Korupsi Ranah Sakral di Indonesia

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
17 Mei 2019 18:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penyidik KPK memegang uang yang menjadi barang bukti kasus korupsi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Penyidik KPK memegang uang yang menjadi barang bukti kasus korupsi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Kabar mengejutkan terdengar di hari kedua bulan suci Ramadhan 1440 hijriah. Selasa, 7 Mei 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menyampaikan laporan atas hasil penyelidikan yang ditingkatkan ke penyidikan dengan penetapan dua orang tersangka kasus dugaan suap terkait dua proyek pengadaan di Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat tahun anggaran 2018.
ADVERTISEMENT
Satu di antara objek dugaan suap yakni pengurusan proyek paket pengerjaan pembangunan Masjid Agung Solok Selatan dengan pagu anggaran sekitar Rp 55 miliar. Dua tersangka yang ditetapkan, pertama, Bupati Solok Selatan periode 2016-2021 sekaligus Ketua DPC Partai Gerindra Solok Selatan (sudah mengundurkan diri) Muzni Zakaria sebagai penerima suap. Kedua, pemilik Grup Dempo sekaligus pemilik PT Dempo Bangun Bersama (BPP) Muhammad Yamin Kahar sebagai penerima suap.
Yamin diduga mengucurkan pelicin dengan total sekitar Rp 860 juta. Muzni sendiri diduga menerima Rp 460 juta. Sebesar Rp 315 juta diserahkan Yamin ke pejabat lain di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Solok Selatan. Selain itu Muzi juga meminta ke Yamin pada Juni 2018 agar uang diberikan ke pihak lain. Masing-masing Rp 25 juta ke Kasubbag Protokol untuk tunjangan hari raya pegawai dan Rp 60 juta diserahkan ke istri Muzni, Suriati Muzni.
ADVERTISEMENT
"KPK juga sangat merasa miris karena suap yang diduga diterima kepala daerah ini (Muzni) terkait pembangunan tempat ibadah yaitu Masjid Agung Solok Selatan," tegas Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (7/5/2019) sore.
Apa yang disampaikan KPK melalui Basaria Panjaitan tentu bukan tanpa alasan nyata. Semua kita pasti mengetahui dan meyakini bahwa melakukan korupsi adalah perbuatan tercela. Apapun objeknya, apalagi rumah ibadah. Yang harus diingat, rumah ibadah adalah rumah suci bagi para umat beragama atau penganut kepercayaan untuk menjalankan ibadah, bukan menjadi objek atau tempat terjadinya korupsi atau sarana membersihkan harta hasil korupsi dan pidana lainnya.
Melakukan korupsi yang kemudian uang dan hartanya dipergunakan untuk kebutuhan dan kepentingan ranah sakral atau spiritual atau keagamaan atau transendental, kemasyarakatan hingga sosial pun tidak bisa dibenarkan. Karena setiap agama ataupun kepercayaan telah memberikan panduan serta mengajarkan bahwa kebaikan dan kebajikan dilakukan dengan cara dan jalan yang baik pula.
ADVERTISEMENT
Apalagi ada yang melakukan perbuatan korupsi di bulan suci Ramadhan, atau sebelum berangkat melaksanakan ibadah haji, atau sebelum dan saat ibadah umroh, hingga saat menjalankan ibadah haji.
Untuk itu kiranya penulis perlu menghadirkan satu hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, dan al-Hakim. Kurang lebih artinya, "Barangsiapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya."
Dugaan suap proyek Masjid Agung Solok Selatan di atas menunjukkan korupsi pada aspek ranah sakral di Indonesia masih terjadi. Jauh sebelumnya, ada banyak para pelaku dari beragam profesi dan jabatan yang melakukan korupsi pada atau terkait dengan area ranah sakral tersebut atau dijadikan sebagai lokasi transaksi. Karenanya ada baiknya kita menengok ke belakang apa saja kasus atau perkara korupsi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan ini, penulis akan mengambil beberapa contoh kurun tahun 2012 hingga 2019. Utamanya yang sedang atau sudah menjalani persidangan hingga sudah divonis di tingkat pengadilan termasuk yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kasus atau perkara yang tertuang dalam tulisan ini tidak hanya ditangani KPK, tapi juga Kejaksaan dan Kepolisian. Kasus atau perkara pun tidak semata korupsi, tapi juga ada yang disertai tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau TPPU dengan pidana lain.
Area Masjid Lokasi Suap 2 Perkara
Para pelaku korupsi rupanya terlihat 'enjoy' menjadikan area masjid khususnya parkiran masjid sebagai lokasi terjadinya serah-terima uang. Kalau kita melihat pemberitaan media massa atas persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung pada Senin, 29 April 2019, empat terdakwa menjalani persidangan pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Bandung.
ADVERTISEMENT
Mereka yakni Bupati Cianjur periode 2016-2021 Irvan Rivano Muchtar, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemkab Cianjur Cecep Sobandi, Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemkab Cianjur Rosidin, dan Tubagus Cepy Septhiady (kakak ipar sekaligus tim sukses Irvan dalam pilkada 2016). Mereka didakwa melakukan pemerasan dengan cara pemotongan atau penerimaan suap pasif sebesar Rp 6.943.860.000 terkait Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Pendidikan 137 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tahun Anggaran (TA) 2018 di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat.
Dari sekian banyak lokasi terjadi tindak pidana, JPU menyebutkan dua masjid. Pertama, Masjid Baitul Mu’minin, Desa Cidadap, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Kedua, Masjid Agung Cianjur, Jalan Siti Jenab, Pamoyanan, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur. Untuk lokasi pertama, Irvan menerima laporan dari Cecep tentang kegiatan-kegiatan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk persetujuan anggaran DAK Fisik Bidang Pendidikan SMP TA 2018.
ADVERTISEMENT
Kemudian di halaman Masjid Agung, terjadi dua kali transaksi uang. Masing-masing Irvan dan Cepy menerima Rp 618.460.000 dalam kardus coklat yang disodorkan Kepala Seksi pada Dinas Pendidikan Pemkab Cianjur Budiman pada akhir Januari 2018. Uang sebelumnya dikumpulkan dari para kepala sekolah calon penerima DAK Fisik Bidang Pendidikan SMP.
Penyerahan kedua, uang dari Rosidin yang diantarkan sopir dengan mobil ke Cecep pada Rabu, 12 Desember 2018, subuh. Uang yang dikemas dalam kardus coklat dipindahkan sopir Rosidin ke mobil Cecep yang terparkir di halaman Masjid Agung. Uang itu hasil pengumpulan dari para kepala sekolah.
Sesaat setelah perpindahan uang, tim KPK langsung mencokok Cecep dan sopir di halaman Masjid Agung. Berikutnya Rosidin di rumahnya, Ketua Majelis Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Cianjur Rudiansyah di rumahnya, Bendahara MKKS Taufik Setiawan di rumahnya, dan Irvan di rumah dinas, dan Budiman di sebuah hotel di Cipanas. Saat dalam operasi tangkap tangan, tim KPK menyita uang Rp 1.556.700.000 dalam pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, dan Rp 20.000.
ADVERTISEMENT
Lokasi transaksi suap yang bertempat di masjid berikutnya pun masih tampak di April 2019. Di bulan ini, dalam dua pekan berbeda, empat terdakwa suap pengurusan perkara menjalani persidangan pembacaan surat dakwaan, di Pengadilan Tipikor Jakarta. Perkara suap tersebut adalah pengurusan putusan perkara perdata Nomor: 262/Pdt.G/2018/PN JKT.SEL mengenai gugatan pembatalan perjanjian akuisisi antara CV Citra Lampia Mandiri dan PT Asia Pacific Mining Resources, yang sebelumnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Empat orang terdakwa terbagi dua bagian. Pertama, dua pemberi suap Rp 150 juta dan dan SGD 47.000 (setara Rp 500 juta) yaitu Direktur PT Asia Pacific Mining Resources (APMR) Martin P Silitonga dan advokat bernama Arif Fitrawan. Kedua, tiga penerima yakni mantan panitera pengganti PN Jaksel sekaligus panitera pengganti PN Jakarta Timur (kini nonaktif) Muhamad Ramadhan serta dua hakim PN Jaksel (kini nonaktif) Iswahyu Widodo dan Irwan.
ADVERTISEMENT
Uang suap sebesar Rp 150 sebenarnya lebih dulu disodorkan Arif ke Ramadhan dengan total Rp 200 juta. Penyerahan terjadi di parkiran masjid kampus Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN)/Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Cilandak, Jalan Ampera Raya, Cilandak Timur, Jakarta Selatan pada Selasa, 31 Juli 2018. Di hari yang sama Ramadhan menemui hakim Irwan di Parkiran Kemang Medical Center disertai penyerahan uang Rp 150 juta.
Perkara ini bermula dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Selasa, 27 November 2018 malam. Saat itu tim KPK menyita uang tunai SGD 47.000.
Masjid Agung, Masjid Pribadi, dan Pesantren
Pria kelahiran Pisang, Kabupaten Lampung Selatan (Lamsel), 12 Januari 1965 hanya bisa mengusap wajahnya saat duduk di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Tanjungkarang, Kota Bandar Lampung, Kamis, 25 April 2019. Dia hadir mengenakan batik bercorak lengan panjang dan kopiah hitam.
ADVERTISEMENT
Majelis hakim memvonis pria itu dengan pidana penjara selama 12 tahun, denda Rp 500 juta subsider 5 bulan kurungan, uang pengganti Rp 66.772.092.145 subsider pidana penjara 1 tahun 6 bulan, dan pencabutan hak politik selama 3 tahun. Lantas siapa pria itu?
Dia adalah Bupati Lampung Selatan periode 2016-2021 Zainudin Hasan. Sekitar kurang satu tahun sebelumnya atau pekan kedua April 2018, Zainudin menjabat juga sebagai ketua DPW PAN Provinsi Lampung. Semua pihak pun mengetahui, Zainudin merupakan adik kandung dari Ketua Umum DPP PAN sekaligus Ketua MPR periode 2014-2019 Zulkifli Hasan.
Majelis hakim menilai, Zainudin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan empat pidana sekaligus yang terbagi tiga delik korupsi dan satu TPPU. Pertama, menerima suap Rp 72.742.792.145 secara bersama-sama, empat terkait pengurusan lebih 600 paket pekerjaan proyek di lingkungan Dinas PUPR Pemkab Lamsel kurun 2016-2018. Uang suap berasal dari puluhan pengusaha/kontraktor/rekanan proyek di lingkungan Dinas PUPR.
ADVERTISEMENT
Lokasi penerimaan di antaranya parkiran Masjid Al-Muslimin dekat Stadion Pahoman, Kota Bandar Lampung dan parkiran Masjid Agung Kalianda, Kabupaten Lamsel. Dari 600 proyek yang menjadi objek suap, dua di antaranya terkait dengan masjid. Pertama, pembangunan pagar masjid tahun anggaran 2018 dengan anggaran sekitar Rp 920 juta. Kedua, pengerjaan renovasi pembangunan Masjid Agung Kalianda pada 2018 dengan anggaran sekitar Rp 9,8 miliar.
Dua proyek ini dimenangkan dan dikerjakan perusahaan milik dan dibawa Ardy Gunawan, di antaranya PT Asmit Hidayat. Menurut Ardy, dua proyek tersebut dan satu proyek lain dimenangkan dengan mengikuti tender di laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Lamsel. Untuk Masjid Agung, seingat Ardy, nilai pagunya sebesar Rp 10 miliar.
ADVERTISEMENT
Dari penelusuran lanjutan oleh penulis di laman LPSE Kabupaten Lamsel, tender proyeknya tertera dengan nama 'Rehabilitasi Masjid Agung', kategori pekerjaan konstruksi, lokasi pekerjaan di Kalianda, Lamsel, dan nilai pagu anggaran Rp 10 miliar. PT Asmi Hidayat memenangkan tender dengan nilai penawaran Rp 9.949.090.000 dan menumbangkan 7 perusahaan lain.
Delik kedua, Zainudin selaku Bupati dan pemilik manfaat (beneficiary owner) PT Krakatau Karya Indonesia (KKI) secara langsung dan dengan sengaja turut serta dalam pemborongan atau pengadaan 27 proyek pekerjaan jalan bernilai lebih Rp 115,77 miliar kurun 2017-2018 dari APBD Kabupaten Lamsel. PT KKI bergerak di bidang usaha Asphalt Mixing Plant (AMP). Anggaran tersebut lebih dulu bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2017 dan 2018.
ADVERTISEMENT
Dari keikutsertaan ini, Zainudin memperoleh keuntungan Rp 27 miliar. Dari angka ini, Zainudin menggunakan Rp 9 miliar untuk membeli aset berupa Asphalt Mixing Plant (AMP).
Ketiga, penerimaan gratifikasi dengan total Rp 7.162.500.000. Sebagiannya yakni Rp 3.162.500.000 berasal dari PT Baramega Citra Mulia Persada dan PT Johnlin Baratama. Penerimaan gratifikasi dari dua perusahaan tersebut oleh Zainudin on behalf Zulkifli Hasan.
Keempat, TPPU sejumlah Rp 106.905.292.145. Keseluruhan uang tersebut berasal dari tiga delik korupsi. Uang dipergunakan Zainudin untuk membeli tanah beserta rumah toko (ruko), lebih 60 bidang tanah, pabrik beras CV Sarana Karya Abadi di Rawa Selapan Candipuro, Lampung Selatan dan renovasi pabrik beras PT Putra Asli Lampung Selatan Indonesia (Palasindo), satu motor Harley Davidson warna putih, enam unit mobil di antaranya Mercedes Benz S400 L AT seharga Rp 1,75 miliar, perbaikan dan perawatan Kapal Johnlin 38 (Kapal Krakatau), saham RS Airan, hingga unit Aspalt Mixing Plant (AMP).
ADVERTISEMENT
Selain itu uang hasil korupsi juga dipergunakan Zainudin untuk renovasi rumahnya dan masjid pribadi miliknya yang beralamat di Jalan Bani Hasan Nomor 1, Kelurahan Kedaton, Kecamatan Kalianda. Nama masjid pribadi tersebut adalah Masjid Bani Hasan. Renovasi dan pembangunan rumah dan masjid pribadi berlangsung kurun 2015-2016 serta menghabiskan anggaran Rp 14, 62 miliar. Dara khusus untuk renovasi masjid saja angkanya mencapai Rp 4.355.983.651. Setelah renovasi selesai, pada 2017 Zainudin membeli karpet dengan total harga Rp 1,5 miliar untuk perlengkapan Masjid Bani Hasan.
Zainudin juga berencana memperluas area Masjid Bani Hasan dan mendirikan pesantren. Untuk kepentingan ini, Zainudin lantas membeli tanah seluas 900 meter persegi milik Jenggis Khan Haikal dengan harga Rp 300 juta pada pertengahan 2017. Tanah ini berada tepat di belakang Masjid Bani Hasan. Yang bernegosiasi dengan Haikal adalah Rusman Efendi (pengusaha sekaligus kader PAN dan orang kepercayaan Zainuddin).
ADVERTISEMENT
"Karena untuk pesantren, saya setuju dengan harga sebesar Rp 300 juta. sepengetahuan saya, Rusman membeli untuk pesantren 'Bang Zainudin' yang dimaksud adalah Bupati," ujar Haikal di hadapan majelis hakim.
Islamic Center Purbalingga
Sore di Senin, 4 Juni 2018 saat masih dalam suasana bulan Ramadhan, KPK menghentak. Tim KPK mencokok pengusaha sekaligus calo proyek bernama Ardirawinata Nababan dan Hadi Iswanto selaku Kabag Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemkab Purbalingga sesaat setelah terjadi serah terima uang Rp 100 juta dari Ardirawinata ke Hadi, di jalan proyek Purbalingga Islamic Center. Masih di Kabupaten Purbalingga, beberapa menit kemudian tim lain menciduk Tasdi selaku Bupati Purbalingga periode 2016-2021 dan ajudannya, Teguh Priyono.
Masih sehubungan dengan ini, tim lain mengangkut pengusaha sekaligus calo proyek bernama Librata Nababan (ayah kandung Ardirawinata) dan pemilik PT Buaran Megah Sejahtera dan beberapa perusahaan Hamdani Kosen, di lobi sebuah hotel di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sehari berselang, KPK mengumumkan penetapan Tasdi dan Hadi sebagai tersangka penerima suap dari tersangka pemberi Hamdani, Librata, dan Ardirawinata. KPK memastikan sudah ada penerimaan Rp 15 juta sebelumnya oleh Tasdi. Total Rp 115 juta merupakan bagian dari komitmen fee Rp 500 juta untuk pengurusan proyek pembangunan Islamic Center Kabupaten Purbalingga Tahap II (lanjutan) tahun 2018. Proyek ini dimenangkan dan digarap PT Buaran Megah Sejahtera. Perusahaan ini sebelumnya juga menggarap proyek Tahap I.
Dari temuan KPK proyek pembangunan ‎Purbalingga Islamic Center merupakan proyek multiyears (tahun jamak) kurun 2017-2019 dengan total anggaran Rp 77 miliar. Tahap pertama tahun anggaran 2017 dengan nilai sekitar Rp 12 miliar, tahap kedua TA 2018 dengan nilai ‎Rp 22.282.700.000‎, dan tahap ketiga TA 2019 senilai sekitar Rp 43 miliar. Proyek ini memang digagas oleh Tasdi.
ADVERTISEMENT
Pada Rabu, 6 Februari 2019, majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Jawa Tengah memvonis Tasdi dengan pidana penjara selama 7 tahun, denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan, dan pencabutan hak politik selama 3 tahun. Majelis menilai, Tasdi terbukti melakukan dua delik pidana. Pertama, menerima suap Rp 115 juta. Kedua, menerima gratifikasi Rp 1,465 miliar dan USD 20.000 dari sejumlah pihak.
Uang gratifikasi di antaranya dari Hamdani Kosen, Priyo Satmoko selaku Kepala Dinas PUPR Pemkab Purbalingga, Mohammad Najib selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Pemkab Purbalingga, Satya Giri Podo selaku Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pemkab Purbalingga, Wahyu Kontardi selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Purbalingga, dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDIP Utut Adianto Wahyuwidayat (Rp 150 juta).
ADVERTISEMENT
Selain itu majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang juga telah memvonis Hadi, Hamdani, Librata, dan Ardirawinata. Selama proses penyidikan hingga persidangan berlangsung, terungkap adanya fakta bahwa uang suap Rp 100 juta yang ditransaksikan sebelum OTT, rencananya untuk tunjangan hari raya (THR) Tasdi. Saat dibicarakan dan ditransaksikan, uang suap bersandi 'mau wayangan' dan 'itu 500'.
Dari lansiran berbagai media massa, Purbalingga Islamic Center merupakan proyek megah dan berada di atas lahan seluas sekitar 4,5 hektare. Dari desainnya, di dalam lokasi direncanakan terdapat sejumlah bangunan di antaranya masjid dengan nama 'Masjid Nabawi', gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI), gedung Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan miniatur Masjidil Haram, miniatur Kakbah hingga miniatur terowongan Mina, lokasi lempar jumroh, lokasi Sai, dan padang Arafah.
ADVERTISEMENT
Uang Suap untuk Umrah dan Haji
Aspek ranah sakral berupa pelaksanaan ibadah umrah dan haji yang (diduga) bersumber dari uang hasil korupsi seperti suap dan gratifikasi juga terjadi. Kalau kita menyimak fakta-fakta persidangan hingga pertimbangan tuntutan dan putusan, sedikitnya ada tiga perkara yang bisa dijadikan contoh.
Pertama, perkara suap pengurusan dua proposal hibah yang diajukan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat hingga mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) ke KONI Pusat pada tahun kegiatan 2018 dengan dua pemberi suap. Mereka yakni Sekretaris Jenderal KONI Pusat Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Pusat Jhony E Awuy. Persidangan surat tuntutan Hamidy dan Jhony yang dibacakan oleh JPU pada KPK berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 9 Mei 2019.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan fakta-fakta persidangan dan pertimbangan surat tuntutan Hamidy dan Jhony, terdapat alokasi transfer sekitar Rp 80 juta kurun akhir November hingga Desember 2018 dari Jhony ke rekening bank BNI, yang kartu ATM-nya dipegang dan dibawa Asisten Pribadi (Aspri) Menpora Imam Nahrawi, Miftahul Ulum.
Uang tersebut untuk kebutuhan Ulum saat menunaikan ibadah umrah di Arab Saudi. Uang itu juga berasal dari uang dana hibah KONI Pusat yang sebelumnya dicairkan dan dikucurkan Kemenpora ke KONI Pusat. Uang ini disebut JPU sebagai bagian dari total uang suap yang diberikan Hamidy dan Jhony.
Keberadaan Ulum di Arab Saudi sebenarnya untuk mendampingi Imam Nahrawi memenuhi undangan Federasi Paralayang Asia. Dalam rombongan yang menghadiri acara itu, juga hadir dan ada jajaran para pejabat Kemenpora, ajudan Menpora, dan istri Imam Nahrawi.
ADVERTISEMENT
Setelah acara baru kemudian seluruh rombongan menunaikan ibadah umrah. Keberangkatan Imam Nahrawi dan rombongan termasuk Ulum di dalamnya menggunakan anggaran kementerian. Bahkan untuk ibadah umrah juga menggunakan anggaran Kemenpora.
"Kalau saya untuk umroh, anggarannya dari Sekretariat Kemenpora. Kalau masing-masing deputi ikut, deputi gunakan anggaran perjalanan dinas," ujar Imam Nahrawi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 29 April 2019 malam.
Masih di pengadilan yang sama, pada Senin, 4 Februari 2019 majelis hakim memvonis Yaya Purnomo selaku Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan pidana penjara selama 6 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 1 tahun 15 hari kurungan. Yaya kini menjadi terpidana.
ADVERTISEMENT
Majelis meyakini, Yaya terbukti melakukan dua delik korupsi dalam pengurusan alokasi tambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID) dari APBN 2016, APBN 2017, APBN-P 2017, dan APBN 2018 untuk 9 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dua delik tersebut yakni menerima suap Rp 300 juta dan gratifikasi Rp 6.528.985.000, USD 55.000, dan SGD 325.000 (setara sekitar Rp 3.568. 825.000). Majelis meyakini penerimaan gratifikasi yang tidak pernah dilaporkan Yaya ke KPK haruslah dianggap sebagai suap.
Satu di antara penerimaan gratifikasi tersebut yakni sekitar SGD 200.000 dan Rp 400 juta Bupati Labuhan batu Utara, Sumatera Utara Khairuddin Syah Sitorus melalui Kepala Dispenda Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Utara Agusman Sinaga. Gratifikasi diterima untuk pengurusan DAK yang diajukan Pemkab Labuhanbatu Utara dari APBN 2018. Satu di antaranya yakni untuk pembangunan RSUD Aek Kanopan dengan usulan anggaran Rp 30 miliar.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan fakta persidangan dan pertimbangan putusan maupun pertimbangan tuntutan atas nama Yaya, saat proses pengurusan DAK Kabupaten Labuhanbatu Utara ada keterlibatan dan bantuan beberapa orang. Di antaranya Puji Suhartono dan Irgan Chairul Mahfiz. Puji adalah Wakil Bendahara Umum DPP PPP sekaligus pemilik PT Dewata Lestari Indotama merangkap donatur dan Wakil Bendahara Umum Pengurus Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia (PP Parmusi). Sedangkan Irgan merupakan ‎anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PPP sekaligus Ketua DPP PPP.
Saat proses pengurusan DAK itu, Agusman mentransfer uang Rp 100 juta dalam dua tahap ke rekening BNI milik Irgan. Masing-masing Rp 20 juta awal Maret 2018 dan Rp 80 juta awal April 2018. Uang ditransfer setelah lebih dulu Yaya meminta Agusman, Yaya dimintai Puji, dan Puji dimintai bantuan oleh Irgan. Uang tersebut untuk kebutuhan dan keperluan umroh Irgan di Tanah Suci.
ADVERTISEMENT
"Saya terima, dikirim dua kali total Rp 100 juta. Setahu saya itu uang dari Pak Puji. Setelah dikirim, Pak Puji sampaikan ke saya, 'Bang, udah masuk Bang'. Saya nggak tahu sumbernya dari mana. Dia kan sudah janji sebelumnya," ungkap Irgan di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 3 Desember 2018.
Masih di pengadilan yang sama tetapi dengan objek perkara berbeda. Senin, 4 September 2017 ada 'wakil Tuhan di muka bumi' sekaligus mantan menteri Hukum dan HAM yang menjalani persidangan pembacaan putusan. Dia adalah Patrialis Akbar. Patrialis diadili dalam kapasitasnya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2017.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Patrialis dengan pidana penjara selama 8 tahun, denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan, dan pidana uang pengganti USD 10.000 dan Rp 4.043.195 subsider pidana penjara selama 1 tahun. Patrialis terbukti menerima suap sebesar USD 10.000 dan Rp 4.043.195. Perbuatan suap dilakukan Patrialis bersama ‎Kamaludin (divonis 7 tahun) sebagai teman karib Patrialis selama lebih 20 tahun dan Direktur PT Spekta Selaras Bumi. Kamaludin secara sendiri menerima dan menikmati USD 40.000.
ADVERTISEMENT
Suap diterima Patrialis dan Kamaludin dari dua pemberi. Pertama, Basuki Hariman (divonis 7 tahun) yang merupakan beneficial owner PT Impexindo Pratama, PT Cahaya Timur Utama, PT Cahaya Sakti Utama, CV Sumber Laut Perkasa, dan PT Spekta Selaras Bumi. Kedua, sekretaris Basuki sekaligus General Manajer PR Impexindo Pratama Ng Fenny (divonis 5 tahun). Keempatnya kini menjadi terpidana.
Uang suap terbukti untuk pengurusan putusan perkara Nomor 129/ PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945, yang disidangkan dan diadili di MK.
Majelis memastikan, uang suap yang diterima Patrialis digunakan untuk golf dan umrah. Ibadah umrah dilakukan Patrialis pada Desember 2016. Selain itu dalam persidangan, terungkap fakta bahwa Patrialis menyamarkan putusan perkara Nomor 129/ PUU-XIII/2015 dengan sandi 'kereta' dan Basuki bersandi 'Ahok'.
ADVERTISEMENT
Tapi sesaat setelah persidangan pembacaan putusan, Patrialis tetap mengelak. Dia kukuh uang USD 10.000 yang digunakan untuk umrah ada pembayaran utang dari Kamaludin. Bahkan Patrialis mengatakan, dia tidak memakan uang negara. Bagi Patrialis perkaranya dan putusan yang dijatuhkan majelis hakim sebagai ujian.
"Saya ini tidak makan uang negara, tidak makan uang Bansos. Kalau pun ini ujian ya enggak apa-apa," ungkap Patrialis.
Berpindah ke Provinsi Sumatera Selatan. Pada Kamis, 23 Maret 2017, majelis hakim Pengadilan Tipikor Palembang memvonis Yan Anton Ferdian selaku Bupati Banyuasin periode 2013-2018 dengan pidana penjara selama 6 tahun, denda Rp 300 juta subsider kurungan 1 bulan, dan pencabutan hak politik selama 3 tahun. Majelis meyakini, Yan Anton terbukti menerima uang dengan total Rp 2,75 miliar dalam dua bagian.
ADVERTISEMENT
Pertama, suap sebesar Rp 1 miliar diterima bersama dengan Rustami alias Darus selaku Kasubag Rumah Tangga di Pemkab Banyuasin dan paman dari Yang Anton, Umar Usman selaku selaku Kepala Dinas Pendidikan Pemkab Banyuasin, Sutaryo selaku Kasi Pembangunan Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Pemkab Banyuasin, dan Kirman (orang kepercayaan Yang Anton dan pengepul) dari Direktur CV Putra Pratama Zulfikar Muharrami.
Kedua, Yan bersama dengan Sutaryo, Rustami alias Darus, dan Kirman menerima gratifikasi dengan total Rp. 9.112.400.000. Sebagai besar yakni Rp 6.137.400.000 dari Zulfikar dan Rp 1,75 miliar dari Direktur CV Orija bernama Asmuin.
Selain Yan Anton, majelis hakim Pengadilan Tipikor Palembang juga telah memvonis Rustami, Umar, Kirman, dan Zulfikar dengan pidana penjara beragam. Berdasarkan fakta-fakta persidangan hingga tertuang dalam pertimbangan surat tuntutan dan pertimbangan putusan atas nama Yan Anton dkk, terungkap bahwa uang Rp 1 miliar dipergunakan untuk kebutuhan pelaksanaan ibadah haji Yan Anton dan istrinya, Vinita Citra Karini pada 2016 atau 1437 hiriah.
ADVERTISEMENT
Uang Rp 1 miliar terpecah tiga bagian. Pertama, USD 40.000 (setara Rp 531,6 juta) dipergunakan untuk pembayaran tagihan biaya paket haji ke travel biro PT Turisina Buana. Kedua, Rp 150 juta ditukarkan menjadi USD 11.200 yang akan dipakai sebagai keperluan Yan Anton dan istrinya di Arab Saudi. Ketiga, Rp 300 juta tetap dalam pecahan rupiah.
Sehubungan dengan penerimaan gratifikasi Yan Anton, dipergunakan untuk sejumlah kebutuhan dan ada yang diserahkan ke beberapa pihak. Di antaranya pada 2016 sebesar ratusan juta rupiah sebagai tunjangan hari raya (THR) atau operasional ke sejumlah pejabat kepolisian di Polda Sumatera Selatan termasuk Kapolda saat itu.
Di hadapan majelis hakim, Yan Anton mengakui dan memastikan, uang diberikan untuk pengurusan kasus dan penangguhan penahanan atas tersangka mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemkab Banyuasin Merki Bakri. Kasus Merki ditangani oleh Polda Sumatera Selatan. Kasusnya terkait dugaan penipuan Rp 2,5 miliar yang dilaporkan Reza Pahlevi selaku staf pada Dinas Pendidikan Pemkab Banyuasin pada 2016.
ADVERTISEMENT
Perkara suap dan gratifikasi Yan Anton lebih diungkap KPK melalui OTT terhadap Yan Anton dkk pada Minggu, 4 September 2016. Yan bersama Rustami dan Umar ditangkap tim KPK pada Minggu di rumah dinas Bupati, setelah gelaran acara pengajian untuk keberangkatan Yan Anton dan istrinya guna menunaikan ibadah haji.
Menariknya, anggota tim KPK yang melakukan penangkapan ternyata 'menyamar' dengan ikut menjadi jamaah pengajian.
Contoh berikutnya yakni sehubungan dengan perbuatan pidana dilakukan saat dan setelah menunaikan ibadah haji. Perkara yang menjadi tamsil datang dari tubuh KPK sendiri. Perkara tersebut yakni pemerasan dalam jabatan selaku penyidik KPK yang dipekerjakan dari Polri, mantan terpidana AKP (purn) Suparman. Perkara Suparman terjadi pada 2006 silam.
ADVERTISEMENT
Mulanya Suparman berkenalan dengan Tintin Surtini selaku notaris yang diberi kuasa untuk pengurusan sertifikat, pajak, hingga penjualan aset tanah milik PT Industri Sandang (ISN, Persero) pada sekitar 2005. Saat itu Tintin diperiksa sebagai saksi oleh Suparman di kantor KPK Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, terkait saat itu kasus dugaan korupsi penyimpangan penjualan tanah dan bangunan PT ISN Unit Cipadung, Bandung.
Saat tahun berganti dan pelaksanaan ibadah haji 2006/1426 hijriah, ada 187.161 jemaah haji Indonesia. Dua di antaranya adalah Suparman dan Tintin. Saat masih proses pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi, Suparman dan Tintin sempat berkomunikasi via telepon seluler. Di antara isinya, kondisi Tintin dalam kasus dugaan korupsi tadi sudah gawat alias bisa jadi tersangka setiba Tintin nanti di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sekitar 11 hari setelah setelah Idul Adha dan masih di Arab Saudi, Suparman meminta agar Tintin membeli dan menyediakan 24 tasbih. Sepulang ke Indonesia, Tintin langsung ke rumah Suparman dengan membawa 24 tasbih yang sebelumnya dibeli atas permintaan Suparman.
Selain 24 tasbih, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) dengan putusan No. 95 K/Pid/2007, memastikan, Suparman terbukti secara dan meyakinkan menerima uang tunai Rp 413 juta dan USD 300 serta tiga buah ponsel. Suparman terbukti melakukan pemerasan dalam jabatannya sebagai penyidik KPK.
Perkara Suparman ditangani KPK sendiri. Sebelumnya Suparman ditangkap KPK ada Senin, 13 Maret 2006 di kediamannya, Perumahan Nuansa Mas Nomor H. 10, Bandung. Kini Suparman telah menjadi mantan terpidana.
ADVERTISEMENT
Suap Bersandi Alquran, Juz, dan Ma'had
Seperjalanan waktu para pelaku korupsi menggunakan juz, Alquran, hingga kata-kata islami pun menjadi pilihan sebagai sandi komunikasi korupsi. Sehubungan dengan ini sedikitnya ada dua perkara.
Pertama, suap Rp 240 juta untuk mempengaruhi pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) agar tidak melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait dugaan pencemaran limbah sawit di Danau Sembuluh Kabupaten Seruyan Provinsi Kalteng, tidak adanya izin Hak Guna Usaha (HGU), tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPH), dan belum ada plasma yang dilakukan oleh PT Binasawit Abadi Pratama.
Dalam kasus ini sudah ada tiga terpidana pemberi suap. Satu, Edy Saputra Suradja selaku Wakil Direktur Utama PT PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART Tbk) sekaligus Direktur/Managing Director PT Binasawit Abadi Pratama. Dua, Willy Agung Adipradhana ‎selaku Direktur Operasional Sinar Mas Wilayah Kalimantan Tengah IV, V, dan Gunungmas atau Chief Executive Officer (CEO) Perkebunan Sinar Mas 6A Kalimantan Tengah-Utara. Tiga, Teguh Dudy Syamsuri Zaldy alias Dudy‎ selaku selaku Department Head Document and License Perkebunan Sinar Mas untuk wilayah Kalimantan Tengah-Utara.
ADVERTISEMENT
Edy Saputra, Willy, dan Dudy terbukti memberikan suap ke empat terdakwa penerima suap yang saat ini sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Mereka yakni Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) sekaligus Sekretaris DPD PDI Perjuangan Provinsi Kalteng Borak Milton, Sekretaris Komisi B sekaligus Ketua Fraksi Partai Demokrat Punding LH Bangkan, anggota Komisi B sekaligus Ketua Fraksi PAN Edy Rosada, dan anggota Komisi B sekaligus Ketua Fraksi Partai Gerindra Arisavanah‎.
Edy Saputra, Willy, dan Dudy divonis dengan pidana penjara selama 1 tahun 8 bulan dan pidana denda sebesar Rp 100 juta subsider pidana kurungan selama 2 bulan pada Rabu, 13 Maret 2019. Ketiganya telah dieksekusi KPK ke Lapas Kelas 1 Tangerang pada Kamis, 28 Maret 2019.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya berdasarkan fakta-fakta persidangan, bahwa sebelum penyerahan uang Rp 240 juta dan terjadinya OTT oleh KPK, pada 26 Oktober 2018 menjelang siang pegawai PT Binasawit Abadi Pratama Windy Kurniawan mengambil uang tersebut di bagian Treasury.
Kemudian, Willy menghubungi Windy. Bahwa uang tersebut 'Alquran' akan diambil staf PT Binasawit Abadi Pratama Tirra Anastasia Kemur. Uang diambil Tirra karena Willy telah berkoordinasi dengan Edy Saputra.
Berikut petikan singkat transkip sadapan percakapan antara Willy dengan Windy pada 26 Oktober 2018.
Willy: Nanti Alquran-nya mau dikasih nanti siang, ya. He-eh. Windy: Iya. Willy: Gitu aja, Bu. Nanti si Tirra ke sana yah. Gitu. Windy: Bapak udah kasih arahan ke Tirra? Willy: Tirra depan saya. Ah, Ibu mau bicara ama Tirra enggak? Han, depan saya sekarang nih.
ADVERTISEMENT
Berikutnya Tirra atas persetujuan Edy Saputra dan perintah Dudy, membawa uang Rp 240 juta dalam tas jinjing guna bertemu dan menyerahkannya ke Edy Rosada dan Arisavanah di Pusat Nasi Bakar Food Court Sarinah, Jakarta Pusat. Ketiganya lantas diciduk tim KPK.
Perkara kedua, suap dengan total lebih Rp 11,5 miliar yang diterima terpidana Yudi Widiana selaku Wakil Ketua Komisi V DPR dari Fraksi PKS. Suap diterima Yudi secara bersama-sama dengan anggota DPRD Kota Bekasi dari Fraksi PKS sekaligus mantan tenaga honorer Fraksi PKS di DPR Muhammad Kurniawan Eka Nugraha alias Iwan, dari terpidana pemberi suap Komisaris Utama PT Cahayamas Perkasa So Kok Seng alias Tan Frenky Tanaya alias Aseng (divonis 4 tahun penjara).
ADVERTISEMENT
Suap tersebut terkait kepentingan dua kepentingan. Pertama, program aspirasi dan program optimalisasi Kementerian PUPR APBN 2015 dalam bentuk lima proyek di Provinsi Maluku dengan nilai Rp 137,8 miliar. Kedua, program aspirasi dalam APBN 2016 untuk tiga proyek senilai Rp 140,5 miliar di Provinsi Maluku. Khusus untuk proyek 2016, jatah Yudi memiliki kode 'P5'.
Dalam memuluskan aksi, Yudi dan Iwan menggunakan beberapa sandi. Di antaranya Rp 4 miliar campuran rupiah dan dollar Amerika Serikat bersandi 'juz campuran', 'liqo' sebagai perujuk pertemuan penyerahan uang, 'ikwah Ambon' bermakna Aseng, dan 'ma'had Jambi' tertuju ke Kantor Balai Sumber Daya Air (SDA) Provinsi Jambi.
Lihat petikan transkip short message service (SMS) antara Iwan dengan Yudi pada 14 Mei 2015.
ADVERTISEMENT
Iwan: semalam sdh liqo dengan asp ya Yudi: Naam, brp juz? Iwan: sekitar 4 juz lebih campuran Iwan: itu ikwah ambon yg selesaikan, masih ada minus juz yg agak susah kemarin, skrg tinggal tunggu yg mahad jambi Yudi: Naam.. Yg pasukn lili blm konek lg? Iwan: sdh respon bebeberapa..pekan depan coba dipertemukan lagi sisanya.
Yudi sebelumnya telah divonis 9 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 2 bulan kurungan, dan pidana tambahan pencabutan hak politik selama 5 tahun. Dia telah dieksekusi KPK ke Lapas Sukamiskin, Bandung pada Rabu, 19 April 2018.
Selain itu, pada Februari 2018 KPK mengumumkan penetapan Yudi sebagai tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai sebesar Rp 20 miliar. Dugaan TPPU Yudi berasal dari hasil penerimaan suap dan gratifikasi.
ADVERTISEMENT
Pada subjudul lain tulisan ini, penulis akan menghadirkan Alquran sebagai objek suap baik di tahap pengurusan pembahasan dan pengesahan anggaran maupun proyek pengadaannya di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag).
Dana Rekonstruksi Masjid Pascagempa Lombok
Pertengahan Januari 2019 Polres Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) membongkar kasus dugaan pemerasan dalam jabatan (Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tipikor) sehubungan dengan pembangunan masjid pascagempa Lombok dan sekitarnya pada 2018 lalu. Kasus terbongkar setelah lebih dulu dilakukan OTT.
Secara spesifik, dugaan pemerasan dalam jabatan terkait dengan pencairan dana bantuan rekonstruksi masjid pascagempa di Kabupaten Lombok Barat. Polres Mataram sudah menetapkan tiga orang tersangka yang disusul penahanan. Mereka yakni pegawai Kantor Kemenag Kabupaten Lombok Barat sekaligus KUA Kecamatan Gunung Sari Lalu Basuki Rahman (memeras dengan mendapat Rp 49 juta), Kepala Tata Usaha Kantor Kemenag Lombok Barat Ikbal (Rp 55 juta), dan Kasubbag Organisasi Tata Laksana Kepegawaian Bagian Tata Usaha Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag NTB Silmi (Rp 95 juta).
ADVERTISEMENT
Polres Mataram menduga ada sekitar 14 masjid yang menjadi objek pemerasan ketiga pelakunya. Dari temuan Polres, berdasarkan usulan Kanwil Kemenag NTB kemudian Kemenag menggelontorkan dana hibah Rp 6 miliar yang bersumber dari APBN untuk rekonstruksi 58 masjid dan tempat ibadah agama lain yang terdampak gempa.
Para pelaku diduga mematok dan memalak jatah berkisar 10-20 persen dari nilai bantuan sekitar Rp 50 juta hingga Rp 100 juta per masjid. Sebagai contoh, terhadap bantuan Rp 100 juta untuk rehabilitasi Masjid Nurul Huda kemudian Lalu Basuki Rahman memalak dan mendapat Rp 20 juta.
Penyidik Polres Mataram telah merampungkan berkas penyidikan dengan tersangka Lalu Basuki Rahman. Karenanya berkas, barang bukti, dan tersangka dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Mataram pada pekan pertama Februari 2019.
ADVERTISEMENT
First Travel dan Abu Tours
Perusahaa perjalanan atau agen travel umroh pun tidak lepas dari perbuatan pidana. Paling tidak ada dua kasus (perkara) yang menyita perhatian publik sepanjang 2017 hingga 2019, yakni PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel) dan PT Amanah Bersama Ummat (Abu Tours and Travel).
Pada Februari 2019, majelis hakim kasasi MA menolak kasasi yang diajukan tiga petinggi First Travel yakni Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraidah Hasibuan alias Kiki. Majelis meyakini ketiganya tetap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum secara bersama-sama dan berlanjut melakukan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHPidana) dan TPPU atas uang setoran calon jemaah umroh kurun 2015 hingga 2017. Total setoran uang calon jemaah dalam kurun tersebut mencapai Rp 1,319 triliun.
ADVERTISEMENT
Majelis memastikan, ketiganya telah menipu 63.310 orang calon jemaah dan uang yang dipakai untuk TPPU mencapai Rp 905 miliar. Andika tetap divonis 20 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider kurungan selama 8 bulan kurungan, Anniesa tetap 18 tahun penjara denda Rp 10 miliar subsider kurungan selama 8 bulan kurungan, dan Kiki tetap 15 tahun dengan pidana denda Rp 5 miliar subsider 8 bulan kurungan.
Majelis juga memutuskan, merampas seluruh aset hasil TPPU yang berjumlah sekitar 140 item. Selain aset berupa benda, Anniesa yang juga merupakan designer menggunakan uang jemaah untuk biaya fashion show baik di dalam negeri maupun luar negeri. Di antaranya New York Fashion Week Spring/Summer 2017.
ADVERTISEMENT
Di tingkat pertama, perkara ketiganya diadili di PN Depok. Saat masih tahap penyidikan, kasusnya ditangani Bareskrim Mabes Polri.
Beberapa hari sebelum putusan kasasi Andika dkk yakni Senin, 28 Januari 2019, majelis hakim PN Makassar, Sulawesi Selatan memvonis pendiri sekaligus pemilik dan CEO Abu Tours & Tavel Muhammad Hamzah Mamba dengan pidana penjara selama 20 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 1 tahun 4 bulan kurungan.
Hamzah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum secara bersama-sama dan berlanjut melakukan tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHPidana) dan TPPU. Majelis memutuskan berbagai aset hasil TPPU dirampas untuk negara.
Perbuatan pidana dilakukan atas dana Rp 1,2 triliun dari total Rp 1,8 triliun yang disetorkan calon jemaah umrah. Total jemaah yang gagal berangkat umrah akibat perbuatan Hamzad dkk yakni 96.976 orang untuk jadwal keberangkatan di 2018, 2019, dan 2020.
ADVERTISEMENT
Pihak yang bersama-sama dengan Hamzah yakni Nursyariah Mansyur (istri Hamzah Mamba), mantan Manajer Keuangan Abu Tours Muhammad Kasim, dan Komisaris Abu Tours Chaeruddin. Dua bulan setelah putusan Hamzah, majelis hakim PN Makassar membacakan putusan atas nama Nursyariah, Kasim, dan Chaeruddin.
Nursyariah dihukum dengan pidana 19 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider selama 1 tahun 2 bulan, Kasim 16 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider selama 1 tahun 2 bulan, dan Chaeruddin 14 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider selama 1 tahun 2 bulan.
Hamzah sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Makassar. Pada Selasa, 30 April 2019, majelis hakim banding memutuskan, memperkuat putusan yang dijatuhkan majelis hakim PN Semarang terhadap Hamzah. Jauh sebelumnya saat di tahap penyidikan, kasus Hamzah dkk ditangani Polda Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
Korupsi Haji Menteri Agama
Ini kisah tentang seorang menteri agama dan ketua umum partai politik berbasis umat Islam. Korelasi yang paling mengenaskan dan paling utama adalah korupsi penyelenggaraan ibadah haji kurun 2010-2013. Konteks penyelenggaraan ibadah haji ini mencakup penggunaan dana, pemondokan, Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) dan pendamping amirul haj, hingga penggunaan sisa kuota haji.
Suryadharma Ali. Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Kerugian negara dalam perkara korupsi penyelenggaraan ibadah haji mencapai Rp27.283.090.068 dan 17.967.405 riyal Arab Saudi. Pelaku yang telah divonis hingga berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan menjadi terpidana adalah Suryadharma Ali selaku Menteri Agama 2009-2014. Status tersangka Suryadharma yang saat itu juga merupakan ketua umum DPP PPP diumumkan KPK pada 22 Mei 2014.
Seperjalanan waktu, pada Senin, 22 April 2019, majelis hakim peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung menolak PK yang diajukan terpidana Suryadharma. Perkara Suryadharma inkracht setelah dia maupun KPK tidak mengajukan kasasi atas putusan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Karenanya Suryadharma tetap menjalani masa pidana selama 10 tahun, denda Rp 300 juta subsider kurungan selama 3 bulan, membayar uang pengganti sebesar jumlah kerugian negara subsider pidana penjara selama 2 tahun, dan pencabutan hak politik selama 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Majelis PK, sebagaimana juga majelis hakim banding dan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, meyakini Suryadharma telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tipikor dalam dua delik. Pertama, penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan ibadah haji 2010-2013 secara bersama-sama dengan beberapa pihak lain sehingga terjadi kerugian negara. Kedua, korupsi penggunaan dana operasional menteri (DOM) untuk berbagai kebutuhan dan kepentingan pribadi, keluarga, hingga ajudan.
Merujuk fakta-fakta persidangan dan pertimbangan putusan nomor: 93/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST atas nama Suryadharma, para pihak yang melakukan perbuatan pidana bersama-sama Suryadharma yakni mantan Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PPP yang kini Duta Besar RI untuk Maroko Hasrul Azwar, mantan staf khusus Suryadharma sekaligus Wakil Ketua Komisi IX DPR periode 2014-2019 dari Fraksi PPP Ermalena MHS, Wardhatul Asriyah (istri Suryadharma, kini anggota DPR dari Fraksi PPP periode 2014-2019), Mukhlisin (kini anggota DPR dari Fraksi PPP periode 2014-2019), dan Mulyanah alias Mulyanah Acim (kader PPP sekaligus ajudan istri Suryadharma)
ADVERTISEMENT
Bahkan Hasrul Azwar menerima dan memperoleh riyal Arab Saudi (30 riyal per jemaah) dari Salim Saleh Badegel karena Hasrul meloloskan majmuah (penyedia pemondokan) di Madinah dan 99.000 riyal Arab Saudi untuk pelolosan hotel transito di Jeddah.
Berikutnya pihak yang diperkaya juga yakni Mukhlisin sebesar 20.690 riyal Arab Saudi dan Nurul Iman Mustofa (anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Demokrat periode 2009-2014) sejumlah USD 100.000. Selain itu juga terungkap keterlibatan sejumlah anggota Komisi VIII DPR periode 2009-2014. Seperti Chaerun Nisa (Fraksi Partai Golkar), Zulkarnaen Djabar (Fraksi Partai Golkar), M Said Abdullah (Fraksi PDIP), dan Jazuli Juwaini (Fraksi PKS).
Untuk penyimpangan sisa kuota haji, digunakan dan diberikan Suryadharma kepada sejumlah pihak baik anggota Komisi VIII DPR periode 2009-2014, kolega Suryadharma, pejabat Kemenag, hingga pejabat lain di luar Kemenag termasuk kader dan pengurus PPP. Kemudian penunjukan PPIH diambil dari unsur-unsur Komisi VIII DPR periode 2009-2014, kolega Suryadharma, pejabat Kemenag, hingga pejabat lain di luar Kemenag termasuk kader dan pengurus PPP. Selanjutnya, pengadaan katering, transportasi, dan pemondokan juga ditunjuk secara nepotisme dari unsur-unsur pihak yang disebutkan tadi.
ADVERTISEMENT
Majelis hakim menyebutkan, ada lima pertimbangan memberatkan bagi Suryadharma. Pertama, sebagai menteri agama dan pembantu Presiden, Suryadharma tidak memberikan contoh perilaku yang baik dan malah berperilaku tidak pantas. Kedua, Suryadharma lebih mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan daripada kepentingan negara dan umat.
Ketiga, Suryadharma sebagai Menag tidak menjaga keluhuran Kemenag yang notabene sebagai kementerian yang mengurusi kemaslahatan umat beragama di Indonesia. Keempat, dengan tidak menyesal atas perbuatannya maka berarti Suryadharma tidak mengerti tugas dan fungsinya serta tidak mengerti peruntukkan biaya yang ada di Kemenag. Terakhir, akibat perbuatannya kerugian negara cukup besar.
Robin Hood, Gereja, dan Pertaubatan Eks Misdinar
Pria tua asal Alas Roban kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 13 Juli 1958 menarik nafas panjang sesaat setelah majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membacakan pertimbangan dan amar putusan terhadapnya pada Kamis, 17 Mei 2018. Dia divonis dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda R 300 juta subsider kurungan selama 3 bulan.
ADVERTISEMENT
Pria tua itu hadir dalam persidangan dengan mengenakan batik coklat lengan panjang dan celana hitam dengan membawa tas biru. Dan, yang harus diingat dia bukanlah orang sembarang.
Musababnya dia pernah menjabat beberapa jabatan penting di Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Di antaranya Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kemenhub kurun Mei 2016-November 2017; Staf Ahli Menhub Bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan periode 2015-2016; dan Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Ditjen Hubla 2015.
Pria tua itu adalah Antonius Tonny Budiono. Sesaat setelah sidang ditutup, raut wajahnya menunjukkan kesedihan. Beberapa detik kemudian dia tersenyum dan menjabat tangan para pengunjung sidang. Tidak lupa Tonny menghampiri para jurnalis dan melayani sejumlah pertanyaan yang diajukan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Dia menyampaikan rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam atas perbuatannya hingga divonis oleh majelis hakim. Karenanya Tonny juga berharap putusan terhadap dirinya bisa menjadi contoh bagi para koleganya di Kemenhub supaya tidak melakukan hal yang sama seperti Tonny.
"Bagi saya hukuman 5 tahun itu berat sebagai orang tua. Umur saya sudah hampir 60 tahun. Tapi itu lah konsekuensi yang harus saya terima, karena saya sudah melanggar hukum. Saya nggak tahu apakah nanti mendapat remisi. Yang penting saya dihukum dan akan saya jalani," ujar Tonny sesaat usai persidangan pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia mengungkapkan, memang dia menyampaikan ke majelis hakim bahwa dia menerima putusan tanpa berkonsultasi lebih dulu dengan tim penasihat hukum, sesaat sebelum sidang ditutup. Tonny punya alasan atas hal. Dia mengatakan, dirinya adalah orang beriman. Sebagai orang beriman, kalau memang salah, maka harus mengakui bersalah. Ditambah lagi tutur Tonny, dia adalah mantan misdinar di gereja Katolik.
ADVERTISEMENT
"Seperti di orang Katolik, di gereja itu ada sebuah ruangan untk mengaku dosa kepada pastur. Usai mengaku dosa, pasti pastur akan memberikan hukuman diminta membaca ayat di Alkitab berapa kali, Salam Maria berapa kali. Jadi saya juga mantan misdinar, jadi saya melakukan apa yang alami selama saya jadi misdinar. Apa yang saya lakukan ketika akan menjadi pastur, itu yang saya lakukan sekarang. Saya nggak ada alibi untuk menghindar karena memang saya salah," tegasnya.
Misdinar sering kali disebut pelayan imam di Altar gereja Katolik. Dalam istilah lain, Misdinar juga dikenal sebagai Putra Altar.
Tonny melanjutkan, dia tetap akan konsisten membuka secara terang perkaranya sebagaimana disampaikan dalam proses pemeriksaan di persidangan maupun saat kasusnya masih disidik KPK. Dia juga akan kooperatif dengan KPK seandainya ada kelanjutan atas perkaranya dengan adanya penyelidikan maupun penyidikan baru. Sikap kooperatif tersebut karena Tonny juga adalah mantan karatekawan.
ADVERTISEMENT
"Saya mantan karatekawan punya jiwa bushido. Saya jg ksatria dan itu tetap melekat ke diri saya. Kalau saya bicara 'A', ya 'A'. Begitu pun kalau berbicara B. Mudah-mudahan teman-teman saya di Kemenhub nggak melakukan hal yang sama seperti saya. Cukup sakit. Saya orang tua, sudah punya cucu. Untky hidup bersama dengan cucu aja nggak ada kesempatan," ucapnya.
Selain pidana badan dan denda, majelis hakim juga memutuskan tiga hal lain. Satu, mengembalikan ke Tonny uang Rp 242,569 juta yang merupakan honor perjalanan dinas dan penggantian tiket, 4.600 poundsterling yang merupakan biaya Tonny saat mengikuti sidang IMO dan sisa perjalanan ke Inggris, 11.212 ringgit Malaysia yang merupakan sisa perjalanan untuk persiapan sidang KTT di Malaysia, dan 50.000 dolar vietnam sisa perjalanan dinas almarhum istri Tonny.
ADVERTISEMENT
Dua, merampas untuk negara buku rekening berisi dan kartu ATM dengan saldo sisa Rp 1,15 miliar yang sebelumnya hasil suap dengan total Rp 2,3 miliar. Kemudian dirampas juga seluruh uang dalam beberapa rekening lain, uang-uang dalam belasan mata uang yang ada dalam 33 tas ransel, dan barang barang hasil, dengan jumlah keseluruhan mencapai Rp 21 miliar yang sebelumnya disita KPK.
Tiga, merampas untuk negara hampir 20 cincin dan batu akik berlapiskan emas putih dan emas kuning, sejumlah dompet, sejumlah pulpen, dan sekitar enam jam bermerek, beberapa telepon seluler, dan beberapa barang lainnya.
Majelis meyakini, Tonny selaku Dirjen Hubla terbukti menerima suap Rp 2,3 miliar dari terpidana pemberi suap Komisaris PT Adhiguna Keruktama Adi Putra Kurniawan alias Yong kie alias Yeyen (divonis 4 tahun penjara). Suap bersandi telor asin, kalender, hingga sarung ini terkait dengan dua proyek pekerjaan pengerukan alur pelayaran 2016 dan persetujuan penerbitan surat izin kerja keruk (SIKK).
ADVERTISEMENT
Kemudian Tonny selaku Staf Ahli Menhub dan Dirjen Hubla menerima gratifikasi dengan nilai total lebih Rp21 miliar. Gratifikasi yang diterima Tonny baik berupa uang tunai, uang melalui transfer rekening/ATM, maupun barang-barang bernilai ekonomis.
Para pemberi gratifikasi di antaranya mantan Menhub Ignasius Jonan (bolpoin merek Montblanc dan USD 20.000); pemilik PT Sena Sanjaya Makmur Sejahtera Sena Sanjaya Tanatakusma (USD 2.000) dan CEO PT Multiintegra Aloys Sutarto; Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA) sekaligus President and Chief Executive Officer PT Andhika Lines dan Wakil Ketua Umum Bidang Perhubungan Kadin Indonesia Carmelita Hartoto (Rp 30 juta dan USD 3.000); dan Dewan Penasihat Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Putut Sutopo (USD 2.000).
ADVERTISEMENT
Kemudian Direktur PT Cahputra Shipyard Edwin Nugraha (USD 3.000); Presiden Direktur PT Dumas Tanjung Perak Shipyard Yance Gunawan (USD 10.000); pemilik PT Brahma International Billyani Tania (USD 30.000); Bambang Bagus Trianggono dari PT Pundi Karya Sejahtera (Rp 300 juta), adik kandung terpidana mantan pemilik Permai Group M Nazaruddin, Muhajidin Nur Hasyim (satu buah handphone nokia); dan beberapa anak buah Tonny di lingkungan Ditjen Hubla maupun dari berbagai KSOP.
Kaitan penerimaan suap dan gratifikasi yang dilakukan Tonny terkait dengan puluhan pelabuhan yang masuk program dan proyek Tol Laut Indonesia yang digagas periode pemerintahan 2014-2019. Di antaranya Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, Jawa Tengah; Pelabuhan Pulang Pisau Kalimantan Tengah; Pelabuhan Samarinda Kalimantan Timur; Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur; Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta; Pelabuhan Merak Banten; Pelabuhan Murhum Bau-Bau, Sulawesi Tenggara; Pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan; Pelabuhan Teluk Bayur, Kota Padang, Sumatera Barat; Pelabuhan Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB); Pelabuhan Likupang, Sulawesi Utara; Pelabuhan Laut (Khusus) Batam, Kepulauan Riau; Pelabuhan (Teluk) Benoa, Bali; Pelabuhan Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara; Pelabuhan Lirang Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Maluku; dan Pelabuhan Sorong, Papua Barat.
ADVERTISEMENT
Saat menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa, Tonny menyampaikan beberapa hal. Pertama, suap maupun gratifikasi melalui modus pemberian uang dengan penyerahan ATM ke para pejabat Kemenhub kemudian ada transfer masuk dari para pengusaha sudah berlangsung lama di lingkungan Kemenhub. Pemberian suap dan gratifikasi sebagian besar mencakup izin-izin seperti surat izin kerja keruk (SIKK) maupun proyek-proyek pengadaan seperti pengerukan alur pelabuhan dan pengadaan alat navigasi/telekomunikasi pelabuhan.
"Kalau mau jujur, benar yang mulia (terjadi pengaturan dan pengalokasian proyek disertai bagi-bagi uang). Betul (tinggal KPK menindak). Saya khilaf yang mulia. Makanya saya mau bertobat," ungkap Tonny menanggapi pertanyaan anggota majelis hakim Mahfudin.
Kedua, Tonny membeberkan, kesemua uang yang dia terima kemudain ada yang sudah dipergunakan untuk sejumlah kepentingan baik untuk pribadi dan keluarga, diberikan kepada beberapa anak buah, disumbangkan untuk kegiatan sosial, dan diberikan ke lembaga lain. Untuk kegiatan sosial di antaranya guna pembangunan gereja rusak di Papua, membantu yatim piatu,‎ pembangunan sekolah rusak, pembangunan rumah sakit, hingga biaya berobat anak buahnya ‎yang sakit.
ADVERTISEMENT
Anggota JPU pada KPK Muh Takdir Suhan kaget dengan keterangan Tonny. Takdir lantas menceritakan sedikit tentang sosok legendaris Robin Hood yang ada dalam cerita rakyat Inggris (Britania Raya). Takdir lantas menyindir sikap 'dermawan' Tonny seperti sosok Robin Hood.
"Oh jadi bapak ini kayak Robin Hood zaman now ya," ujar Takdir.
‎Mendengar pernyataan bernada sindiran, Tonny hanya bisa tersenyum. Dia mengungkapkan, memang uang-uang yang dia terima dipakai untuk kegiatan sosial sebagaimana disampaikan sebelumnya. Kemudian Tonny meminta maaf.
"Saya mohon maaf, mudah-mudahan ini tidak terulang lagi ke depan. Ini jadi pembelajaran," kata Tonny.
Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, Tonny dieksekusi KPK untuk menjalani pidana badan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung pada Kamis, 31 Mei 2018.
ADVERTISEMENT
Tanah Pesantren di Yogyakarta
Kamis, 24 Mei 2018, sidang perdana pemeriksaan pendahuluan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana Anas Urbaningrum berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR sekaligus mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat ini, mengajukan PK karena beberapa alasan. Utamanya ada novum baru berupa kesaksian atau testimoni dari tiga orang secara tertulis dan dilegalisasi oleh notaris.
Kemudian, terdapat kekhilafan majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA). Bahkan pertimbangan yang digunakan majelis hakim sangat tidak tepat dalam menjatuhkan vonis. Selain itu perkara yang menimpa Anas karena Anas adalah korban politik internal Partai Demokrat dan penguasa saat itu.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya majelis hakim kasasi memvonis Anas dengan pidana penjara selama 15 tahun, denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan, uang pengganti Rp 57.592.330.580 dan USD 5.261.070 subsider pidana penjara selama 4 tahun, pencabutan hak politik. Putusan kasasi Anas dengan No. 1261 K/Pid.Sus/2015 atas nama Anas ditangani majelis yang terdiri atas Artidjo Alkostar selaku ketua dengan anggota MS Lumme dan Krisna Harahap.
Merujuk pada fakta-fakta persidangan hingga pertimbangan tuntutan, pertimbangan putusan tingkat pertama, pertimbangan putusan tingkat banding, dan pertimbangan putusan tingkat kasasi, Anas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan menerima suap terkait beberapa proyek pemerintah yang bersumber dari APBN dan TPPU.
Proyek-proyek pemerintah tersebut di antaranya pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat; pekerjaan peningkatan sarana dan prasarana Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga, Surabaya; dan proyek di beberapa universitas yang diampu Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).
ADVERTISEMENT
Perbuatan pencucian uang dari hasil uang korupsi yang dilakukan Anas beragam. Di antaranya pembelian rumah dan tanah. Untuk tanah misalnya, yakni sebidang tanah yang berada di kompleks dan dipergunakan Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 541/Mantrijeron seluas ± 7.670m² atas nama Attabik Ali yang terletak di Jalan DI Panjaitan, Mantrijeron, Yogyakarta.
Majelis memutuskan bahkan hingga tingkat kasasi tanah seluas ± 7.670m² tersebut dirampas untuk negara. Tetapi guna tetap terlaksananya fungsi sosial, pendidikan, keagamaan dan kepentingan umum, maka pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan kepada Yayasan Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Sekadar informasi Kiai Attabik Ali merupakan Pembina Yayasan Ali Maksum dan ayah kandung dari Athiyyah Laila. Sedangkan Athiyyah adalah istri dari Anas.
ADVERTISEMENT
Untuk pembelian tanah ini cukup menarik. Anas membantah pembeliannya berasal dari uang hasil kejahatan. Sedangkan Attabik menyebutkan tanah dibeli dari uang tabungan pribadi atas hasil usaha penjualan empat macam kamus, bukan uang dari Anas. Di antaranya dengan bentuk pencahan rupiah, pecahan dollar Amerika Serikat (USD), dan emas batangan. Uang pecahan USD itu dikumpulkan dengan cara membeli USD sejak 1989.
Tapi tim JPU pada KPK yang saat itu dipimpin Yudi Kristiani (sejak Maret 2018 menjabat Kepala Kejari Kota Salatiga, Jawa Tengah) berhasil membuktikan bahwa uang USD yang dipergunakan Attabik untuk pembelian tanah tersebut menggunakan mata uang USD keluaran tahun 2006.
Pembuktian tersebut bermula saat KPK mengirimkan surat elektronik ke United State Departement of Justice dan bertanya ihwal tahun terbit uang USD yang dipakai Attabik. Berdasarkan keterangan Mr Steve Kessler dan Office of Overseas Prosecutorial Development Assistance and Training (OPDAT) United State Departement of Justice, nomor seri uang dalam bentuk USD yang dimulai dengan huruf H sebagaimana nomor seri uang yang dipergunakan Attabik untuk transaksi pembayaran aset tanah di Mantrijeron, Yogyakarta adalah uang USD baru yang diterbitkan sejak tahun 2006.
ADVERTISEMENT
Kasus Anas mulai disidik KPK pada Februari 2013. Perkaranya pertama kali disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat, 30 Mei 2014.
Pembangunan Fiktif Gereja di Papua Barat
Senin, 9 Juli 2018, Direktorat Reskrimsus (Ditkrimsus) Polda Papua Barat melimpahkan berkas, barang bukti, dan tiga tersangka pengurusan pengajuan dan pencairan proposal pembangunan fiktif gereja Alfa Omega, Klagete, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat ke Kejaksaan Tinggi Papua melalui Kejaksaan Negeri Manokwari. Ketiganya berinisial MA, LJS, dan RHS.
Proposal pembangunan fiktif gereja Alfa Omega seolah-olah diajukan pada 2013 padahal diajukan pada 2014 dan anggarannya dikucurkan dari APBD tahun anggaran 2014. Anggaran dicairkan dengan mekanisme dana hibah melalui Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Papua Barat. Ditkrimsus Polda Papua Barat menduga ada penyimpangan dalam proses pengajuan proposal, pencairan, hingga penggunaan anggaran. Akibatnya negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp 1 miliar.
ADVERTISEMENT
MA berperan sebagai ketua panitia pembangunan fiktif gereja Alfa Omega dan merancang proposal pembangunan fiktif. LJS yang merupakan anak dari mantan anggota DPRD Papua Barat, berperan merencanakan program gereja dan menyusun proposal. RHS yang berstatus aparatur sipil negara (ASN) bertindak sebagai konseptor sekaligus pembuat proposal.
Doa dan Mistis dari Tanah Jawara
Doa adalah salah satu medium komunikasi transendental antara umat beragama dan penghayat kepercayaan dengan Tuhan. Doa adalah nafas hidup dan senjata pamungkas guna memohon segalanya kepada Tuhan. Doa dapat dipanjatkan secara sendiri maupun secara bersama (berjamaah). Di sisi berbeda, kadang kala seorang pemeluk agama juga melakukan tindakan atau perbuatan mistis.
Cerita tentang doa dan perbuatan mistis bisa dilihat dari sosok dan perkara perempuan kelahiran Ciomas, Serang, Banten, 16 Mei 1962. Perempuan ini berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya yakni Tubagus Chasan Sochib merupakan seorang jawara di tanah jawara, Banten.
ADVERTISEMENT
Perempuan ini juga dikenal sebagai gubernur perempuan pertama di Indonesia. Penyebutan ini memiliki titik pijak karena dia pernah menjabat sebagai Gubernur Banten 2007-2012 dan 2012-2014. Bahkan sebelum dia sempat menjadi Wakil Gubernur Banten (2002-2005) dan Plt Gubernur Banten (2005-2007). Dia adalah Ratu Atut Chosiyah.
Pada Kamis, 20 Juli 2017, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Ratu Atut Chosiyah dengan pidana penjara selama 5 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta subsider kurungan selama 3 bulan. Majelis menilai, Atut terbukti melakukan dua delik korupsi.
Pertama, korupsi pengusulan anggaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada APBD 2012 dan APBD-Perubahan 2012 serta pengaturan lelang dalam pengadaan alkes RS Rujukan Pemerintah Provinsi Banten pada Dinkes Provinsi Banten 2012. Dari korupsi tersebut negara dirugikan lebih dari Rp 79,789 miliar.
ADVERTISEMENT
Kedua, melakukan pemerasan dalam jabatan sebagai gubernur dengan jumlah sebesar Rp 495 juta. Uang pemerasan ini terkait dengan mengangkat dan memberhentikan kepala dinas di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten dengan meminta komitmen loyalitas.
Ilustrai berdoa. Foto: Shutterstock
Untuk korupsi pengadaan alkes Banten, majelis hakim meyakini, Atut melakukan perbuatan pidana bersama-sama dengan adik kandungnya yang juga suami Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Airin Rachmi Diany sekaligus Komisaris Utama PT Bali Pasific Pragama (BPP), Tb Chaeri Wardana Chasan alias Wawan (tersangka).
Majelis menegaskan, Atut telah memperkaya diri sebesar Rp 3,859 miliar dalam pelaksanaan pengadaan alkes. Selain itu Atut juga memperkaya orang lain. Di antaranya Wawan sebesar Rp 50.083.473.826; Yuni Astuti selaku Direktur PT Java Medika senilai Rp 23.396.358.223,85; mantan Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Banten Djadja Buddy Suhardja senilai Rp 240 juta; dokter Ajat Drajat Ahmad Putra selaku direktur Pelayanan RSUD Banten yang sekarang Kepala UPTD Balai Kesehatan Kerja Masyarakat sejumlah Rp 295 juta; Jana Sunawati selaku kepala Bidang Pelayanan RSUD Banten senilai Rp 134 juta; Rano Karno selaku Wakil Gubernur Banten sebesar Rp 700 juta; dan fasilitas berlibur ke Beijing dan Tiongkok berikut uang saku lebih Rp 1,659 miliar untuk pejabat Dinkes Pemprov Banten.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pertimbangan putusan atas nama Atut dan fakta-fakta persidangan, uang hasil pemerasan dipergunakan Atut untuk kepentingan zikir akbar dan istigasah lanjutan sebanyak 9 kali. Satu di antaranya dilakukan di Masjid Baitusolihin dekat rumah Atut di Jalan Bhayangkara Nomor 1, Cipocok Jaya, Serang Banten pada 7 Oktober 2013. Jamaah yang hadir ribuan orang dan membludak. Kegiatan ini dipimpin oleh ustad Haryono, pimpinan Majelis Dzikir Almagfiroh.
Zikir akbar dan istigasah di tanggal itu dilakukan setelah Wawan bersama beberapa orang ditangkap saat OTT dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. OTT KPK terjadi Rabu, 2 Oktober 2013 malam hingga Kamis, 3 Oktober dini hari.
OTT dan penetapan Wawan sebagai tersangka saat itu terkait pengurusan putusan sengketa pilkada Kabupaten Lebak 2013. Selain Wawan, mereka yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka terkait pengurusan putusan tersebut yakni M Akil Mochtar selaku hakim merangkap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat itu dan Susi Tur Andayani selaku advokat.
ADVERTISEMENT
Para saksi dari unsur Pemprov Banten termasuk para pemberi uang pemerasan hingga ustad memastikan, alasan pelaksanan zikir akbar dan istigasah pada 7 Oktober 2013 karena Atut mendapat musibah yakni Wawan ditangkap, ditetapkan sebagai tersangka, dan ditahan KPK.
Menurut Djaja Buddy Suhardja selaku Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Banten merangkap pejabat pengguna anggaran pengadaan alkes rumah sakit rujukan Pemprov Banten, istigasah dilakukan agar Atut bisa terhindar dari proses hukum di KPK terkait dengan kasus dugaan suap ke M Akil Mochtar.
Ustad Haryono mengatakan, Atut sebelum zikir dan istigasah pada 7 Oktober 2013 dilaksanakan memang Atut mengatakan sedang terkena musibah yakni adiknya terkena masalah di KPK. Akibatnya Atut gelisah, hatinya tidak tenteram, jarang makan, dan jarang keluar rumah. Karenanya Atut meminta Haryono menyelenggarakan dan memimpin zikir akbar dan istigasah.
ADVERTISEMENT
"Berzikir agar menjadi berkah, karena ada musibah adik beliau kena masalah dan mohon doa agar mendapat petunjuk dari Allah. Jadi semata-mata mengharapkan berkah Allah, bersama berzikir. Tidak hapal namanya (nama adik Atut)," ujar Haryono di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu, 10 Oktober 2017.
Untuk informasi, secara sederhana istigasah bermakna berdoa untuk meminta dan memohon perlindungan, keselamatan, dan pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala agar terhindar, terlepas, dan dihilangkan dari bala maupun kesulitan, kesusahan, hingga kemudaratan.
Haryono melanjutkan, selepas zikir akbar dan istigasah tadi, Atut menyampaikan ke Haryono bahwa alhamdulillah Atut terharu dan bahagia. Karenanya Atut meminta yang terbaik dan meminta Haryono tetap melanjutkan terus zikir dan doanya. Haryono setuju. Kemudian dia menggelar zikir dan istigasah lanjutan dengan dihadiri 1.000 jamaah.
ADVERTISEMENT
Menurut Haryono ada 9 kali zikir dan istigasah lanjutan. Untuk 9 kali istigasah inilah, Haryono menerima bayaran Rp 495 juta. Uang diantarkan Riza Martina dan Rendi Allanikika Pratiaksa selaku ajudan merangkap asisten Atut. Kegiatan dilakukan baik di halaman rumah Haryono maupun di Majelis Dzikir Almagfiroh. Untuk satu kegiatan zikir, per jamaah diberikan sedekah sebesar Rp 50.000.
Upaya 'menghadang' dan 'melawan' KPK yang dilakukan Atut tidak hanya dengan zikir akbar dan istigasah. Masih dalam persidangan perkara korupsi alkes dan pemerasan jabatan Atut, juga terungkap fakta lain. Beberapa hari setelah Atut dicegah untuk tidak bepergian ke luar negeri oleh KPK pada 4 Oktober 2013, Atut mengumpulkan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan kepala dinas se-Pemprov Banten di Apartemen Soomerset, Permata Hijau, Jakarta Selatan (Jaksel).
ADVERTISEMENT
Di apartemen ini, Atut hadir dengan didampingi seorang kuasa hukum berinisial N. Atut meminta janji dan sumpah setia yang lebih keren disebut bait kepada seluruh SKPD dan para kepala dinas. Salah satu isi bait yakni para pihak yang hadir bersumpah kepada Atut agar tidak berkhianat dan tidak akan membocorkan semua (dugaan) perbuatan Atut.
Selain perkara korupsi alkes Banten dan pemerasan dalam jabatan, Atut juga sebelumnya menjadi terpidana pemberi suap Rp 1 miliar untuk pengurusan putusan perkara sengketa pilkada Lebak 2013 di MK. Perbuatan Atut bersama-sama terpidana Tb Chaeri Wardana Chasan alias Wawan, terpidana pasangan calon bupati-calon wakil bupati Lebak Amir Hamzah dan Kasmin ke terpidana M Akil Mochtar melalui terpidana Susi Tur Andayani.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk Wawan, juga menjadi terpidana pemberi suap Rp 7,5 miliar ke M Akil Mochtar selaku hakim MK. Suap ini untuk pengurusan putusan sengket‎a Pilgub Banten 2011 yang ketika itu juga diikuti pasangan calon gubernur-calon wakil gubernur Atut-Rano Karno. Saat pilgub, Wawan menjabat sebagai ketua tim sukses pemenangan pasangan Atut-Rano.
Saat proses persidangan perkara suap pengurusan perkara sengketa Pilkada Lebak 2013 dengan terdakwa Atut berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta, beberapa jurnalis melihat kejadian aneh.
Setiap persidangan Atut berlangsung, ada orang berperawakan cukup tua yang berkomat-kamit. Orang ini duduk di bagian belakang pengunjung sidang sambil menatap tim JPU pada KPK. Seolah lelaki itu sedang merapalkan matra. Suaranya kurang jelas dan bukan dengan bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Status tersangka Atut dalam kasus dugaan suap pengurusan putusan perkara sengketa Pilkada Lebak 2013 di MK diumumkan KPK pada Selasa, 17 Desember 2013. Tiga hari berselang atau Jumat, 20 Desember, sekitar 200 orang ulama dan santri dari berbagai kelompok Islam di Banten yang tergabung dalam Forum Ulama dan Santri Banten (FUSB) mendatangi kantor KPK yang masih di gedung lama, Jalan HR Rasuna Said, Kavling C1, Kuningan, Jakarta Selatan.
Para ulama dan santri hadir dengan didampingi berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) asal Banten. Para ulama dan santri menggelar doa bersama untuk mengucap syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena KPK telah menetapkan Atut dan Wawan sebagai tersangka. Selain itu, doa juga dipanjatkan guna mendukung KPK agar tidak takut dalam menangani dan membongkar kasus-kasus Wawan dan Atut serta dinasti Atut dan kroninya.
ADVERTISEMENT
Jumat, 20 Desember itu juga KPK memeriksa Atut sebagai tersangka. Setelah pemeriksaan, KPK memutuskan langsung menahan Atut. Atut hadir memenuhi panggilan pemeriksaan dengan mengenakan jilbab hitam, kemeja lengan panjang bermotif batik dan bunga coklat, dan celana panjang pitam.
Seorang sumber internal KPK menceritakan sedikit tentang pemeriksaan perdana Atut di KPK. Dia lupa apakah pemeriksaan perdana Atut sebagai saksi atau tersangka. Yang bisa dia ingat adalah, waktu pertama kali Atut memasuki ruang pemeriksaan secara tiba-tiba aroma wangi bunga melati tercium.
Penyidik yang akan memeriksa Atut sedikit terperanjat. Sepersekian detik si penyidik mengucap astaghfirullahaladzim dan meneruskan dengan zikir dalam hati. Saat pemeriksaan berlangsung, listrik dalam ruangan pemeriksaan tiba-tiba padam. Si penyidik berketetapan hati dan memohon perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan terus berzikir. Pemeriksaan ditunda sementara untuk beberapa saat. Setelah listrik menyala kembali, pemeriksaan kemudian dilanjutkan.
ADVERTISEMENT
Cerita di atas memberikan pelajaran dan hikmah. Bahwa ketika doa dipanjatkan kepada Tuhan untuk menghindari dan terlepas dari (dugaan) perbuatan pidana yang dilakukan pemohon doa, maka tentu tidak mungkin dikabulkan. Dengan kata lain, jangan mengelabui dan menipu Tuhan dengan doa. Apalagi ditambah dengan tindakan dan perbuatan mistis.
Buku Pendidikan Agama Buddha
Pada Maret 2017, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memutus perkara nomor: 108/Pid.Sus-TPK/2016/PN Pn.Jkt.Pst atas nama Dasikin, mantan Direktur Jenderal Pembinaan Masyarakat (Dirjen Bimas) Buddha Kementerian Agama (Kemenag). Majelis memvonis Dasikin dengan pidana penjara selama 2 tahun, denda Rp 50 juta subsider kurungan selama 3 bulan, dan pidana uang pengganti Rp 250 juta yang dikurangkan dengan Rp 250 juta yang sebelumnya lebih dulu dikembalikan Dasikin.
ADVERTISEMENT
Majelis menilai, Dasikin selaku Sekretaris Ditjen Bimas Buddha sekaligus Pejabat Penerbit Surat Perintah Membayar telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tipikor secara bersama-sama dalam pengadaan buku pendidikan agama Buddha dan buku penunjang lainnya untuk tingkat PAUD, dasar, dan menengah sebanyak 200.000 eksemplar tahun anggaran 2012 pada Ditjen Bimas Buddha.
Anggaran pengadaan buku tersebut sebesar Rp 10 miliar dan bersumber dari APBN 2012. Saat kontrak, nilai yang ditandatangani sebesar Rp 7,2 miliar. Sedangkan nilai bersih pembayaran/pencairan ke perusahaan pemenang setelah dipotong pajak yakni Rp 7.101.818.182. Ternyata saat pengadaan berlangsung, nilai pembayaran 'hanya' Rp 2.381.200.000 sehingga terjadi kerugian negara sejumlah Rp 4.720.618.182.
Para pihak yang bersama-sama Dasikin yakni Edi Sriyanto selaku Direktur CV Karunia Jaya, Samson Sawangin M selaku Direktur Utama PT Samoa Raya, Agustinus Joko Wuryanto selaku Dirjen Bimas Buddha merangkap Kuasa Pengguna Anggaran, Heru Budi Santoso selaku Pejabat Pembuatan Komitmen (PPK) pada Ditjen Bimas Buddha, dan Wilton Nadaek selaku pengatur lelang dan Pelaksana Penyedia Barang Putus.
ADVERTISEMENT
Edi divonis empat tahun penjara, denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 149.118.182 subsider pidana penjara 6 bulan, di tingkat banding pada April 2016. Samson divonis 2 tahun penjara, denda Rp 50 juta subsider kurungan selama 2 bulan, dan uang pengganti Rp 35 juta, di tingkat banding pada April 2016.
Sebelumnya majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta juga telah memvonis Joko dengan pidana 6 tahun penjara, Heru 5 tahun penjara, dan Wilton 4,5 tahun penjara. Perkara Dasikin, Joko, dkk ini ditangani Kejaksaan Agung dari tahap penyidikan hingga penuntutan di persidangan.
Berdasarkan pertimbangan putusan para pihak di atas, ada dua tujuan terkait pengadaan buku pendidikan agama Buddha. Satu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama Buddha. Dua, memenuhi kebutuhan buku pendidikan agama Buddha bagi siswa dan guru agama Buddha.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan dua tujuan pengadaan buku pendidikan agama Buddha tersebut, kiranya patut dihadirkan Pasal 30 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bunyinya, "Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu Agama."
Korupsi Alquran Berpadu Anak Jin
Di masanya, perkara (kasus) korupsi ini sangat menggegerkan di Indonesia. Lihat saja objek yang dikorup, kementerian, dan sejumlah aktor. Pun ada banyak sandi komunikasi korupsi yang dipakai para pelakunya dan lekat dengan umat Islam di Tanah Air. Ditambah lagi sejak pengajuan, pembahasan, dan pengesahan anggaran serta proses tender hingga pelaksanaan proyek terjadi pengaturan yang rapih tertata.
ADVERTISEMENT
Perkara ini masyhur dengan korupsi Alquran dan terbagi dua bagian. Satu, suap pengurusan anggaran hingga pekerjaan pengadaan kitab suci Alquran di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarat Islam (Ditjen Bimas Islam) dari APBN Perubahan 2011 dan APBN Perubahan 2012 dengan total anggaran Rp 72 miliar. Dua, korupsi berupa penyalahgunaan kewenangan dalam pengurusan tender dan pemenangan kitab suci Alquran di direktorat yang sama dan tahun anggaran yang sama dengan untuk perolehan keuntungan dan kerugian negara sejumlah Rp 27,056 miliar.
Korupsi Alquran pun disatukan dengan korupsi pekerjaan pengadaan pengadaan laboratorium MTs 2011 di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kemenag dengan anggaran Rp31 miliar
Meski dua delik yang berbeda, tapi para pelaku yang divonis maupun tertuang dalam pertimbangan putusan orang itu-itu saja. Para pihak yang telah divonis dan sudah menjadi terpidana. Dalam delik suap ada mantan anggota Komisi VIII DPR sekaligus mantan Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Zulkarnaen Djabar, anak Zulkarnaen sekaligus mantan Sekretaris Jenderal Generasi Muda Musyarawah Kekeluargaan Gotong Royong (Gema MKGR) Dendy Prasetya Zulkarnaen Putra, dan mantan Ketua Umum Gema MKGR sekaligus mantan Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga DPP Partai Golkar Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq. Fahd juga mantan Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan, ruang lingkup Komisi VIII DPR di antaranya agama, sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dan bencana. Satu di antaranya mitra kerjanya adalah Kemenag.
Total suap yang diterima Zulkarnaen, Dendy, dan Fahd sejumlah Rp 14,39 miliar. Uang suap berasal dari Direktur PT Sinergi Pustaka Indonesia (SPI) merangkap pemilik PT Adhi Aksara Abadi Indonesia (A3I) Abdul Kadir Alaydrus dan Direktur Utama PT A31 Ali Djufrie.‎
Di korupsi berupa penyalahgunaan kewenangan dengan kerugian negara, baru atau hanya satu orang yakni mantan Pejabat Pembuat Komitmen sekaligus mantan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (UAIS) Ditjen Bimas Islam Ahmad Jauhari.
Dalam tuntutan dan putusan Jauhari, terbukti perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan Dirjen Bimas Islam saat itu Nasaruddin Umar, Sekretaris Ditjen Bimas Islam saat itu Abdul Karim, dan Ketua Tim Unit Layanan Pengadaan (ULP) saat itu Mashuri, (kini Wakil Menteri Agama), serta bersama-sama juga dengan Zulkarnaen, Fahd, Ali Djufrie, dan Abdul Kadir Alaydrus.
ADVERTISEMENT
Dari perbuatan Jauhari, Jauhari memperkaya diri sendiri sebesar Rp 100 juta dan USD 15.000. Memperkaya Mashuri sebesar Rp 50 juta dan USD5.000, PT Perkasa Jaya Abadi Nusantara (PJAN) milik keluarga Zulkarnaen dan Dendy sejumlah Rp 6,75 miliar, PT A3I sebesar Rp 5,832 miliar, dan PT SPI sejumlah Rp 21,233 miliar.
Merujuk fakta-fakta persidangan, pertimbangan tuntutan, hingga pertimbangan putusan para terpidana, ada sejumlah pihak lain yang terlibat dan dalam pengurusan selain nama-nama yang disebutkan di atas. Di antaranya mantan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar yang kini Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Priyo Budi Santoso, mantan Ketua Gema yang kini Ketua DPP Partai Berkarya Vasco Rusemy,
Direktur PT Karya Pemuda Mandiri sekaligus mantan pengurus Gema MKGR Syamsurachman, dan mantan Wakil Sekjen Gema MKGR Rizky Moelyoputro.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam persidangan Fahd, terungkap Priyo menerima Rp 3 miliar. Uang diantarkan Dendy, Vasco, dan Rizky ke rumah Priyo yang diterima adik Priyo bernama Agus. Sebelum penyerahan uang, Fahd berkomunikasi dengan Priyo melalui Blackberry Messenger (BBM). Fahd mengatakan ingin memberikan uang karena diperintahkan oleh 'bos' atau 'panglima' yakni Zulkarnaen. Tujuannya agar semakin kencang mengurusi anggaran proyek Alquran dan laboratorium MTs.
"Saya langsung BBM ke Priyo. Saya bilang, ada perintah dari panglima (Zulkarnaen Djabar) untuk antar ke Bapak. Kata Priyo, kasih ke saudara Agus, adik kandungnya. Sesuai catatan, khusus Priyo dikasih Rp 3 miliar diantarkan ke rumahnya sama Dendy, Vasco, dan Rizky," ujar Fahd saat pemeriksaan sebagai terdakwa di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Agustus 2017.
ADVERTISEMENT
Keterangan tentang uang Rp 3 miliar untuk Priyo sebelumnya juga disampaikan Syamsurachman dan Dendy. Seingat Syamsurachman, nama adik Priyo adalah Agus Suprianto. Sedangkan Priyo membantah terlibat apalagi menerima uang.
Bila dilihat di atas ada sandi 'bos' dan 'panglima'. Selain 'panglima', Fahd juga Zulkarnaen dengan sandi 'senior' dan 'ustaz'.
Zulkarnaen memiliki makna lain untuk sandi 'panglima'. Menurut Zulkarnaen, sandi ini untuk Prioyo bukan untuk Zulkarnaen. Zulkarnaen menegaskan, sandi 'panglima' untuk Priyo karena di partai dan DPR jabatan Priyo lebih tinggi dari Zulkarnaen. Ditambah lagi ada percakapan antara Zulkarnaen dan Fahd dengan mantan anggota Komisi VIII dari Fraksi PDIP yang kini anggota Komisi XI DPR M Said Abdullah. Percakapan tersadap KPK pada 26 Oktober 2011.
ADVERTISEMENT
Selain itu juga ditransaksikan dalam percakapan sejumlah sandi lain. Di antaranya, 'pengajian' guna menyamarkan lelang di Kemenag, 'santri-santri' bermakna para utusan Zulkarnaen yakni Fahd, Dendy, Vasco, dan Syamsurachman serta perusahaan yang dibawa atau disodorkan Zulkarnaen untuk memenangkan proyek, 'imam' dan 'kiai' untuk sejumlah pejabat Kemenag, hingga 'murtad' bermakna tidak menyimpang dari kesepakatan untuk memenangkan perusahaan.
Sebenarnya proses anggaran hingga tender proyek di Kemenag oleh Fahd, Dendy, dkk mendapat perlawanan dari beberapa pejabat/pegawai Kemenag. Tapi seorang pejabat di Kemenag sempat mengingatkan tim ULP dan PPK, bahwa kalau melawan Fahd, Dendy, dkk maka sama saja melawan 'anak jin'. Melawan mereka sama saja menggadaikan nyawa sendiri, keluarga, anak, dan istri.
Pada Kamis, 19 Oktober 2017, KPK mengeksekusi Fahd ke Lapas Cipinang untuk menjalani pidana penjara empat tahun. Pada 2015, KPK mengeksekusi Jauhari menjalani pidana badan 10 tahun. Sedangkan Zulkarnaen dan Dendy dieksekusi ke Lapas pada 2014 untuk menjalani pidana 15 tahun bagi Zulkarnaen dan 8 tahun bagi Dendy.
ADVERTISEMENT
Saat putusan dibacakan untuk Zulkarnaen, Dendy, Jauhari, dan Fahd ada sejumlah pertimbangan memberatkan yang patut kembali dihadirkan ke pembaca. Di antaranya merenggut hak sosial dan ekonomi masyarakat, menciderai dan mencoreng DPR dan Kemenag sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap dua lembaga tersebut, menciderai perasaaan umat Islam karena perbuatannya terkait dengan pengadaan Alquran, menghambat pemenuhan kebutuhan Alquran yang sangat masih dibutuhkan umat Islam, hingga dapat menghambat peningkatan ibadah, keimanan, dan ketakwaan umat Islam kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Kuburan sebagai Objek dan Lokasi Suap
Bagian lain yang terhubung dengan korupsi ranah sakral atau transendental dan tidak boleh dilupakan yaitu kuburan atau makam. Sebagai tempat menguburkan mayat, ternyata kuburan tidak membuat orang takut untuk menjadikannya sebagai objek korupsi atau tempat melakukan transaksi uang korupsi.
ADVERTISEMENT
Ada banyak contoh kasus korupsi terkait kuburan atau misalnya hanya dijadikan tempat transaksi. Pada tulisan ini, penulis sekadar menghadirkan tiga contoh.
Pertama, suap senilai hampir Rp 3 miliar untuk pengurusan izin prinsip pemanfaatan ruang (IPPR) dan izin mendirikan bangunan (IMB) serta pembangunan 22 tower atau menara telekomunikasi Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 2015. Suap diberikan ke Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode 2010-2015 dan 2016-2021.
Pada Kamis, 4 April 2019 majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya menjatuhkan vonis berbeda terhadap lima terdakwa pemberi suap.
Mereka yakni Permit and Regulatory Division Head PT Tower Bersama Infrastructure (Tower Bersama Group) Ockyanto, pengusaha sekaligus penyedia jasa Tower Bersama Group Nabiel Titawano, Direktur Operasional PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) Onggo Wijaya, Akhmad Subhan selaku Wakil Bupati Malang periode 2010-2015 sekaligus Direktur CV Central Manunggal, dan Direktur PT Sumawijaya sekaligus Direktur CV Sumajaya Citra Abadi Achmad Suhawi.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Mustofa lebih dulu divonis pada Selasa, 22 Januari 2019. Dia dihukum dengan pidana penjara selama 8 tahun, denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan, uang pengganti Rp 2,75 miliar subsider 1 tahun penjara, dan hak politik Mustofa juga dicabut selama 5 tahun.
Selama proses persidangan Mustofa dan lima terdakwa pemberi terungkap bahwa sebagian dari uang suap yakni Rp 600 juta diserahterimakan di area Kuburan di Dlanggu, Mojokerto pada pertengahan Juni 2015. Uang itu disodorkan oleh Moh Ali Kuncoro (pengusaha, perantara) ke Bambang Wahyuadi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto.
Ali Kuncoro menyebutkan, lokasi kuburan berjarak 10 km dari rumahnya di Jalan Maret A-07 BSP Regency, Mojokerto. Kuburan dipilih sebagai lokasi transaksi karena sebelumnya Ali diperintahkan oleh Bambang.
ADVERTISEMENT
"Uang Rp 600 saya serahkan ke Bambang Wahyuadi di kuburan, tempat pemakaman umum sekitar pukul 04.00 WIB atas perintah Bambang Wahyuadi," ujar Ali di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.
Bambang melakukan penerimaan uang tersebut karena jauh sebelumnya Bambang diperintahkan oleh Mustofa bahwa untuk izin tower maka harus ada fee untuk Mustofa. Uang harus diserahkan ke Nano Santoso Hudiarto alias Nono, orang kepercayaan Mustofa. Karenanya setelah menerima uang Rp 600 juta tadi dan uang-uang lainnya Bambang menyerahkan ke Mustofa melalui Nono.
Nahas bagi Mustofa, KPK juga menetapkannya sebagai tersangka penerima gratifikasi dan TPPU. KPK menduga Mustofa menerima total Rp 34 miliar dari hasil pemberian sejumlah rekanan pelaksana rekanan proyek-proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto, Dinas dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Camat serta kepala sekolah tingkat SD hingga SMA di lingkungan Kabupaten Mojokerto.
ADVERTISEMENT
Uang gratifikasi tersebut kemudian dipergunakan untuk dugaan TPPU. KPK pun telah menyita berupa 30 unit mobil, 2 unit sepeda motor, 5 unit jetski, uang tunai sekitar Rp 4,2 miliar, dan dokumen Musika Group yang terkait dengan Mustofa.
Perkara kedua, korupsi penjualan lahan kuburan yang seolah-olah dibuat tukar-guling lahan (ruilslag) dengan luas sekitar 1,1 hingga 1,2 hektare di Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat pada 2011. Pada 2015, Kejaksaan Negeri Bekasi menetapkan tiga orang sebagai tersangka yakni mantan Camat Bantargebang Nurtani, mantan Lurah Sumur Batu Sumyati, mantan Kepala Seksi Kerjasama Investasi Pemkot Bekasi Gatot Sutedja. Lokasi lahan kuburan berada di perumahan Bekasi Timur Regency, Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang. Kejari menduga ada kerugian negara sekitar Rp 4,1 miliar.
ADVERTISEMENT
Perkara nomor: 192/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg. atas nama Nurtani telah diputus majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung pada 13 April 2016. Nurtani dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun dan 5 bulan disertai denda sebesar Rp 50 juta subsider pidana kurungan selama 1 bulan.
Perkara ketiga dengan objek kuburan yaitu di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lebih tepatnya, suap pengurusan izin lokasi tanah pembangunan Tempat Pemakaman Bukan Umum (TPBU) seluas 100 hektare di Desa Antajaya, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor. Pemakaman itu diperuntukan bagi jenazah orang-orang yang berduit bersemayam sebelum menuju alam akhirat. Waktu kejadian pidana pada 2013. KPK memulainya lewat OTT.
Selasa, 16 April 2013 sore langit di Kabupaten Bogor gelap gulita disertai hujan lebat. Selasa itu tim gabungan penyelidik dan penyidik KPK bergerak. Sekitar jam 4 sore atau menjelang jam 5 sore, tim menciduk tujuh orang. Sehari berselang dengan kondisi cuaca yang sama tim membekuk dua orang lain.
ADVERTISEMENT
Para pihak yang diangkut di antaranya Sentot Susilo selaku Direktur Utama PT Gerindo Perkasa, Usep Jumenio selaku pegawai Pemka Bogor, Listo Wely Sabu selaku pegawai honorer Pemkab Bogor, Nana Supriatna selaku Direktur Operasional PT Gerindo Perkasa, dan Iyus Djuher selaku Ketua DPRD Kabupaten Bogor. Dari OTT pada Selasa sore tim KPK menyita uang sekitar Rp 800 juta.
Di Rabu yang sama, KPK lantas menetapkan Iyus, Usep, dan Listo sebagai tersangka penerima suap dari tersangka pemberi Sentot dan Nana. Belakangan KPK memastikan hingga kemudian tertuang dalam pertimbangan surat tuntutan dan pertimbangan putusan para pihak, uang yang sudah diserahterimakan mencapai Rp 3 miliar.
Empat bulan berselang dari OTT tadi, KPK menetapkan Syahrul Raja Sempurnajaya selaku Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan dan pengendali PT Gerindo Perkasa sebagai tersangka pemberi suap tanah liang lahat. Belakangan Syahrul juga ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan pemerasan dalam jabatannya selaku Kepala Bappebti serta TPPU. Untuk TPPU Syahrul terbukti sebesar Rp 5.106.569.730 dan USD 369.189.
ADVERTISEMENT
Usep, Listo, Sentot, Nana, dan Syahrul telah divonis dengan pidana penjara beragam pada 2013 dan 2014. Khusus untuk Syahrul, dipidana dengan penjara selama 8 tahun penjara, denda sebesar Rp 800 juta subsider 6 bulan kurungan, dan aset TPPU dirampas untuk negara pada Rabu, 12 November 2014. Hingga kini Syahrul masih menjadi terpidana.
Sedangkan Iyus telah almarhum. Saat menjalani penahanan di Lapas Kebon Waru, Bandung dan di sela proses persidangan, penyakit kangker hati Iyus kambuh pada Oktober 2013. KPK lantas memboyong Iyus menjalani perawatan di RS Dharmais, Jakarta sejak 9 Oktober. Rabu, 23 Oktober pagi, Iyus menghembuskan nafas terakhir. Dia meninggal dengan status terdakwa suap lahan kuburan.
Di bagian akhir seluruh isi tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal. Jika melihat berbagai perkara (kasus) korupsi di atas, maka ada satu pengibaratan yang bisa disodorkan. Tangan kanan personil (pelaku) sebagai pemeluk dan penganut agama menengadah ke Tuhan, sedangkan tangan kirinya mengeruk uang rakyat dan menerima uang korupsi. Penulis juga berpandangan, korupsi ranah sakral atau transendental - khususnya rumah ibadah, pelaksanaan ibadah, dan kitab suci - bagaikan para pelaku menggali kuburannya sendiri lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, tulisan ini bukan ingin menegasikan nilai-nilai ajaran agama atau kepercayaan. Juga bukan untuk menyudutkan agama atau kepercayaan tertentu, terkhusus yang ada di Indonesia. Tujuan dari tulisan ini agar kita semua sadar bahwa ruang dan ranah sakral serta terkait lingkungan agama telah dan masih terjadi korupsi. Mungkin juga akan terjadi. Siapa yang tahu?
Berikutnya tulisan ini juga ingin mengajak siapapun kita, terutama umat beragama dan penganut kepercayaan untuk bersama bergandengan tangan, bahu-membahu, dan menyingsingkan lengan baju untuk memcegah terjadinya korupsi. Bukankah dalam ajaran agama, terdapat larangan menerima, mengambil, dan menggunakan harta dari jalan yang batil?[]