RJ Lino selaku Direktur Utama PT Pelindo II. Pemenang proyek pengadaan ini adalah perusahaan asal Tiongkok, Wuxi Hua Dong Heavy Machinery (HDHM) Co Ltd. Nilai pengadaan 3 QCC mencapai Rp 100 miliar.
Berikutnya penulis akan menghadirkan sedikitnya 10 contoh perkara (kasus). Satu, perkara suap pengurusan mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) yang tenar dengan nama proyek IPP PLTU Riau-1 milik PT PLN (Persero). Dalam proyek ini telah disepakati kemudian dilakukan penandatanganan Letter of Intent (LOI) dan perjanjian atau kontrak induk konsorsium pelaksanaan yakni PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI), BlackGold Natural Resources (BNR) Limited, dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC Ltd).
ADVERTISEMENT
CHEC Ltd dan BNR Limited dibawa oleh terpidana pemberi suap, pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 2 tahun 8 bulan penjara). Investor dalam proyek IPP PLTU Riau-1 adalah CHEC Ltd, perusahaan asal Tiongkok. Nilai investasi yang dikucurkan CHEC Ltd mencapai USD 900 juta atau setara Rp 12,87 triliun. Kotjo ditunjuk sebagai agen CHEC Ltd dan mendapat jatah fee agen sebesar 2,5 persen.
Para pihak bersepakat pembagian komposisi saham konsorsium yaitu PT PJBI sebesar 51%, CHEC Ltd 37%, dan BNR Limited 12% serta pihak penyedia suplai batubara untuk proyek IPP PLTU Riau-1 adalah PT Samantaka Batubara. Setelah kasus (perkara)-nya ditangani KPK kemudian proyek tersebut ditunda.
ADVERTISEMENT
Dua, kasus dugaan suap pengurusan pengajuan izin prinsip dan izin lokasi reklamasi di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) serta pengurusan Penerbitan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di Provinsi Kepri tahun 2019. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Satu di antaranya penerima suap, Gubernur Kepri periode 2016-2021 sekaligus Ketua DPW Partai Nasdem Provinsi Kepri (telah dicopot) Nurdin Basirun. Selain dugaan suap, Nurdin juga disangkakan dengan dugaan penerimaan gratifikasi sehubungan dengan jabatan Gubernur Kepri.
Basaria Panjaitan selaku Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 menyatakan, selepas operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Nurdin Basirun dan enam pihak lain pada Rabu, 10 Juli 2019 kemudian dilakukan pemeriksaan intensif terhadap para pihak. Rupanya, tutur Basaria, para pihak mengungkapkan bahwa proses pengurusan dilakukan hingga terjadi dugaan suap karena alasan investasi di Provinsi Kepri melalui proyek reklamasi.
ADVERTISEMENT
“Dalam proses pemeriksaan, para pihak menyampaikan juga alasan investasi. Hal ini kami pandang lebih buruk lagi jika alasan investasi digunakan sebagai pembenar melakukan korupsi. Apalagi kita memahami, investasi akan berarti positif bagi masyarakat dan lingkungan jika dilakukan dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan good governance. Investasi semestinya dilakukan tanpa korupsi dan merusak lingkungan,” ujar Basaria saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Kamis, 11 Juli 2019 malam.
Tiga, perkara atau kasus dugaan suap pengurusan sejumlah perizinan proyek Pembangunan Meikarta milik Lippo Group di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dengan total luas lokasi proyek 438 hektararea (ha) dan pengurusan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Empat, perkara suap dan gratifikasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pelabuhan Laut Kementerian Perhubungan yang ditangani KPK kurun tahun 2017 hingga 2018. Perkara ini berhubungan erat dengan puluhan pelabuhan yang terkoneksi dengan tol laut.
Lima, perkara suap pengurusan pembahasan dan pengesahan dua rancangan peraturan daerah (raperda) di Provinsi DKI Jakarta. Pertama, raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis (RKTRKS) Pantai Jakarta Utara 2016. Kedua, raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi DKI Jakarta 2015-2035. Dua raperda ini kerap dikenal sebagai raperda reklamasi Jakarta.
Raperda ini jika disahkan hakikatnya menjadi pijakan bagi para pengembang untuk melakukan reklamasi atas 17 pulau, mengajukan dan mendapatkan sejumlah izin termasuk izin membangun bangunan (IMB), dan membangun di area pulau reklamasi.
ADVERTISEMENT
Rupanya sebelum raperda disahkan DPRD, sejumlah pengembang pulau reklamasi sudah mendirikan dan membangun bangunan. Bahkan ada yang sudah menggaet investor atau perusahaan dari luar negeri.
Setelah tiga orang terpidana dieksekusi menjalani masa pidana badan, kemudian KPK membuka penyelidikan baru terkait dugaan pelaku korporasi yang mulai diselidiki sejak 25 Juli 2017. Tiga terpidana tersebut masing-masing Mohamad Sanusi alias Uci selaku Ketua Komisi D sekaligus anggota Badan Legislasi Daerah DPRD Provinsi DKI Jakarta, Ariesman Widjaja selaku Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APLN) merangkap Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MWS), dan Trinanda Prihantoro selaku Personal Assistant to President Director PT APLN.
Enam, perkara suap pemulusan pengurusan izin pada Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Cilegon, Provinsi Banteng pada 2017 terkait dengan proses perizinan sehubungan dengan rekomendasi analisis dampak lingkungan (amdal) sebagai persyaratan perizinan mall Transmart. Mall ini berada dan akan dibuka di kawasan PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC). Pembangunan mall dikerjakan PT Brantas Abipraya (BA). Nilai investasi pembangunan mall Transmart mencapai puluhan miliar.
ADVERTISEMENT
Tujuh, kasus dugaan korupsi pengadaan satu helikopter AgustaWestland 101 (AW-101) senilai Rp 738 miliar tahun anggaran 2016 pada TNI AU dengan kerugian negara sekitar Rp 220 miliar. Kasus ini disidik secara paralel oleh KPK dan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI AL. KPK telah menetapkan Presiden Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagi tersangka.
Sementara Puspom TNI sudah menetapkan empat orang tersangka. Pertama, Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachri Adamy sebagai tersangka. Penetapan Fachri dalam kapasitasnya sebagai pejabat pembuat komitmen atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU 2016-2017. Tersangka berikutnya ialah Letnan Kolonel TNI AU (Adm) berinisial WW selaku Pejabat Pemegang Kas, Pembantu Letnan Dua berinsial SS selaku staf Pekas, Kolonel FTS selaku Kepala Unit Layanan Pengadaan dan Marsekal Muda TNI SB selaku Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan kasus ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) menemukan adanya aliran dana sebesar Rp 340 miliar ke Singapura dan Inggris. Aliran uang tersebut diduga merupakan pembayaran pembelian helikopter AW-101.
Delapan, dari ranah BUMN ada kasus dugaan suap pengadaan pesawat Airbus SAS sebanyak 50 buah dan 11 mesin Rolls Royce Holding Plc pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kurun 2005-2014. Airbus SAS adalah perusahaan asal Prancis, sedangkan Rolls Royce Holding Plc merupakan perusahaan asal Inggris.
Pada Kamis, 19 Januari 2017, KPK mengumumkan penetapan dua orang sebagai tersangka. Tersangka penerima suap adalah Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk 2005-2014 Emirsyah Satar. Sedangkan tersangka pemberi suap yakni Soetikno Soedarjo selaku Beneficial Owner Connaught International Pte Ltd yang juga pendiri Mugi Rekso Abadi (MRA) Group.
ADVERTISEMENT
Nilai suap yang diterima Emirsyah dari Soetikno berupa barang uang dan barang. Dalam bentuk uang sejumlah euro 1,2 juta dan USD 180.000 atau senilai setara Rp 20 miliar, sedangkan berbentuk barang senilai USD 2 juta (setara Rp 26 miliar) yang tersebar di Singapura dan Indonesia.
Dari hasil pengembangan penyidikan, tim penyidik menemukan dugaan perbuatan pidana tidak hanya terkait dengan pengadaan pesawat Airbus SAS sebanyak 50 buah dan 11 mesin Rolls Royce Holding Plc. Dugaan suap lain terkait dengan kontrak pembelian mesin Trent seri 700 dan perawatan mesin (Total Care Program) dengan perusahaan Rolls Royce, kontrak pembelian pesawat Airbus A330 dan Airbus A320 dengan perusahaan Airbus SAS, kontrak pembelian pesawat ATR 72-600 dengan Avions de Transport Regional (ATR) yang merupakan perusahaan asal Prancis, dan kontrak pembelian pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan Bombardier Aerospace Commercial Aircraft yang merupakan perusahaan asal Kanada.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada Rabu, 7 Agustus 2019, KPK mengumumkan penetapan Emirsyah dan Soetikno sebagai tersangka dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Bersamaan dengan itu juga diumumkan penetapan status tersangka satu penerima suap lain pada pengadaan pesawat Airbus SAS sebanyak 50 buah dan 11 mesin Rolls Royce Holding Plc. Orang itu adalah Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk 2007-2012 Hadinoto Soedigno.
Sembilan, masih berhubungan dengan perusahaan BUMN. Kali ini perkara suap pengurusan pembayaran fee agency penjualan dua kapal perang jenis Strategic Sealift Vessel (SSV) dari PT PAL Indonesia (Persero) Tbk kepada ke The Department of National Defense of The Philippines atau Kementerian Pertahanan Filipina dengan nilai kontrak USD 86,96 juta (Rp 1,1 6 triliun) dan perkara gratifikasi di lingkungan PT PAL Indonesia (Persero) Tbk.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara suap pembayaran fee agency penjualan dua kapal perang jenis SSV kesepakatan uang cash back sebesar 1,25 persen dari nilai kontrak USD86,96 juta. Jika diuangkan, cash back tersebut sebesar USD 1,087 juta. Angka ini dialokasikan dan diberikan kepada sejumlah pejabat PT PAL Indonesia (Persero) Tbk.
Dalam perkara suap ada empat orang terpidana. Tiga terpidana penerima suap yaitu Muhammad Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) Tbk, Saiful Anwar selaku Direktur Keuangan dan Teknologi PT PAL Indonesia (Persero) Tbk, dan Arief Cahyana selaku General Manager Divisi Perbendaharaan (Treasury) PT PAL Indonesia (Persero) Tbk. Terpidana pemberi suap adalah Agus Nugroho selaku perantara agensi Ashanty Sales Incorporation (AS Inc) merangkap Direktur Umum PT Pirusa Sejati.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam perkara penerimaan gratifikasi ada tiga terpidana. Mereka yaitu Muhammad Firmansyah Arifin, Saiful Anwar, dan Arief Cahyana.
Sepuluh, penyelidikan dugaan korupsi terkait investasi kepemilikan saham pemerintah dearah atau Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) dalam perusahaan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) pada tahun 2009-2016. Perusahaan ini telah beralih nama menjadi PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) pada November 2016.
KPK, Investasi, Penelitian, dan Survei
Jauh sebelum narasi 'KPK menghambat investasi' muncul, hakikatnya Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo, dan tim telah membuat, menyusun, dan melansir 'Naskah Akademik Prakarsa Bulaksumur Anti Korupsi' pada 10 Maret 2015. Naskah ini kerap disebut 'Manifesto Antikorupsi Bulaksumur '. Dokumen sudah diunduh penulis pada pekan terakhir September 2019.
ADVERTISEMENT
Dalam naskah akademik tersebut, Rimawan dan tim memastikan, korupsi berdampak negatif terhadap pembangunan dan perekonomian Indonesia. Korupsi juga memperburuk ketimpangan distribusi pendapatan serta berdampak negatif terhadap pembangunan kualitas manusia serta angka penangguran di Indonesia.
Rimawan dan tim menggunakan data 185 negara dari tahun 1995 hingga 2013 (19 tahun) terkait produk domestik bruto (PDB) riil per kapita (tahun dasar 2005) dan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kurun tahun 1995 hingga 2013. Terlihat 15 negara dengan rata-rata IPK terendah atau negara yang korup cenderung memiliki produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita yang lebih rendah. Sedangkan 15 negara dengan rata-rata IPK tertinggi atau negara yang bersih cenderung memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Hal ini, menurut Rimawan dan tim mengindikasikan dan menunjukkan secara visual bahwa korupsi membuat kesejahteraan suatu bangsa menjadi rendah (miskin). Dari hasil analisis, menunjukkan 15 negara dengan rata-rata IPK terendah atau negara yang korup cenderung memiliki tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Hal ini berlawanan dengan 15 negara dengan rata-rata IPK tertinggi atau negara yang tidak banyak korupsi cenderung memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah. Hal ini mengindikasikan dan terlihat secara visual bahwa korupsi di suatu negara menghambat warga negaranya untuk mendapatkan pekerjaan.
“Korupsi menghambat terbukanya lapangan pekerjaan baru,” tegas Rimawan dan tim.
Rimawan dan tim menggariskan, dampak yang sangat mengkhawatirkan dari korupsi yakni fakta bahwa korupsi menciptakan adverse selection masuknya investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) di suatu negara. Para investor dari negara dengan tingkat korupsi rendah cenderung memilih investasi ke negara yang sama-sama memiliki tingkat korupsi rendah. Di sisi lain, investor dari negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung memilih investasi ke negara yang korupsinya juga tinggi (Cuervo-Cazurra, 2006).
ADVERTISEMENT
Implikasi dari temuan ini adalah ketika masyarakat suatu negara membiarkan korupsi merajalela di negerinya, di saat yang bersamaan mereka mengundang masuknya investor asing yang telah terbiasa melakukan korupsi - menyuap, menggelapkan, dan memberikan gratifikasi - untuk beroperasi di negara tersebut.
“Korupsi ternyata mengundang datangnya investor asing korup dan menghalangi investor asing yang tidak korup untuk berinvestasi di negara tersebut.”
Temuan lain Rimawan dan tim yaitu semakin tinggi korupsi di suatu negara maka semakin tinggi potensi terjadi konflik di negara tersebut. Korupsi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien, sehingga berbagai kerentanan di masyarakat terjadi seiring dengan meningkatnya korupsi. Ketika disparitas pembangunan antar-daerah melebar dan ketika disparitas pendapatan antar-golongan masyarakat melebar, maka akan meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap konflik.
ADVERTISEMENT
“Korupsi berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi suatu negara. Korupsi menciptakan adverse selection masuknya FDI, di mana semakin tinggi korupsi di suatu negara hanya akan mengundang masuknya investor asing yang telah terbiasa melakukan praktik korupsi (penyuapan, gratifikasi, dan penggelapan). Tingkat korupsi berbanding lurus dengan konflik yang terjadi di suatu negara,” ujar Rimawan dan tim.
Rimawan dan tim menyatakan, penanggulangan korupsi di Indonesia dilakukan oleh trisula penanggulangan korupsi yakni Kepolisianolisi, Kejaksaan, dan KPK. Dari tiga trisula, KPK merupakan satu-satunya unsur trisula yang memiliki fungsi penindakan sekaligus pencegahan. Dari sisi penindakan korupsi, kinerja KPK merupakan salah satu yang terbaik di dunia.
Kinerja KPK bahkan dipuji oleh berbagai negara sahabat dan lembaga internasional. KPK pun menjadi percontohan bagi lembaga antikorupsi di berbagai negara. Prestasi KPK telah mengharumkan nama bangsa. Karena di tengah-tengah keterpurukan negeri ini akibat korupsi yang terus melilit, KPK mampu menjadi trend setter penanggulangan korupsi di dunia.
ADVERTISEMENT
“Alasan inilah yang mendasari mengapa KPK mendapatkan penghargaan internasional Ramon Magsaysay. Reputasi itu pulalah yang menjadikan KPK sebagai penyelenggara penyusunan the Jakarta Principles yang diikuti oleh delegasi dari berbagai negara di dunia.”
Temuan Rimawan dan tim dari penelitian ini juga sehubungan dengan keberadaan KPK. Keberadaaan KPK ternyata memacu kompetisi yang sehat dengan instansi penegak hukum lain yakni Kepolisian dan Kejaksaan dalam berlomba-lomba meningkatkan efektivitas dan efisiensi penindakan kasus korupsi. Pelajaran yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah KPK memainkan perannya untuk menjadi lembaga utama dalam pemberantasan korupsi yang mampu menstimulus lembaga hukum lainnya untuk bekerja lebih cepat dalam menangani kasus korupsi.
Rimawan dan tim menegaskan, kinerja KPK dalam bidang pencegahan korupsi juga tidak kalah dibandingkan dengan kinerja di bidang penindakan. Di tahun 2014, KPK bersinergi dengan Polri, TNI, kementerian, dan lembaga pada aspek pencegahan korupsi di bidang sumber daya alam dengan menertibkan perizinan sektor pertambangan. Dampak dari sinergi yang bagus tersebut adalah peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp 10 triliun/tahun.
ADVERTISEMENT
“Meski kinerja di bidang pencegahan sangat gemilang, namun media massa di Indonesia terkesan kurang banyak memberitakan hal ini, namun lebih tertarik berita yang lebih sensasional misalnya operasi tangkap tangan (OTT) ataupun peliputan persidangan kasus-kasus korupsi.”
Simpulan lain dalam 'Manifesto Antikorupsi Bulaksumur' yaitu tentang sejumlah prasyarat lembaga antikorupsi di Indonesia yakni KPK agar bisa bertindak efektif dalam memerangi korupsi. Rimawan dan tim menegaskan, yang harus harus dicatat bahwa prasyarat yang paling krusial adalah prasyarat terakhir yaitu komitmen pemimpin negara terhadap penanggulangan korupsi. Prasyarat ini berpotensi berfluktuasi antar-presiden dan kondisi yang sangat rawan terhadap penanggulangan korupsi terjadi ketika pemimpin negara yang baru ternyata tidak memiliki komitmen penanggulangan korupsi setinggi presiden yang digantikan.
ADVERTISEMENT
“Kemunduran penanggulangan korupsi di Nigeria dan Afrika Selatan terjadi akibat penurunan komitmen kepala negara yang baru terpilih yang ternyata tidak setinggi komitmen kepala negara yang digantikan.”
Selanjutnya saya ingin menghadirkan data 'The Global Risks Report 2019: 14th Edition' yang dirilis World Economic Forum (WEF) pada 2019. WEF memastikan, korupsi masih menjadi salah satu faktor utama yang menghambat investasi dan investor masuk ke satu negara. Dalam aspek geopolitical, WEF menghadirkan enam risiko global. Di urutan pertama adalah kegagalan tata kelola nasional di antaranya meliputi kegagalan supremasi hukum, korupsi, dan politik jalan buntu (political deadlock). WEF menjelaskan, ketidakmampuan untuk mengatur kepentingan geopolitik negara merupakan akibat dari lemahnya aturan hukum, korupsi, atau kebuntuan politik.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan hambatan berbisnis di Indonesia, WEF menegaskan, ada 16 faktor. Urutan pertama hingga kedelapan yakni korupsi, inefisiensi birokrasi, akses ke pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, instabilitas kebijakan, instabilitas pemerintah, rasio pajak, dan etos kerja yang buruk.
Jika dihubungkan keberadaan KPK (efektif operasional sejak 2003) dengan Corruption Perceptions Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, maka peningkatan IPK Indonesia sangat signifikan. Berdasarkan data Transparency International (TI) yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), tampak IPK Indonesia mendapatkan skor 19 pada tahun 2003, 23 pada tahun 2007, 30 pada tahun 2011, 34 pada tahun 2014, 37 pada tahun 2016 dan 2017, dan 38 pada tahun 2018.
Penilaian CPI didasarkan pada sejumlah data yakni World Economic Forum, International Country Risk Guide, Global Insight Country Risks Ratings, IMD World Competitiveness Yearbook, Bertelsmann Foundation Transform Index, Economist Intelligence Unit Country Ratings, PERC Asia Risk Guide, Varieties of Democracy Project, dan World Justice Project.
ADVERTISEMENT
TI menemukan, khusus peningkatan skor IPK Indonesia terhambat karena beberapa faktor. Di antaranya rendahnya supremasi hukum; masih terjadi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) di lembaga eksekutif, kepolisian/militer, dan legislatif; relasi pebisnis dan politisi; korupsi politik masih marak terjadi; masyarakat kurang percaya terhadap aparat penegak hukum; masih rendahnya pelaksanaan tujuh prinsip demokrasi; hingga persepsi korupsi di sektor publik pada pimpinan nasional dan daerah, pejabat pemerintah pusat dan daerah serta Kepolisian, pengadilan, bea cukai, pajak, perizinan, militer, dan pengawasan.
Berikutnya TII juga pernah merilis hasil penelitian 'Inisiatif Penguatan Anti Corruption Agencies (ACA): KPK' pada 2019. TII melakukan penilaian atas enam aspek yang dilakukan KPK. Satu, independensi dan status (9 indikator) dengan skor 83 persen. Dua, sumber daya manusia dan anggaran (9 indikator) skor 67 persen. Tiga, akuntabilitas dan integritas (9 indikator) skor 78 persen. Empat, deteksi, penyidikan, dan penuntutan (9 indikator) 83 persen. Lima, pendidikan, pencegahan, dan penjangkauan (8 indikator) 88 persen. Enam, kerja sama dan hubungan eksternal (6 indikator) 83 persen.
ADVERTISEMENT
TII membuat tiga kesimpulan. Satu, performa KPK masuk dalam kategori sangat baik mencapai 82,50 persen. Performa KPK baik berupa indikator aktivitas dan dampak secara umum masuk dalam kategori baik dengan mencapai 80 persen. Dua, KPK memiliki faktor lingkungan pendukung yang sangat menunjang baik secara internal maupun eksternal. Faktor pendukung internal KPK di angka 85,71 persen dan faktor pendukung eksternal 78,13 persen. Modalitas ini perlu diikuti dengan penguatan strategi trigger mechanism di Kepolisian dan Kejaksaan.
Tiga, fokus pembenahan sumber daya manusia (SDM). KPK perlu segera membenahi tata kelola organisasi dan menggunakan kewenangan operasional yang independen dengan fokus pada investasi SDM jangka panjang. Pembenahan tata kelola SDM internal sehubungan dengan rotasi-mutasi, banyaknya pelaksana tugas, dan petisi pegawai. Selain itu dari aspek SDM, masih terdapat keterbatasan jumlah pegawai Kedeputian Penindakan.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal TII, Dadang Trisasongko, menyatakan revisi UU KPK merupakan upaya pelemahan terhadap KPK melalui jalur legislasi. Upaya ini dapat membuat para pebisnis nasional dan global ragu dengan situasi iklim usaha Indonesia. Dadang menggariskan, berdasarkan data penelitian dari sejumlah lembaga maka bisa dipastikan korupsi termasuk delik suap menjadi momok menakutkan bagi investasi.
Berdasarkan data hasil penelitian (survei) TII, ujar Dadang, investor atau pelaku usaha sangat mempertimbangkan aspek kepastian hukum dalam berinvestasi dan menjalankan bisnisnya di Indonesia. Dia menuturkan, KPK memiliki peran signifikan dalam meningkatkan kepastian hukum di Indonesia. Bagi kalangan dunia usaha, korupsi akan menimbulkan inefisiensi. Menurut Dadang, para investor dan pebisnis bersih pasti mengharapkan ada peran KPK yang kuat.
ADVERTISEMENT
Pada Kamis, 29 Agustus 2019, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional 'Efek Kinerja Pemberantasan Korupsi terhadap Dukungan pada Jokowi'. Dalam laporan setebal 53 halaman, LSI mencantumkan keseluruhan temuan survei nasional kurun 2016 hingga 2019. Khusus survei pada 2019, dilakukan sejak 11 Mei hingga 16 Mei. LSI menegaskan, keberpihakan Presiden sebagai pemimpin politik tertinggi akan memberikan proteksi dan perlindungan yang memadai bagi lembaga dan aktor-aktor antikorupsi, baik dalam konteks keselamatan jiwa, kelancaran investigasi, efektivitas pencegahan hingga pendanaan lembaga antikorupsi.
Hasil survei LSI sepanjang 11 Mei hingga 16 Mei 2019 menunjukkan, KPK menempati urutan teratas sebagai lembaga yang dipercaya publik (22 persen responden sangat percaya dan 62 persen cukup percaya). Urutan berikutnya Presiden (20 sangat percaya dan 59 persen cukup percaya), Polisi (15 persen sangat percaya dan 64 persen cukup percaya), Pengadilan (11 persen sangat da 60 cukup percaya), DPR (8 sangat percaya dan 53 persen cukup percaya), dan paling buncit adalah partai politik (6 persen sangat percaya dan 47 persen cukup percaya).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data empat tahun terakhir (2016-2019), LSI menemukan fakta bahwa KPK masih menjadi lembaga yang paling dipercaya publik, kemudian baru menyusul Presiden dan Polisi.
Hasil survei LSI sepanjang 11 Mei hingga 16 Mei 2019 turut menunjukkan selama dua tahun terakhir mayoritas responden menilai tingkat korupsi meningkat. Di sisi lain dibandingkan dengan tren korupsi 2016-2018, maka persepsi terhadap korupsi menurun. Dari sisi awareness dan persepsi efektifitas lembaga pemberantasan korupsi, KPK paling banyak dikenal (81 persen) sebagai Lembaga yang melakukan langkah-langkah pemberantasan korupsi dan paling banyak dinilai efektif dalam melakukannya (85 persen dari yang mengetahuinya). Awareness terhadap KPK masih tertinggi dan tahun 2018 semakin tinggi.
“Hingga 2018, kinerja KPK dalam setahun terakhir lebih banyak dinilai lebih baik/jauh lebih baik 67,3 persen.”
ADVERTISEMENT
Dalam dokumen, LSI mengkomparasikan tingkat awareness dan persepsi efektifitas kepuasan atas kerja KPK. Pada tahun 2016 terdapat 92,6 persen responden aware terhadap langkap pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dengan 9 persen sangat puas dengan kinerja KPK. Untuk 2017 ada 78,3 persen aware dengan 12 persen sangat puas dan 58 persen puas. Kemudian pada tahun 2018, 86 persen aware dengan 9,1 persen sangat puas dan 60,9 persen puas.
Selain itu dalam survei sepanjang 11 Mei hingga 16 Mei 2019, LSI pun memotret lembaga apa yang sebaiknya memimpin upaya pemberantasan korupsi? Hasilnya, 64,4 persen responden menyodorkan nama KPK baru kemudian Presiden (13,9 persen), Kepolisian (7,5), Kejaksaan (2,2), lainnya (0,2), dan tidak tahu/tidak jawab (11,2).
ADVERTISEMENT
Pada bagian akhir, LSI merangkum 7 kesimpulan. Di antaranya, hasil temuan LSI menunjukkan bahwa isu pemberantasan korupsi menjadi perhatian serius bagi warga. Kemudian, kepercayaan terhadap lembaga pemberantasan korupsi berhubungan dengan kepercayaan terhadap Presiden. Terakhir secara spesifik, terdapat efek dari penilaian atas kinerja pemberantasan korupsi, khususnya KPK, terhadap dukungan pada Joko Widodo pada Pilpres 2019.
“Selain itu, penilaian kinerja pemberantasan korupsi juga ikut menentukan kepuasan terhadap kinerja Presiden Jokowi. Pendukung Joko Widodo adalah mereka yang cenderung menilai positif kinerja pemberantasan korupsi pemerintah. Penilaian positif ini selanjutnya juga menentukan kepuasan mereka terhadap pemerintahan Joko Widodo.”
Survei dan hasilnya yang terakhir yang ingin penulis sodorkan yakni dilakukan Indikator Politik Indonesia tentang 'Revisi UU KPK dan Pertaruhan Modal Politik Jokowi'. Survei nasional dilakukan kurun 18 Januari hingga 29 Januari 2016. Hasil survei dilansir secara resmi pada Senin, 8 Februari 2016. Indikator menemukan bahwa dari antara enam lembaga demokrasi, yang paling dipercaya adalah KPK 79,6 persen dan urutan kedua Kepresidenan 79,2. Lembaga yang paling rendah tingkat kepercayaannya adalah partai politik 39,2 persen dan DPR 48,5 persen.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan revisi UU KPK, ada 22,5 responden yang mengikuti berita tentang revisi tersebut. Di antara yang mengikuti dengan isu revisi KPK tersebut, mayoritas yakni 54,4 persen berpendapat bahwa revisi UU KPK akan melemahkan KPK. Indikator menegaskan, jika upaya revisi UU KPK terus dilakukan maka kepercayaan publik terhadap DPR berpotensi menurun.
Dari sisi kinerja Presiden Jokowi dalam menjalankan pemerintahan ada sekitar 66,5 persen warga cukup atau sangat puas. Tingkat kepuasan ini tampak paling tinggi selama Jokowi dilantik sebagai Presiden Oktober 2014. Indikator menyimpulkan, penolakan masyarakat terhadap revisi UU KPK juga berpengaruh pada tingkat kepuasan terhadap kinerja Presiden Joko Widodo. Mereka yang mengetahui masalah revisi UU KPK cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Pencegahan Korupsi dan Investasi
Realitas keberadaan KPK dalam pemberantasan korupsi hakikatnya tidak semata berbicara tentang penindakan tapi juga pencegahan korupsi. Sejak sekitar delapan tahun lalu, KPK menitikberatkan penindakan dan pencegahan korupsi terintegrasi. Dari sisi pencegahan korupsi, KPK menyasar sektor national interest atau kepentingan nasional dan publik secara luas.
National interest ini mencakup sektor ketahanan pangan plus yakni pertanian, perikanan, dan kehutanan serta pendidikan dan kesehatan; sektor ketahanan energi dan sumber daya alam; sektor penerimaan negara; sektor reformasi birokrasi; hingga sektor infrastruktur dan perizinan. Selain itu KPK juga fokus pada perbaikan lembaga penegak hukum, badan peradilan, dan sistem politik berintegritas.
Kesemuanya itu dituangkan KPK dalam 'Road Map KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Tahun 2011-2023' dan 'Rencana Strategis KPK 2015-2019'. Saat proses pencegahan korupsi terintegrasi KPK terus berupaya melakukan, memantau, dan mengevaluasi perbaikan tata kelola, sistem, manajemen, hingga tumpang tindih aturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Secara spesifik, bahkan KPK menyasar secara serius pencegahan korupsi sektor dunia usaha (swasta). Dalam proses pelaksanaan kegiatan dan program pencegahan korupsi ini, KPK menggandeng Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI), BUMN/BUMD hingga Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan sejumlah asosiasi pelaku usaha.
Berbagai program dan kegiatan dijalankan di antaranya gerakan antigratifikasi dan suap dari sisi pemberi (supply side), gerakan Profesional Berintegritas (PROFIT) hingga menerbitkan buku panduan pencegahan korupsi sektor swasta atau dunia usaha, kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah.
Untuk efektifitas program PROFIT, KPK menginisiasi pembentukan forum komunikasi antara regulator dan pelaku usaha untuk memperbaiki ease of doing business khususnya di bidang perizinan dan pengadaan barang/jasa. Akhirnya di tingkat nasional terbentuk Komite Advokasi Nasional Antikorupsi (KAN) serta pada tahun 2017 telah terbentuk Komite Advokasi Daerah Antikorupsi (KAD) di 8 provinsi yaitu Riau, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, beberapa tahun belakangan KPK sangat vokal menyuarakan implementasi transparansi Beneficial Ownership (pemilik manfaat/pemilik sebenarnya) perusahaan guna mencegah terjadinya korupsi. Bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendorong pemerintah agar mengeluarkan peraturan tentang Beneficial Ownership (BO) tersebut guna memenuhi rekomendasi Financial Action Task Force (FATF).
Senyampang dengan itu, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Perpres ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 1 Maret 2018 dan berlaku sejak 5 Maret 2018.
Guna pencegahan korupsi, KPK juga telah membentuk Tim Koordinasi Supervisi Pencegahan (Korsupgah). Belakangan pada tahun 2018, KPK membentuk Unit Kerja Koordinator (Korwil) yang terdiri atas sembilan Korwil dengan masing-masing dipimpin seorang ketua. Pada setiap Korwil terdapat dua Satuan Tugas (Satgas) yakni penindakan dan pencegahan. Tim Satgas Pencegahan dipimpin satu orang, begitu pula Tim Satgas Penindakan.
ADVERTISEMENT
Dari salinan Peraturan KPK Nomor 03 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja (Ortaka) KPK yang berhasil diunduh penulis, tertuang bahwa Unit Kerja Korwil adalah organisasi virtual yang dibentuk berdasarkan Keputusan Pimpinan untuk melaksanakan koordinasi dan supervisi bidang pencegahan dan bidang penindakan serta menyiapkan dan melaksanakan kegiatan yang membutuhkan integrasi serta kolaborasi antara upaya pencegahan dan penindakan.
Dalam Ortaka juga disebutkan, yang dapat menjadi Koordinator Wilayah atau ketua Korwil adalah pegawai yang memiliki tingkat jabatan Spesialis Utama. Dalam menjalankan tugas tersebut, Korwil memiliki 26 fungsi yang dijabarkan secara detil dan rinci dalam peraturan tersebut.
Hingga saat ini termasuk dengan keberadaan Tim Satgas Pencegahan pada sembilan Korwil, KPK mengawal secara serius 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota (hingga akhir 2018). Korwil melanjutkan dan menjalankan pencegahan terintegrasi pada tujuh aspek. Satu, perencanaan, pembahasan, pengesahan, hingga evaluasi penggunaan APBD. Di antaranya dengan penggunaan e-planning dan e-budgeting terintegrasi.
ADVERTISEMENT
Dua, pengadaan barang dan jasa dengan dilaksanakan oleh Unit Layanan Pengadaan yang mandiri, pengadaan dengan sistem elektronik (e-procurement), daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang/jasa secara elektronik (e-catalogue), dan tata cara pembelian barang secara elektronik (e-purchasing). Tiga, perbaikan layanan publik termasuk di antaranya peningkatan efektivitas unit/badan/dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) disertai penerapan sistem elektronik.
Empat, penguatan, peningkatan kapasitas, dan independensi Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Lima, peningkatan tata kelola dan kinerja sumber daya manusia serta manajemen PNS/ASN mencakup di antaranya rekrutmen, promosi, dan mutasi. Enam, peningkatan penghasilan asli daerah (PAD) dari pajak dan penyelamatan aset daerah serta manajemen aset daerah. Tujuh, pemanfaatan, pelaporan, dan evaluasi dana desa.
Upaya, tindakan, kegiatan, dan program disertai rekomendasi yang telah diberikan KPK dan rencana aksi yang telah disusun bersama juga akan diperkuat dengan adanya Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stanas PK), yang diinisiasi pemerintah pusat. Stranas PK ada berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Stranas PK. Berdasarkan Perpres tersebut juga dibentuk Tim Nasional Pencegahan Korupsi (Timnas PK) yang dipimpin KPK.
ADVERTISEMENT
Sebelum saya melanjutkan, ada baiknya lebih dulu dihadirkan laporan World Bank Group 'Doing Business 2019: Training for Reform' yang di dalamnya termaktub Ease of Doing Business (EoDB) atau Indeks Kemudahan Berbisnis, termasuk di Indonesia. Penilaian ini dilakukan kurun Juni 2017 hingga Mei 2018 serta laporannya dilansir pada akhir 2018. World Bank Group mencatat, ada tiga indikator terjadi peningkatan perbaikan pada yakni kemudahan memulai bisnis, registrasi properti, dan kemudahan akses mendapatkan kredit.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, World Bank Group menegaskan, kemudahan berbisnis (berusaha) di sebuah negara bergantung pada tinggi atau rendahnya tingkat korupsi. Semakin tinggi tingkat korupsi maka akan semakin rendah (buruk) iklim investasi.
Dalam laporan 'Doing Business 2019: Training for Reform', EoDB Indonesia turun ke peringkat 73 dengan skor 67,96 dari 190 negara. Padahal tahun lalu, EoDB Indonesia berada di urutan 72. Sementara di tahun 2017 Indonesia menempati posisi 91 dan pada tahun 2016 di ranking 106. Lihat juga berita 'Naik 19 Level, Kemudahan Berbisnis Indonesia ke Peringkat 72' yang dilansir Katadata.co.id, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/11/01/naik-19-level-kemudahan-berbisnis-indonesia-ke-peringkat-72 .
ADVERTISEMENT
Guna penilaian EoDB, World Bank Group menggunakan sekitar 10 indikator. Masing-masing indikator kemudahan memulai bisnis yakni pemangkasan dan penyederhanaan prosedur pasca-pencatatan administratif, perlindungan investor minoritas, pembayaran pajak, perdagangan lintas negara (ekspor-impor), kemudahan perizinan konstruksi, kemudahan akses listrik, penyelesaian perkara kepailitan, kemudahan akses mendapatkan kredit, perizinan, dan pendaftaran properti mencakup sistem dan prosedur pendaftaran sesuai aturan hukum.
Selain itu berdasarkan laporan dan lansiran World Bank, Indonesia merupakan satu di antara negara berkembang yang menjadi perhatian World Bank. World Bank bahkan pernah bebeberapa mengingatkan berbagai negara termasuk Indonesia agar pelaksanaan proyek-proyek yang bersumber dari bantuan World Bank tidak terpapar praktik lancung dan korupsi. Bahkan dalam laporan tahunan 2018 World Bank Group, tertera secara jelas bahwa World Bank Group memiliki komitmen berkesinambungan dan terus-menerus untuk memerangi korupsi dan mencegahnya sebelum terjadi.
ADVERTISEMENT
Bila melihat 10 indikator EoDB di atas maka sebagian besarnya masuk dalam kegiatan dan program pencegahan korupsi yang dilakukan KPK. Karenanya kegiatan dan program pencegahan korupsi yang dilakukan KPK hakikatnya telah memberikan dampak positif dan signifikan bagi masuknya dan perkembangan investasi dan dunia usaha di Indonesia.
Thony Saut Situmorang selaku Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 menegaskan, sebenarnya ada banyak contoh upaya, kegiatan, dan program pencegahan korupsi yang dilakukan KPK yang sangat berkontribusi dan memiliki dampak positif bagi investasi dan dunia usaha. Bahkan pencegahan korupsi yang dilakukan KPK menghasilkan pemasukan dan penerimaan negara yang signifikan. Untuk sektor dunia usaha, KPK menggarisbawahi adanya kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi para pelaku usaha saat mengikuti tender proyek pengadaan hingga proses pengurusan perizinan.
ADVERTISEMENT
Saut menegaskan, satu di antara contoh pencegahan korupsi yang berdampak positif bagi investasi adalah di PT Kereta Api Indonesia (KAI, Persero). Dengan pendampingan KPK kemudian terjadi berbagai perbaikan di stasiun-stasiun hingga kenyamanan penumpang menjadi perhatian serius PT KAI (Persero). Bahkan, tutur Saut, Jepang berani berinvestasi di PT KAI (Persero) untuk kereta api cepat.
“Sederhana aja contohnya. Ketika kami mengusir orang jahat di setiap stasiun kereta api. Sekarang PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) menjadi kereta paling keren dibanding tahun sebelumnya. Kemudian orang confidence naik kereta api, nyaman naik kereta api, kemudian invetasi datang bikin kereta api cepat. Bahkan kita harus kirim orang ke Belanda di mana saja ada aset kereta api. Itu (PT KAI) satu bukti kami memicu datangnya investasi. Jepang kan pasti oh PT KAI keren, dijaga KPK, harus invest,” tegas Saut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Selasa, 24 September 2019.
ADVERTISEMENT
Contoh lain yang bisa dilihat yakni proyek Lapangan Abadi Blok Masela di Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. KPK melakukan pengawasan dan pendampingan saat proses revisi rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Blok Masela. Apalagi proyek Blok Masela menggunakan skema cost recovery dengan di antaranya ada pembelian barang dan jasa serta pengerjaan konstruksi hingga nilai investasi selama 20 tahun sampai 2055 akan mencapai Rp 588 triliun.
Ada sejumlah poin dalam revisi PoD yang menjadi perhatian serius KPK. Di antaranya bagi hasil atas liquefied natural gas (LNG) atau gas alam cair yang akan didapat pemerintah, besaran konten dalam negeri di PoD termasuk di dalamnya pemenuhan atas syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan terpenuhinya hak masyarakat sebagai tenaga kerja di Blok Masela.
ADVERTISEMENT
Di bagian akhir tulisan ini saya membayangkan, seandainya KPK adalah mahluk hidup - manusia - maka pasti KPK akan berbicara dan bertanya mengapa korupsi terjadi tapi saya (KPK) yang disalahkan? Mengapa para pelaku korupsi (koruptor) yang berbuat dan menikmati keuntungan tapi saya yang kena imbasnya? Mengapa orang yang makan nangka tapi saya kena getahnya?
Bagi saya, penggunaan narasi 'KPK menghambat investasi' menjadi (salah satu) alasan revisi terhadap UU KPK boleh dibilang sebagai alasan dan realitas semu. Bahkan cenderung mengada-ada. Pijakan narasi 'KPK menghambat investasi' pun tidak kokoh. Ia terlalu rapuh. Ditambah lagi, kepastian hukum bukan ditentukan dengan adanya kewenangan penerbitan SP3 atau tidak. Sekali lagi, kerancuan narasi yang tidak berpijak pada data, fakta, dan keadaan sebenarnya kiranya perlu dihindarkan saat terjadi komunikasi publik.[]
ADVERTISEMENT