Morat-marit dan Pemulihan Layanan BPJS Kesehatan

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
22 Maret 2020 5:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Putusan Mahkamah Agung atas perkara Nomor: 7 P/HUM/2020 seharusnya menjadi peringatan serius yang terakhir bagi kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan kesehatan bagi masyarakat Indonesia melalui Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan lebih khusus sehubungan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan tidak berlaku surut.
ADVERTISEMENT
Pembatalan Perpres tersebut atas dasar pertimbangan sosiologis, ekonomi, filosofis, dan yuridis. Pembatalan kenaikan iuran mulai berlaku sejak putusan dijatuhkan yakni pada 27 Februari 2020.
Jauh sebelum putusan MA tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berkali-kali mengingatkan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ihwal perbaikan pelaksanaan, tata kelola, sistem, efisiensi anggaran dan penyelamatan keuangan negara, evaluasi dan pembaharuan kelas rumah sakit rujukan, hingga proses pelaksanaan di lapangan.
Ke semuanya tertuang jelas dalam kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan pada BPJS Kesehatan disertai enam rekomendasi utama. Kajian ini dilaksanakan dan rampung pada tahun 2019. Seluruh hasil kajian dan rekomendasinya telah disampaikan pula pada tahun ke pemerintah melalui Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek selaku Menkes periode 2014-2019 dan Menkes setelahnya, Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Terawan Agus Putranto serta BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Ada empat latar belakang kajian tersebut dilakukan KPK melalui Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Satu, keterlambatan pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan (faskes). Dua, kolektabilitas iuran hanya ± 50 persen pada segmen peserta mandiri. Tiga, defisit yang semakin meningkat dengan contoh pada tahun 2018 mencapai Rp 12,2 triliun. Empat, dalam kegiatan piloting bersama penanganan fraud Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2018 ditemukan fraud dalam proses klaim.
Mesin Boros, Enam Rekomendasi
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan, kajian dilakukan KPK bertujuan untuk untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan dari sisi efisiensi pengeluaran BPJS Kesehatan pada tiga aspek. Satu, adverse selection dan moral hazard peserta mandiri. Pada aspek ini permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri atau Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) di mana sejumlah peserta menggunakan layanan JKN kemudian menunggak iuran. Pada tahun 2018, total defisit JKN mencapai Rp 12,2 triliun. Jumlah tersebut disebabkan oleh tunggakan iuran peserta mandiri sebesar Rp 5,6 Triliun atau sekitar 45 persen.
ADVERTISEMENT
Dua, over-payment karena kelas rumah sakit yang tidak sesuai hasil piloting pada tahun 2018. Tim KPK menemukan bahwa 4 dari 6 rumah sakit mengklaim tidak sesuai dengan kelasnya. Akibatnya terdapat over-payment sebesar Rp 33 miliar/tahun. Tiga, fraud di lapangan. Tim KPK menemukan masih terjadi fraud seperti up-coding dalam analisa, re-admisi phantom billing, unbundling, dan lain sebagainya.
Mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Jember ini menuturkan, KPK telah memberikan enam rekomendasi utama perbaikan ke Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk menutupi defisit hingga perbaikan sistem dan tata kelola. Menurut dia, kalau rekomendasi yang diberikan KPK tersebut benar-benar dijalankan secara benar, serius, dan maksimal oleh pemerintah lebih khusus Kemenkes dan BPJS Kesehatan, maka pasti tidak akan terjadi defisit BPJS Kesehatan secara berulang, kenaikan iuran peserta, hingga adanya putusan MA.
ADVERTISEMENT
"Kita sudah ingatkan bahwa ada kesalahan tata kelola dan sistem pada penyelenggaraan kesehatan BPJS Kesehatan. Kenapa kita masuk? Karena ini terkait dengan pelayanan dan kebutuhan seluruh masyarakat. Defisit yang terjadi selama ini juga bisa tertutupi. Apakah defisit Rp 12,2 triliun yang kita temukan menyangkut juga potensi kerugian negara? Iya, jelas. Karena iuran BPJS itu menggunakan, mengumpulkan uang rakyat dengan regulasi peraturan perundang-undangan, UU JKN, kemudian penggunaannya adalah penggunaan dalam perspektif uang publik, karena itu KPK masuk," tegas Ghufron saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Jumat malam, 13 Maret 2020.
Konferensi pers KPK pada Jumat malam, 13 Maret 2020. Foto: Sabir Laluhu.
Saat konferensi pers, Ghufron didampingi Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dan Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding.
ADVERTISEMENT
Ghufron melanjutkan, berdasarkan temuan KPK terungkap bahwa defisit JKN BPJS Kesehatan terjadi karena adanya permasalahan pada aspek penerimaan dan pengeluaran BPJS kesehatan. BPJS Kesehatan, tutur dia, tidak efektif melakukan pembatasan pengguna jasa. Bahkan pembatasan manfaat yang ada cakupannya terlalu sempit, tidak dapat menjadi instrumen untuk pengendalian biaya dalam pengelolaan JKN hingga memberikan dampak negatif.
Berikutnya tutur dia, KPK juga menemukan ratusan rumah sakit rujukan yang mengklaim pembayaran namun tidak sesuai dengan layanan dan fasilitas yang diberikan. Sebagai contoh, Ghufron mengungkapkan, pembayaran pasien yang dirawat di ruang perawatan kelas 3, tapi pihak RS mengklaim sebagai pembayaran ruang kelas 2.
"Sehingga pembayarannya jadi lebih tinggi. Selain itu ada juga petugas BPJS Kesehatan di lapangan bekerja sama dengan pihak rumah sakit untuk melakukan klaim yang tidak sesuai dengan kelasnya," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi Ghufron menggariskan, berdasarkan hasil kajian KPK maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukan menjadi solusi kekurangan defisit BPJS yang diklaim pada tahun 2018 sebesar Rp 12,2 triliun. Dia memiliki tamsil atas kesalahan tata kelola dan sistem penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Menurut Ghufron, permasalahan tersebut ibarat sebuah kendaraan.
"Misalnya punya mobil dengan bensin Rp 100.000 seharusnya sampai bandara, tapi tidak sampai. Itu (BPJS Kesehatan) bukan cuma bensinnya, jangan-jangan mesinnya atau tangki bocor. Ditambahkan (disuntikkan dana tambahan) Rp 12 triliun pun kemudian dinaikan iuran kelas A (kelas 1) Rp 80.000 lagi, tapi kalau mesinnya boros tetap akan kurang," ungkapnya.
Enam rekomendasi yang telah diberikan KPK yakni pertama, Kemenkes mempercepat penyusunan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) esensial dari target 80 jenis PNPK. Berdasarkan monitoring KPK, pada Juli 2019 baru tercapai 32 PNPK. Ketiadaaan PNPK akan mengakibatkan unnecessary treatment. Sebagai contoh, di USA unnecessary treatment bernilai sekitar 5-10 persen dari total dana klaim.
ADVERTISEMENT
Untuk Indonesia, misalnya kasus klaim katarak pada tahun 2018 dari total klaim sebesar Rp 2 triliun, maka basis diestimasi unnecessary treatment maksimal Rp 200 miliar. Pada tahun 2018 terdapat kasus unnecessary bedah caesar dan fisioterapi.
Kedua, opsi pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik akibat gaya hidup seperti jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Berdasarkan temuan KPK, total klaim penyakit katastropik adalah sebesar 30 persen dari total klaim pada tahun 2018 sebesar Rp 94 triliun, yaitu Rp 28 triliun. Dengan diatur PNPK penyakit katastropik, maka potensi unnecessary treatment sebesar 5-10 persen atau sebesar Rp 2,8 triliun dapat dikurangi.
Ketiga, mengakselerasi Coordination of Benefit (CoB) dengan Asuransi Kesehatan Swasta. Berdasarkan data Dewan Asuransi Indonesia, 1,7 persen penduduk Indonesia yang memiliki asuransi atau sekitar 4,5 juta orang atau sekitar 10 persen dari total peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) non-pemerintah dan PBPU yang berjumlah 45 juta peserta. Rinciannya PPU 15 juta peserta dan PBPU 30 juta peserta.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, total beban klaim PPU non-pemerintah dan PBPU tahun 2018 sebesar Rp 34,5 triliun. Dengan asumsi besaran CoB seperti yang diterapkan di Jepang dan Korea Selatan yaitu 20-30 persen, maka dapat mengalihkan beban klaim peserta PPU non-Pemerintah dan PBPU sebesar Rp 600 miliar hingga Rp 900 miliar kepada asuransi swasta.
Keempat, Kemenkes mengimplementasikan co-payment 10 persen sesuai Permenkes Nomor 51 tahun 2018. Dengan co-payment 10 persen, dari total tagihan peserta mandiri sebesar Rp 22 triliun di tahun 2018, maka akan terjadi penghematan sebesar Rp 2,2 triliun. Berikutnya jika best practice berupa praktik co-payment di Jepang dan Korea Selatan sebesar 20-30 persen diterapkan, maka potensi penghematan yang didapatkan senilai Rp 4 triliun hingga Rp 6 triliun.
ADVERTISEMENT
Kelima, evaluasi penetapan kelas rumah akit hasil piloting pada tahun 2018. Karena dengan perbandingan 4 dari 6 rumah sakit tidak sesuai kelas dan mengakibatkan pemborosan pembayaran klaim sebesar Rp 33 miliar/tahun. Berdasarkan hasil review Kemenkes tahun 2018 dari 7.000 RS rujukan, ditemukan 898 RS yang tidak sesuai kelas. Jika dilakukan perbaikan penetapan kelas, terdapat estimasi penghematan beban jaminan BPJS Kesehatan sebesar Rp 6,6 triliun.
“Jika dijumlahkan seluruh penghematan tadi, maka total minimum penghematan pengeluaran klaim sebesar Rp 12,2 triliun,” tegas Ghufron.
Rekomendasi terakhir yakni pemerintah termasuk Kemenkes harus menindaklanjuti verifikasi klaim untuk mengatasi fraud di lapangan pada tiga hal. Masing-masing administrasi berupaya pengembalian klaim, perdata berupa pemutusan kontrak kerja sama, dan pidana. Pidana dilakukan jika potensi dan tindakan fraud dilakukan berulang kali.
ADVERTISEMENT
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, seluruh hasil kajian KPK atas Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan pada BPJS Kesehatan disertai enam rekomendasi utama telah disampaikan KPK ke dua menteri kesehatan serta ke BPJS Kesehatan. Dua menteri kesehatan itu yakni Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek selaku Menkes periode 2014-2019 dan Menkes setelahnya, Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Terawan Agus Putranto.
Pertemuan Pimpinan KPK dan jajaran bersama Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek selaku Menkes periode 2014-2019 dan jajaran di Gedung Merah Putih KPK pada Rabu, 21 Agustus 2019. Pertemuan membahas tindaklanjut atas kajian perbaikan tata kelola di sektor kesehatan termasuk tata kelola DJS Kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Foto: Humas KPK.
Pahala mengatakan, dari enam rekomendasi KPK Kemenkes baru menindaklanjuti dua rekomendasi yakni penyusunan PNPK dan evaluasi penetapan kelas rumah sakit hasil piloting. Itu pun baru sebagian yang dijalankan Kemenkes. Dia mencontohkan, dari sekitar 7.000 RS rujukan di seluruh kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia, maka Kemenkes telah mengevaluasi dan meminta perbaikan klaim kelas RS rujukan.
ADVERTISEMENT
Misalnya dari yang sebelumnya A diubah menjadi B atau dari B menjadi D atau dari A menjadi C atau dari C menjadi D. Tapi Pahala menggariskan, perubahan tersebut tidak serta-merta bisa dijalankan oleh Kemenkes. Pasalnya dengan otonomi daerah maka perubahan dan perbaikan tersebut dijalankan oleh setiap Dinas Kesehatan (Dinkes).
"Dari 7000 RS, di-review langsung oleh Kemenkes, didapatkan 898 RS yang tidak sesuai dengan kelasnya. Jadi kelasnya itu di mark up, akibatnya tagihan klaimnya itu membengkak. Kita dorong Kemenkes untuk menindaklanjuti ini. Dari 898 itu bagaimana sekarang? Sudah sampai mana? Yang diturunin jadi berapa? Alasannya itu yang nurunin dinas (Dinkes). Tapi sudah di-review sama Kemenkes kan.Kalau overpayment yang rugi ya BPJS," tegas Pahala.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, review disertai penyesuaian kelas RS rujukan dilakukan Kemenkes pada Juli 2019 saat masih dipimpin Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek. Surat ditujukan Kemenkes ke seluruh gubernur, bupati, walikota, dan kepala dinas kesehatan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
"Kita estimasi paling tidak efisiensi Rp 6 triliun sampai Rp 6,6 triliun kita dapat kalau semua 898 rumah sakit itu diturunin (kelasnya)," ungkapnya.
Penulis memperoleh salinan surat Kementerian Kesehatan Nomor: HK.04.01/I/2963 tertanggal 15 Juli 2019 berperihal 'Rekomendasi Penyesuaian Kelas Rumah Sakit Hasil Reviu Kelas Rumah Sakit'. Surat ditujukan kepada para gubernur, para walikota/bupati, dan para kepala dinas kesehatan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Surat ini diteken Bambang Wibowo selaku Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes.
ADVERTISEMENT
Surat disertai 66 lampiran di antaranya daftar nama 898 rumah sakit di seluruh Indonesia yang harus menyesuaikan atau memperbaiki kelas rumah sakit. Kategori rumah sakit terbagi atas dua bagian. Satu, rumah sakit umum dan khusus berdasarkan provinsi sejumlah 615 rumah sakit. Dua, rumah sakit khusus yang memberikan pelayanan umum di luar kekhususannya sebanyak 283.
Surat ini ditembuskan ke Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menkes, Menteri Dalam Negeri, Menteri BUMN, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Menteri Pertahanan, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Sekretaris Jenderal Kemenkes, Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti, Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri, Kepala Pusat Kesehatan TNI, dan Kepala atau Direktur Rumah Sakit.
Penulis telah menghubungi Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris untuk mengonfirmasi hasil kajian KPK tentang tata kelola dana jaminan sosial kesehatan pada BPJS Kesehatan yang telah dilakukan KPK pada tahun 2019 beserta enam rekomendasi yang telah diberikan ke BPJS Kesehatan dan Kemenkes. Enam pertanyaan yang diajukan penulis tidak dijawab secara langsung oleh Fachmi. Pesan singkat via WhatsApp dari penulis dibalas Fachmi melalui ajudannya, Risal pada Rabu pagi, 18 Maret 2020. Risal mengatakan, pesan tersebut telah dilaporkan dan silakan menghubungi Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Annas Ma'aruf untuk konfirmasi lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Penulis lantas mengontak M Iqbal Annas Ma'aruf pada Rabu sore, 18 Maret 2020. Iqbal menyatakan, BPJS Kesehatan tentu memberikan apresiasi kepada KPK atas kajian tata kelola dana jaminan sosial kesehatan atau pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan beserta enam rekomendasinya. Iqbal mengungkapkan, kalau dilihat mayoritas rekomendasi dari KPK sebetulnya mengarah pada bagaimana ada tata kelola atau malah dalam bahasa lain ada regulasi yang kuat mengatur soal program JKN.
"Contoh misalkan tentang pendaftaran peserta. Pendaftaran peserta itu kan memang tidak ada dulu orang bebas mendaftar JKN hari ini daftar kemudian hari ini aktif. BPJS Kesehatan memberanikan diri membuat peraturan badan BPJS Kesehatan yang mengatur bahwa ada verifikasi pendaftaran yang 14 hari," ujar Iqbal.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, peraturan BPJS Kesehatan tersebut telah berlaku sejak sekitar Juni 2015. Saat pemberlakuan masa verifikasi pendaftaran peserta selama 14 hari ada banyak dinamika terjadi. Bahkan ada resistensi dari beberapa pihak termasuk dari DPR. Meski begitu BPJS Kesehatan tetap menjalankan ketentuan itu. Pemberlakuan waktu verifikasi atau masa tunggu tersebut, kata Iqbal, berdasarkan riset BPJS Kesehatan bekerjasama dengan universitas.
"Nah untuk BPJS Kesehatan, karena dianggap cukup efektif akhirnya diambil masuk dalam Perpres. Diambil, diakomodir Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan," paparnya.
Iqbal mengungkapkan, dia telah melihat tayangan konferensi pers pernyataan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron lebih khusus ihwal rekomendasi KPK sehubungan dengan opsi pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik atau penyakit akibat gaya hidup seperti jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal yang sebelumnya ditanggung BPJS Kesehatan. Tapi kata Iqbal, jangan lupa bahwa sebetulnya inisiasi awal tidak ada aturan yang dilanggar oleh BPJS Kesehatan menanggung peserta dengan penyakit katastropik.
ADVERTISEMENT
"Tidak ada aturan yang dilanggar oleh BPJS Kesehatan. Kan nggak ada nih orang datang, sakit kemudian ditolak. Kan harus dijamin. Ini termasuk kanker, stroke, dan lain sebagainya. Lihat, orang yang cuci darah sudah 10 tahun tiba-tiba pakai JKN, langsung aktif, langsung dijamin. Nggak bisa nunggu," tegasnya.
Ihwal cakupan jaminan bagi peserta, tutur Iqbal, ada contohnya di luar negeri. Misalnya ketika orang atau seseorang ingin menggunakan jaminan sosial kesehatan untuk persalinan, maka ada syarat harus terdaftar enam bulan sebelumnya dalam kepesertaan. Di Indonesia, hal seperti ini tidak diatur. Jadi sebetulnya, masalah kepesertaan dan manfaat yang harus didapatkan oleh peserta sebetulnya tergantung aturan.
"Tinggal membikin aturan yang kuat soal itu. Supaya orang mendaftar dalam kondisi tidak menggunakan kesempatan. Artinya belum membayar secara penuh kemudian mendapatkan layanan, habis itu nggak bayar lagi. Aturan itu harus peraturan pemerintah," bebernya.
ADVERTISEMENT
Iqbal menjelaskan, hakikatnya skema JKN memotong akses kesulitan finansial peserta. Atau dengan kata lain memproteksi finansial peserta. Dengan demikian, masyarakat jangan sampai dengan keuangan mepet tapi tidak mendapatkan layanan. Menurut dia, ketika ada masyarakat dengan keuangan yang tidak mencukupi kemudian jatuh sakit dengan penyakit berat pasti dia tidak produktif. Ketika harus membayari perawatan atas sakitnya dengan jumlah yang signifikan maka berpotensi kemudian tambah sakit.
"Maksud saya, itu filosofi dasar kenapa program ini (JKN dengan BPJS Kesehatan) tidak menggunakan semacam proteksi harus minimal kepesertaan 6 bulan dan lain-lain itu. Kalau dia swasta, it's oke, nggak masalah," imbuhnya.
Dia menggariskan, berdasarkan data pada BPJS Kesehatan contohnya kurun tahun 2016 hingga tahun 2018 sehubungan dengan ibu yang melahirkan dengan persalinan caesar. Sekitar 63 persen mendaftar satu bulan menjelang persalinan atau akan melahirkan anak. Dari angka itu, sekitar 43 persen tidak membayar sesudah mendapatkan layanan.
ADVERTISEMENT
"Itu tidak dibiarkan dan tetap ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Kami tidak bisa menolak. Kalau nggak menanggung, apa dasarnya. Kalau kami digugat malah kami kalah, karena nggak ada aturan main," katanya.
Iqbal mengklaim, pihaknya telah menjalankan rekomendasi KPK ihwal co-payment atau urun biaya untuk biaya tertentu. Urun biaya ini, ungkap dia, sebenarnya telah diatur di Undang-undang Nomor 40 Nomor 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Tetapi perangkat aturan yang mengatur urun biaya itu baru tersedia setelah ada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Bayar dalam Program Jaminan Kesehatan.
"Itu mengatur tentang urun biaya dan jenis-jenis biaya. Selisih biaya itu membatasi orang naik sembarangan, hanya satu tingkat di kelasnya. Dulu itu, orang suka menggunakan, dia iurannya kelas 3, ketika dapat layanan rumah sakit, dia minta VIP. Dan itu dulu sah. Lalu ada Permenkes 51," bebernya.
ADVERTISEMENT
Dia menegaskan, BPJS Kesehatan telah mengingatkan Kemenkes jauh sebelum Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 ada. Kepada Kemenkes, BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa ada sebagian besar orang mengambil iuran di kelas 3 supaya iuran bulanannya dan layanan medisnya tetap dapat. Tetapi kalau dia ingin kenyamanan lebih kemudian dia membayar sendiri.
"Itu akhirnya yang melandasi Permenkes 51 keluar, yang membatasi bahwa kelas 3 hanya naik ke kelas 2, kelas 2 hanya naik ke kelas 1, kelas 1 naik sampai VIP. Tidak bisa kelas 2 ke VIP, nggak bisa dengan aturan itu. Itu sudah dijalankan," ujarnya.
Pada Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 lanjut Iqbal, pun telah diatur mana saja diagnosis penyakit yang bisa diurunbiayakan. Tapi berdasarkan catatan BPJS Kesehatan, kata dia, sejak Permenkes tersebut terbit dan diteken pada 14 Desember 2018 hingga kini ternyata Kemenkes belum menyelesaikan item mana saja yang bisa diurunbiayakan.
ADVERTISEMENT
"Kalau itu sudah diatur, kami (BPJS Kesehatan) tinggal menjalankan, tinggal dimasukkan ke sistem kami saja," tegasnya.
Berdasarkan penelusuran penulis dan salinan Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 yang berhasil diunduh, Permenkes ini diteken oleh Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek selaku Menkes periode 2014-2019.
Iqbal membeberkan, kelanjutan atas evaluasi penetapan kelas rumah sakit pun terbentur di lapangan termasuk dari Kemenkes dan pihak rumah sakit. Dia menjelaskan, kewenangan penetapan kelas rumah sakit diatur di Permenkes. Di antaranya Permenkes Nomor 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit yang di dalamnya masuk ihwal penetapan kelas. Kemudian Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, sebagaimana telah diubah dengan Permenkes Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
ADVERTISEMENT
"Kan kewenangan mau menetapkan rumah sakit C dan D itu di Dinas Kesehatan kabupaten/kota, kalau dia B di Provinsi dengan supervisi kementerian kesehatan, kalau A kementerian kesehatan untuk izinnya, dan semuanya yang lain," ungkapnya.
Dia mengatakan, temuan KPK atas evaluasi penetapan kelas rumah sakit di mana hasil review Kemenkes mendapatkan 898 rumah sakit yang tidak sesuai kelas dan jika dilakukan perbaikan penetapan kelas maka terdapat estimasi penghematan beban jaminan BPJS Kesehatan sebesar Rp 6,6 triliun merupakan hasil faktual dari rumah sakit.
Maksud dan misalnya, tutur Iqbal, ada rumah sakit yang mengklaim kelas C tetapi setelah dicek dengan Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 ternyata tidak cocok, syarat yang kurang, dan lain-lain. Artinya jika BPJS Kesehatan ingin membayar klaim rumah sakit dengan faktual kelas C meski izin penetapannya ada B, maka harus diubah dulu izinnya atau sertifikasi kelas rumah sakit tersebut dan Permenkes tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
ADVERTISEMENT
"Nah kalau di kami kan nggak bisa juga kalau orang sudah menunjukkan surat izinnya penetapan kelasnya B, kan kami sudah konsul nih dengan Kemenkes, itu kelasnya ternyata C bisa nggak kami bayarnya C. Pihak Kemenkes menyatakan nggak bisa. Karena syarat hitam-putihnya masih B," ujar Iqbal.
Berdasarkan penelusuran penulis, Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 ditandatangani oleh Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek selaku Menkes periode 2014-2019 pada 18 Agustus 2014 serta diundangkan dan berlaku sejak 1 September 2014. Permenkes Nomor 30 Tahun 2019 diteken Nila pada 27 Agustus 2019 serta diundangkan dan berlaku sejak 26 September 2019.
Iqbal melanjutkan, pembayaran klaim rumah sakit yang berbeda dengan fakta sebenarnya kelas rumah sakit tersebut dengan izin yang dimiliki juga menjadi temuan BPKP. Pada tahun 2019, BPKP melakukan audit terhadap laporan keuangan BPJS Kesehatan tahun anggaran 2018. Dari audit tersebut, BPKP menemukan adanya inefisiensi pada pembayaran klaim rumah sakit atas penetapan kelas rumah sakit mencapai sekitar Rp 800-an miliar. Inefisiensi terjadi karena kelas rumah sakit yang tidak tepat.
ADVERTISEMENT
"Ketika kita mencoba menindaklanjuti dengan meminta pengembalian kelebihan bayar dari pihak rumah sakit, Kementerian Kesehatan malah mengeluarkan surat supaya BPJS Kesehatan jangan meminta kelebihan itu. Itu ada suratnya Menteri Kesehatan. Sama surat dari Menko PMK (Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan)," tegasnya.
Berdasarkan penelusuran lanjutan penulis dari berbagai pemberitaan media massa dan rilis dari BPJS Kesehatan, audit BPKP pada tahun 2019 dilakukan atas laporan keuangan BPJS Kesehatan tahun anggaran 2018. Dari audit tersebut BPKP menemukan adanya inefisiensi pada pembayaran klaim rumah sakit sejumlah Rp 819 miliar. Secara umum, audit ini mencakup BPJS Kesehatan dan seluruh kantor cabangnya di Indonesia serta seluruh fasilitas kesehatan (faskes) di seluruh Indonesia. Audit rampung pada April 2019.
ADVERTISEMENT
Seingat Iqbal, surat Menkes dan Menko PMK yang menuangkan agar BPJS Kesehatan tidak menagih kembali kelebihan bayar tadi ditandatangani sekitar akhir 2019. Padahal sebenarnya, dengan bersandar pada hasil audit BPKP maka BPJS Kesehatan telah menerbitkan surat pada Agustus 2019. Surat tersebut untuk tim atau petugas BPJS Kesehatan turun ke lapangan melakukan penagihan tersebut. Petugas BPJS Kesehatan sempat turun ke sejumlah rumah sakit.
"Kalau yang di BPKP itu 92 rumah sakit. Tapi setelah di-mapping ternyata kurang dari itu sih. Karena ada satu rumah sakit yang disebut dua kali. Kita menagihkan itu, tapi kan pihak rumah sakit menyatakan bahwa ada surat menteri yang menyatakan tidak perlu, nanti (kelas rumah sakit) diperbaiki," paparnya.
ADVERTISEMENT
Maksudnya, Iqbal menjelaskan, nanti setelah syarat kekurangan administrasi kelas rumah sakit diperbaiki kemudian ketika ada perpanjangan kerjasama dengan BPJS Kesehatan baru selanjutnya dilakukan pembayaran klaim yang disesuaikan dengan kelas yang baru.
Ilustrasi proses pelayanan di loket BPJS Kesehatan. Foto: BPJS Kesehatan.
Penulis melakukan penelusuran lebih lanjut dan mengunduh siaran pers Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) tertanggal 14 Agustus 2019 dari laman resmi Persi. Siaran pers ditandatangani Kuntjoro Adi Purjanto selaku Ketua Umum Persi. Persi menolak langkah BPJS Kesehatan melakukan penagihan dari rumah sakit atas kelebihan bayar dengan merujuk hasil audit BPKP.
Menurut Persi, permintaan pengembalian dana klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum dan landasan pemikiran yang tepat. Karenanya Persi mengimbau rumah sakit tidak perlu memenuhi permintaan pengembalian klaim tersebut ke BPJS Kesehatan akibat penurunan kelas ke rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Dalam siaran pers ini, Persi mencantumkan dua surat menteri sebagai rujukan. Satu, Surat Menteri Kesehatan Republik Indonesia ke Direktur Utama BPJS Kesehatan No JP.02.02/Menkes/443/2019 tanggal 13 Agustus 2019, perihal: pengembalian klaim di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). Pada angka 3a surat Menkes itu tertulis, BPKP tidak merekomendasikan pengembalian dana klaim oleh FKRTL secara retrospektif.
Dua, surat Kemenko PMK nomor B.1739/D.III/PSH.02/8/2019 tentang Penyampaian Hasil Rakor Terkait Tindak Lanjut Laporan Hasil Audit Tujuan Tertentu oleh BPKP, pada angka 2e mewajibkan BPJS Kesehatan agar menarik kembali surat kepada direktur rumah sakit atau FKRTL tentang potensi kelebihan bayar akibat ketidaksesuaian kelas rumah sakit.
Iqbal melanjutkan, penyelesaian defisit anggaran BPJS Kesehatan sejumlah Rp 12,2 triliun berhubungan erat juga dengan putusan MA pada 27 Februari 2020. Sebenarnya dia menjelaskan, putusan MA itu hanya sehubungan dengan pembatalan kenaikan iuran peserta mandiri saja. Pihaknya harus menerima salinan putusan itu kemudian dipelajari lebih dulu. Di sisi lain, sebelum ada putusan MA sebenarnya BPJS Kesehatan telah memprediksi pada November 2020 akan mencukupi dan mengatasi defisit, berdasarkan uang yang BPJS Kesehatan akan kumpulkan dari seluruh iuran.
ADVERTISEMENT
"Jadi memang akan berdampak. Contoh hanya mandiri saja yang dibatalkan kenaikannya, secara total akan mempengaruhi jumlah yang kami terima. Estimasi 2020 itu cukup untuk melakukan pembayaran ke rumah sakit. Tapi gara-gara ini (putusan MA) akhirnya nggak bisa. Geser, defisitnya take over jadi 2021. Karena ada pergerakan putusan ini akhirnya gerak, akhirnya yang kita prediksi cukup, jadi nggak cukup," katanya.
Dia menambahkan, BPJS Kesehatan ingin menyampaikan bahwa dengan putusan MA tersebut tidak akan ada reduksi atau pengurangan soal manfaat jaminan pelayanan kepada peserta. Artinya manfaat yang diterima sesuai dengan aturan main yang berlaku yakni sesuai dengan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
BPJS Kesehatan pun tetap dan terus berkomitmen untuk melakukan peningkatan dan perbaikan pelayanan. Iqbal menandaskan, pada tahun 2020 BPJS Kesehatan menerapkan tahun 2020 sebagai tahun pelayanan dan kepuasan peserta. Ada 10 fokus komitmen BPJS Kesehatan. Salah satu contohnya untuk peserta dan pasien HD atau cuci darah. Pasien cuci darah ini yang menggugat ke MA atas Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan sehubungan dengan kenaikan iuran.
ADVERTISEMENT
"Jadi pasien yang menggugat itu, dengan simplifikasi sekarang dia nggak harus ke rumah sakit, ke FKTP atau Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama untuk mengupdate rujukan. Tapi cukup dengan melakukan finger print," imbuhnya.
Perbaikan mekanisme pembaharuan rujukan ini pun berlaku bagi peserta atau pasien lainnya. Peserta hanya perlu datang ke FKTP menunjukkan kartu peserta kemudian melakukan finger print. Artinya prosedur yang panjang sudah dihilangkan.
“Kalau nggak ada finger print itu kan orangnya nggak nampak," katanya.
Fokus komitmen berikutnya yakni pemberlakuan antrian online. BPJS Kesehatan membuka antrian online supaya orang bisa lebih mudah dan tidak perlu harus menunggu di rumah sakit lama-lama. Karena kalau terlalu lama menunggu maka bisa jadi akan terpapar penyakit.
ADVERTISEMENT
"Yang ketiga, komitmen pelayanan untuk kesediaan tempat tidur. Rumah sakit bridging dengan sistem BPJS Kesehatan untuk melihat ruangan mana saja yang sudah penuh, ruangan mana yang kosong sehingga orang bisa masuk di situ," ucap Iqbal.
Keengganan Terawan
Pahala Nainggolan menceritakan, penyampaian hasil kajian dan seluruh rekomendasi serta pembahasannya bersama Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Terawan Agus Putranto terjadi pada November 2019 atau dua pekan setelah Terawan resmi dilantik menjadi Menkes. Pembahasan tersebut terjadi saat pertemuan di gedung kantor Kemenkes, Jalan HR Rasuna Said Blok X 5 Kavling 4-9, Kuningan, Jakarta Selatan.
Pahala hadir bersama Wakil Ketua KPK saat itu Thony Saut Ditumpangi dan Direktur Litbang KPK Wawan Wardiana. Seingat Pahala, waktu itu Terawan didampingi beberapa staf khusus, Sekretaris Jenderal Kemenkes, para direktur jenderal, dan para direktur.
ADVERTISEMENT
"Mungkin ya setelah dibatalin oleh MA, baru dia (Terawan) mikir lagi. Sebenarnya waktu ketemu dengan Pak Terawan bukan cuman tentang ini saja, tapi tentang pencegahan korupsi sektor kesehatan yang dilakukan KPK sejak tahun 2013. Kita ingatkan, bahwa KPK tuh dari tahun 2014 ada rekomendasinya loh. Ada yang sudah dijalankan, beberapa belum," beber Pahala.
Seorang pejabat yang mengetahui pertemuan KPK dengan Terawan Agus Putranto dan jajaran pada November 2019, menceritakan, pertemuan terjadi selama beberapa jam. Saat pertemuan Thony Saut Situmorang, Pahala Nainggolan, dan Wawan Wardiana memaparkan sejumlah hasil kajian KPK atas sektor kesehatan yang telah dilakukan KPK sejak tahun 2013 beserta berbagai rekomendasi yang telah diberikan ke Kemenkes.
Pejabat ini mengungkapkan, hasil kajian dan rekomendasi dari KPK telah diketahui bagi para pejabat Kemenkes selain Terawan dan staf khusus yang baru. Karenanya paparan KPK lebih ditujukan ke Terawan. Saat pertemuan berlangsung, KPK mengonfirmasi dan menagih keseriusan Kemenkes menindaklanjuti berbagai rekomendasi termasuk ihwal tata kelola DJS Kesehatan pada BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Saat pertemuan tersebut, sempat terjadi debat terbuka dan panjang antara Pahala dengan Terawan ihwal hasil kajian dan enam rekomendasi KPK terkait tata kelola DJS Kesehatan pada BPJS Kesehatan. Debat berlangsung sekitar satu jam. Terawan menunjukkan sikap resisten dan seolah enggan menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
Salah satu alasan yang disodorkan Terawan waktu itu, Terawan mengaku pernah menjadi direktur utama RSPAD Gatot Soebroto. Terawan berargumentasi RSPAD pernah mengalami kerugian sekitar Rp 100 miliar, tapi saat Terawan menjadi direktur utama kemudian RSPAD berhasil meraih untung sekitar Rp 1 triliun dalam satu tahun.
Saat itu juga, menurut pejabat ini, Pahala menyampaikan ke Terawan bahwa ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Di dalam Perpres, Pahala mengungkapkan, penetapan iuran peserta hingga pelayanan kesehatan rujukan, pelayanan obat dan alat kesehatan merupakan tugas Menkes yang di antaranya ditetapkan dengan keputusan menteri.
ADVERTISEMENT
"Pak Terawan malah bilang, gampang itu. Nanti saya bicara dengan presiden," ungkap pejabat tersebut.
Pahala Nainggolan yang dikonfirmasi atas cerita tersebut tidak mau berkomentar banyak. Dia mengungkapkan, saat pertemuan tersebut memang sempat terjadi 'perdebatan' panjang ihwal efek yang bisa dirasakan dan dihasilkan jika rekomendasi-rekomendasi KPK dijalankan Kemenkes, termasuk tentang tata kelola DJS Kesehatan pada BPJS Kesehatan. Akhirnya KPK menerangkan secara utuh dan detail.
“Mungkin karena waktu itu beliau (Terawan) baru dilantik, mungkin kita terlalu cepat datang. Kalau kita datang setelah putusan MA, mungkin lain ceritanya,” katanya.
Pahala membeberkan, pihaknya belum berpikir untuk menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena Kemenkes dan Menkes Terawan belum menindaklanjuti secara utuh enam rekomendasi yang telah disampaikan KPK. Pahala mengungkapkan, memang KPK sering kali menyurati presiden sehubungan dengan hasil kajian dan rekomendasi. Tapi biasanya, tutur Pahala, langkah itu diambil KPK jika hasil kajian dan rekomendasi yang diberikan menyangkut dengan berbagai kementerian dan lembaga.
ADVERTISEMENT
"Kalau rekomendasi yang berat itu kalau multi instansi, kementerian, dan lembaga, itu kita tujukan langsung ke presiden. Kalau yang begini, pasti duluan ke menteri kesehatan. Nah untuk semua rekomendasi yang kita berikan, kita selalu pantau setiap enam bulan sekali," ujarnya.
Nurul Ghufron menggariskan, hasil kajian dan enam rekomendasi tentang tata kelola DJS Kesehatan pada BPJS Kesehatan tentu tidak bisa serta merta langsung disampaikan ke Presiden Jokowi. Menurut Ghufron, Kemenkes merupakan bagian dari pemerintah dan Menkes merupakan 'anak buah' presiden. Artinya ketiga hasil kajian dan rekomendasi disampaikan ke Kemenkes dan Menkes maka langkah dan tindakan yang diambil Kemenkes dan Menkes atas rekomendasi dari KPK merupakan langkah dan tindakan pemerintah.
"Apakah ke Pak Jokowi? Kementerian Kesehatan adalah bagian dari pemerintah, karena itu kami sampaikan ke Kemenkes. Kalau langsung ke Pak Jokowi, terlalu tinggi nanti," katanya.
ADVERTISEMENT
Pidana untuk Shock Therapy
Nurul Ghufron menandaskan, pencegahan korupsi atas DJS Kesehatan yang diselenggarakan pemerintah melalui BPJS Kesehatan disertai sejumlah temuan KPK bisa saja akan berujung pada bidang penindakan. Meski begitu hingga kini KPK belum melakukan penyelidikan ihwal dugaan korupsi penyelenggaran DJS Kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Tapi tutur dia, dugaan pidana lain yang terungkap semestinya bisa ditindaklanjuti oleh penegak hukum lain.
"Relasinya setelah dilakukan pencegahan, kalau memang itu ada unsur-unsur tindak pidana korupsi, misalnya dalam penggunaan obat tertentu atau pencairan klaim ada suap, tentu kita akan tindaklanjuti. Sebaliknya juga, jika ada penindakan nanti maka kami akan lakukan pencegahan lagi, kami berintegrasi," ungkap Ghufron.
Dia membeberkan, potensi terjadi penyimpangan atau kongkalikong dalam proses penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan pada BPJS Kesehatan memang sangat berpotensi terjadi. Kongkalikong ini bisa mencakup juga penyediaan obat untuk peserta BPJS Kesehatan saat menjalani pelayanan di faskes. Dia memaparkan, kalau di dalamnya terdapat kongkalikong disertai unsur-unsur pidana korupsi misalnya antara BPJS Kesehatan dengan farmasi atau penyedia obat untuk penunjukan obat tertentu atau penunjukan dokter tertentu pada rumah sakit pemerintah, maka KPK tetap bisa masuk.
ADVERTISEMENT
"Itu kalau memang untuk penunjukan tersebut ada di dalamnya memberikan keuntungan pada pihak tertentu karena ada suap, karena ada gratifikasi, ataupun karena tindakan melawan hukum yang lain yang kemudian menguntungkan pihak lain, maka itu memungkinkan akan tetap kami tindaklanjuti," ujarnya.
Pahala Nainggolan mengatakan, mungkin saja ada pihak tertentu yang masih menanyakan alasan kenapa KPK ngotot masuk pada sektor kesehatan termasuk BPJS Kesehatan dengan segala defisitnya. Menurut Pahala, defisit tersebut telah membuka ruang yang sangat lebar terjadinya dugaan korupsi.
"Defisit ini benar-benar membuka ruang dan peluang yang sangat lebar di lapangan. Bayangkan kalau uang cuman dua tapi tagihan ada empat," ujar Pahala.
Atas kondisi tagihan klaim seperti itu, maka irisan paling utama adalah petugas verifikasi atau petugas BPJS di lapangan. Pada era sebelumnya, petugas tersebut akan menangani yang lebih dulu mengajukan klaim tagihan. Tapi sekarang sistemnya benar-benar hancur dengan mengutamakan rumah sakit swasta. Bahkan tagihannya boleh digadaikan lebih dulu ke bank dan nanti dibayarkan oleh BPJS Kesehatan tiga bulan kemudian.
ADVERTISEMENT
"Sistem pembayaran yang dari nggak ada uang, lantas tagihan menjadi lebih besar itu benar-benar membuka peluang lebar buat terjadinya korupsi di lapangan. Misalnya ada yang klaim tagihan rumah sakit Rp 100 miliar sebulan, petugasnya (petugas BPJS Kesehatan) bisa saja mendahulukan ini, kalau kurang misalnya kemudian katakanlah dikasi diskon dengan nanti dia (petugas) menerima fee. Jadi di tingkat operator, ini bahaya, situasi begini," ungkapnya.
Mantan auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ini menambahkan, sehubungan dengan fraud atas verifikasi klaim maka sebelumnya KPK juga telah duduk bersama Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Fraud Sistem JKN. Karenanya dia menggariskan, pemerintah seyogyanya membawa ke ranah pidana pihak-pihak yang diduga bermain dan masih melakukan fraud untuk mendapatkan keuntungan. Upaya ini tutur dia, agar menjadi pembelajaran sekaligus shock therapy bagi pihak lain maupun RS rujukan.
ADVERTISEMENT
"Untuk pidana, dikenakan saja satu atau dua biar kapok juga," ucap Pahala.
M Iqbal Annas Ma'aruf mengatakan, pihaknya mendukung penuh rekomendasi KPK berupa menindaklanjuti verifikasi klaim untuk mengatasi fraud di lapangan berupa perdata dengan pemutusan kontrak kerja sama dan penerapan pidana. Dia mengungkapkan, kalau memang bisa dibuktikan bahwa ada oknum petugas BPJS Kesehatan yang melakukan tindakan tidak terpuji berupa menerima fee saat pengurusan pembayaran klaim rumah sakit, maka bisa dilaporkan ke BPJS Kesehatan atau penegak hukum terkait.
"Kami punya tata kelola di internal sendiri, bagaimana kami men-treatment (cara memperlakukan) orang BPJS Kesehatan yang tidak comply (mematuhi) terhadap aturan main tata kelola BPJS Kesehatan," tegas Iqbal.
Di sisi lain sehubungan dengan coding atau orang rumah sakit yang sengaja dengan menyeting klaimnya supaya tagihannya menjadi lebih besar dan lebih tinggi, ujar Iqbal, maka perlu dilihat juga Permenkes. Biasanya untuk kejadian seperti itu maka diperbaiki pada dokumentasi penyertaan dan semua arsipnya dilengkapi.
ADVERTISEMENT
"Jadi memang masalah ini lebih pas ditanyakan di Kementerian Kesehatan. Karena apa? Karena kalau aturan soal fraud dan lain-lain itu kan terakhir ada Permenkes Nomor 36 Tahun 2015 yang di-update dengan Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan Fraud untuk Program JKN," tandasnya.
Berdasarkan penelusuran penulis dan hasil unduhan, Permenkes yang dimaksud Iqbal yakni Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) serta Pengenaan Sanksi Administrasi terhadap Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan. Permenkes ini diteken oleh Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek selaku Menkes periode 2014-2019 pada 18 Juli 2019 serta diundangkan dan berlaku sejak 31 Juli 2019.
Kepala LKPP Roni Dwi Susanto menegaskan, pihaknya mengapresiasi hasil kajian KPK atas sektor kesehatan sejak tahun 2013 hingga tahun 2019 termasuk tentang tata kelola DJS kesehatan pada BPJS Kesehatan beserta seluruh rekomendasi yang telah disampaikan. Roni mengungkapkan, jika ada temuan KPK ihwal berulangnya fraud pada verifikasi klaim rumah sakit maka mestinya sudah dapat ditindaklanjuti pada tanah pidana. Bahkan KPK bisa menindaklanjuti sendiri jika ada dugaan unsur pidana dan diduga ada penyelenggara negara yang terlibat.
ADVERTISEMENT
"Nah kenapa bukan penindakan yang masuk. Hal-hal seperti itu kan sudah temuan tindak pidana. Kenapa malah diumbar," tegas Roni saat dihubungi penulis pada Rabu sore, 18 Maret 2020.
E-catalogue, Obat, dan Alkes
Pahala Nainggolan membeberkan, sebelumnya KPK juga telah melakukan kajian ihwal pengadaan obat dan alat kesehatan yang terkait dengan e-catalogue. Pengadaan obat dan alkes ini, tutur dia, berhubungan erat juga dengan pelayanan kesehatan pada BPJS Kesehatan. Artinya kata dia, kajian-kajian KPK atas sektor kesehatan selama beberapa tahun terakhir saling kait-mengkait.
Pahala menggariskan, hasil kajian dan rekomendasi untuk penggunaan e-catalogue untuk pengadaan obat dan alat kesehatan juga telah disampaikan KPK ke beberapa pihak yakni Kemenkes dan Menkes, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Untuk tindaklanjuti rekomendasi, ada beberapa kali pertemuan dan pembahasan baik KPK dengan Kemenkes dan LKPP maupun dengan Kemenkeu. Sebagai contoh, pada Agustus 2019, Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek selaku Menkes 2014-2019 menemui pimpinan KPK dan jajaran Kedeputian Bidang Pencegahan KPK serta membahas pengadaan obat dan alat kesehatan berbasis e-catalogue.
"Kita sudah surati Presiden. Karena pengadaan obat dan alat kesehatan kita dorong pakai e-catalogue, kita dorong marketplace, kita dorong e-payment. E-payment-nya di Kementerian Keuangan, marketplace-nya kebijakan LKPP, katalog sektoralnya kebijakannya di Kemenkes," ungkap Pahala.
Dia menegaskan, ihwal rekomendasi ini belum ada kabar lebih lanjut dari Istana atau Kementerian Sekretariat Negera (Setneg) atas surat KPK ke Presiden itu dan disposisi ke mana. Biasanya atas surat KPK, ada kabar dari Setneg tentang disposisi ke kementerian apa atau kementerian koordinator bidang apa untuk menangani rekomendasi lintas kementerian dan lembaga.
ADVERTISEMENT
"Jadi sampai saat ini disposisinya ke mana belum jelas," katanya.
Dia menjelaskan, untuk pengadaan alkes setiap tahunnya terdapat sekitar Rp 36 triliun dari APBN yang dibagikan ke daerah-daerah. Pahala memaparkan, bukan rahasia umum lagi bahwa sering kali terjadi dugaan penggelembungan harga, pembagian wilayah, pembagian jatah, hingga penentuan pengadaan alkes dengan spesifik pada merek tertentu. Untuk pengadaan obat, sejumlah permasalahan yang sering muncul adalah adanya dugaan 'komisi' bagi dokter ketika memberikan rujukan penggunaan obat tertentu atau rumah sakit tertentu menggunakan obat dari perusahaan farmasi tertentu.
"Nah yang pengadaan obat ini kita betulin lewat (kaitannya dengan) BPJS Kesehatan," imbuhnya.
Khusus untuk obat, para pasien selalu mengeluhkan bahwa harganya sangat mahal dan terjadi maraknya dugaan 'komisi' bagi dokter. Pahala menjelaskan, kalau 'komisi' dari perusahaan farmasi swasta tersebut ditujukan ke dokter swasta atau dokter pada rumah sakit swasta maka KPK tidak bisa masuk pada ranah penindakan. KPK sempat meminta bantuan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan penelusuran transaksinya.
ADVERTISEMENT
"Waktu itu kita ke PPATK, kita minta bantuan. Kita batasin (untuk penelusuran) dua. Ada tidak ke dokter atau rumah sakit pemerintah," ujar Pahala.
Grafik pencegahan korupsi yang dilakukan KPK pada sektor kesehatan kurun 2013-2018. Foto: Humas KPK.
Pahala menggariskan, untuk layanan BPJS Kesehatan maka telah diwajibkan semua obat yang digunakan adalah obat generik. Berdasarkan temuan KPK dan penyampaian Kemenkes, ada sekitar lebih 800 obat generik. Pembelian obat generik ini wajib dibeli dengan menggunakan e-catalogue. Pembelian dengan metode ini mengakibatkan tidak ada lagi tender obat.
"Nah alat kesehatan ini yang belum semuanya pakai e-catalogue. Padahal pasarnya besar. Kita surati Presiden, katalog alat kesehatan dipercepat. Karena modelnya alat kesehatan beda dengan obat. Obat kandungan sama, ‘berkelahi’ di harga. Alat kesehatan lain, misalnya stetoskop harga Rp 70.000 ada, terus harga Rp 700.000 ada," katanya.
ADVERTISEMENT
Dengan perbedaan harga masing-masing alkes, ujar Pahala, maka masih ada perbedaan mana jenis alkes dan harga yang akan dimasukkan ke dalam e-catalogue. KPK merekomendasikan meski dengan harga berbeda maka semuanya dimasukkan ke e-catalogue. Inilah bentuk dari marketplace. Pahala mencontohkan, pada situs belanja online, misalnya Tokopedia dan Bukalapak, ada barang yang sama tapi harga berbeda. Para pembeli memiliki kebebasan untuk memilih.
"Jadi silakan aja pilih. Jadi tidak boleh ada satu jenis obat atau alat kesehatan yang hanya ditaruh di e-catalogue. Karena realitanya berbeda. Katakanlah alkes, mesin MRI dengan pelatihan dan MRI tanpa pelatihan harganya beda. Setelah kita rekomendasikan ke LKPP, pasar obat generik dari Rp 5 triliun naik menjadi Rp 10 trilliun. Sekarang (hingga Maret 2020) jadi Rp 13 triliun," tandas Pahala.
ADVERTISEMENT
Artinya tutur Pahala, KPK 'memegang' dokter tidak langsung ke dokter tapi melalui obat generik. KPK mendorong penggunaan obat generik menjadi lebih besar. Saat ini obat generik bisa dibeli oleh rumah sakit swasta sepanjang menjalankan atau menggunakan layanan BPJS Kesehatan. Dia mengatakan, KPK berharap dengan penggunaan obat generik yang semakin masif dapat menekan obat-obatan yang berujung 'komisi' untuk dokter akibat penggunaan obat generik bermerek.
“Kalau untuk untuk obat paten itu nggak tidak ditiru,” imbuhnya.
Dua tahun lalu, KPK mendapatkan informasi dan gambaran bahwa di pasaran obat di Indonesia sejumlah Rp 61 triliun. Dari angka itu, sebesar Rp 20 triliun untuk obat Over The Counter (OTC) atau obat tanpa resep dokter dan mudah diperoleh masyarakat. Jenis obat ini tidak perlu diatur dalam pengadaan. Dengan jumlah Rp 20 triliun, maka sisanya ada Rp 41 triliun.
ADVERTISEMENT
Dari angka Rp 41 triliun, lanjut Pahala, terdapat sejumlah Rp 8 triliun hingga Rp 10 trilliun merupakan obat paten misalnya untuk kanker atau jantung. Obat tersebut merupakan obat impor dan dikuasai oleh beberapa perusahaan modal asing (PMA) di Indonesia. Sisanya atau Rp 31 triliun menjadi rebutan sekitar 250 perusahaan farmasi lokal di Indonesia yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia. Pahala menggariskan, 250 perusahaan farmasi selama ini 'berkelahi' untuk mengikuti tender di 542 pemerintah daerah.
"Nah karena ini tender di seluruh Indonesia, sudah kebayang kan kayak apa. Makanya kita masuk dengan mewajibkan katalog (e-catalogue). Awalnya cuman Rp 5 triliun, KPK bilang ke Kemenkes, KPK memaksa mewajibkan katalog. Kalau dia (perusahaan farmasi) nggak masukin perencanaan, jangan kasi dia di katalog. Kalau barangnya bayar di katalog, tidak boleh tender. Jadi dengan ada obat generik di katalog, menggenjot obat generik bermerek. Sekarang obat generik bermerek hanya ada di rumah sakit swasta," tegas Pahala.
ADVERTISEMENT
Untuk pengadaan alkes, KPK juga 'memaksa' melalui e-catalogue. Sehingga setiap perusahaan pengadaan termasuk perusahaan importir barang 'berkelahi' di e-catalogue. Tindakan ini tentu mencegah terjadinya patgulipat dan penyediaan 'komisi' saat terjadi tender di lapangan yang dilaksanakan setiap pemerintah daerah. Selama ini untuk pengadaan alkes, KPK menemukan dugaan adanya penyediaan fee sekitar 30 persen dari harga barang atau nilai tender.
"Tidak boleh dong kabupaten miskin yang nggak butuh MRI karena komisinya empuk, dia (pejabat kabupaten) beli MRI Rp 33 miliar. Ternyata operatornya nggak ada. Itu kan ruginya gila-gilaan. Jadi kita bilang pakai e-catalogue, Kemenkes atur rumah sakit C bolehnya apa saja, rumah sakit B bolehnya apa saja. Nah itu skup pencegahan yang lebih besar yang kita lihat dalam dua hal ini, untuk obat dan alat kesehatan. Jadi kita masuk perbaikan sistemnya," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Roni Dwi Susanto menyatakan, LKPP telah melaksanakan penggunaan e-catalogue dan marketplace jauh sebelum ada kajian KPK tentang tata kelola DJS kesehatan pada BPJS Kesehatan beserta enam rekomendasinya. Roni memaparkan, permintaan atau rekomendasi KPK tentang katalog elektronik untuk alat kesehatan dan obat generik, tata laksana, dan semua kaitannya telah disampaikan dan dilaporkan LKPP ke KPK pada awal tahun 2019.
"Dan sudah tidak ada tanggapan lagi dari KPK terkait rekomendasi KPK dalam hal e-catalogue obat generik dan alat kesehatan. Itu sudah sampaikan ke mereka (KPK) bahwa LKPP sudah melaksanakan. Artinya disampaikan sebelumnya kajiannya ada saja sudah kita jalankan, yaitu menyangkut fitur-fitur publikasi katalog elektronik," tegasnya.
Dia membeberkan, memang ada dua rekomendasi KPK terkait dengan kajian sektor kesehatan dengan pelaksanaan e-catalogue yakni penutupan fitur negosiasi dan e-payment. Roni mengklaim, rekomendasi penutupan fitur negosiasi dan e-payment tidak ditindaklanjuti LKPP karena itu merupakan sarana bagi LKPP untuk melakukan pencegahan korupsi.
ADVERTISEMENT
Misalnya untuk fitur negosiasi, ketika suatu barang ada di e-catalogue dengan harga 100 maka pihak pembeli dapat bernegosiasi di situ dengan penyediaan barang. Pada sistem akan kelihatan harga 100 dinegosiasikan misalnya menjadi. Dengan fitur negosiasi akan nampak bahwa ketika negosiasi terjadi ada persetujuan antara pembeli dan penyedia barang di mana harga 100 menjadi 80.
"Nah 80 itu yang kita bayar. Jadi tidak ada yang bohong di dalam katalog elektronik, karena katalog kan sangat terbuka. Siapa pun bisa akses pembeli dan penyedia (barang) bisa lihat transaksinya itu betul-betul negosiasi. Artinya payungnya termuat. Mereka bisa menawar, bisa lebih berkurang," ungkapnya.
Mantan Direktur Litbang KPK ini memaparkan, untuk fitur e-payment terkait dengan cara pembayarannya. Fitur ini beririsan kuat dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Artinya kata dia, fitur negosiasi berada di LKPP dan fitur e-payment berada di Kemenkeu. Sekali lagi Roni mengklaim, LKPP merasakan bahwa fitur negosiasi sangat penting.
ADVERTISEMENT
"Sangat penting untuk bisa mendapatkan informasi dan pembeli bisa memastikan harga yang lebih murah berdasarkan riil time-nya," tuturnya.
Roni mengatakan, untuk penerapan fitur e-payment maka LKPP telah menyurati Menkeu Sri Mulyani Indrawati pada 2019. Tapi sampai saat ini belum ada respons apa pun dari Menkeu. Padahal rekomendasi rekomendasi untuk tindak lanjut dan otoritas pembayaran ada di Kemenkeu. Sehubungan dengan penerapan e-payment, ujar dia, KPK juga telah menyurati Menkeu.
"KPK juga sudah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan untuk dipercepatnya e-payment untuk efektivitas pelaksanaan katalog elektronik. Jadi kalau kita belinya sudah pakai online, masa' bayarnya masih manual. Itu yang kami minta kepada Menteri Keuangan dan KPK sudah mengirimkan surat," ujarnya.
Mantan Inspektur Utama Kementerian PPN/Bappenas ini menjelaskan, sistem e-catalogue yang ditangani LKPP mencakup nasional, lokal, dan sektoral itu semua. Tapi masing-masing memiliki kelompok kerja (pokja) berbeda. E-catalogue nasional pokjanya pada LKPP, untuk sektoral maka pokjanya ada di masing-masing sektor seperti Kemenkes, dan untuk lokal maka pokjanya di pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
"Sistemnya semua ada di LKPP," imbuhnya.
Sehubungan dengan marketplace, Roni mengungkapkan, penerapan marketplace sudah diamanahkan dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Layanan Pemerintah. LKPP sudah menjalankan marketplace jauh sebelum adanya kajian KPK disertai rekomendasi untuk pelaksanaan marketplace. Saat ini hingga Maret 2020, ujar dia, elektronik marketplace milik LKPP sudah ada tiga bentuk yaitu e-catalogue, pemilihan penyedia, dan online shop (toko daring).
"Jadi semua itu sudah ada di marketplace. Tapi ini memang terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan digital dan transformasi yang ada," bebernya.
Untuk pengadaan obat termasuk obat generik dan alat kesehatan, Roni mengungkapkan, LKPP bukan mengkoordinasikan dengan BPJS Kesehatan karena BPJS Kesehatan bukan yang menentukan kebijakan boleh membeli di mana. Yang menentukan beli-tidaknya sudah diatur salam Peraturan Menteri Kesehatan.
ADVERTISEMENT
"Yang beli di kami itu otomatis rumah sakit-rumah sakit. Di aturannya itu antara Kemenkes dengan satkernya, kami dengan Kemenkes. Dan kami hubungannya tidak dengan BPJS Kesehatan maupun rumah sakit atau dengan KPK untuk pelaksanaan marketplace dan e-payment obat dan alat kesehatan," tegasnya.
Roni menggariskan, sistem elektronik marketplace dan e-catalogue saat ini menggunakan versi 5.0. Dengan versi ini, maka LKPP tidak lagi bergantung dengan pihak luar termasuk pihak luar negeri dalam mengembangkan sistemnya. Ke depan, tutur dia, versi sistem tersebut akan dikembangkan dan ditingkatkan lagi oleh LKPP.
"Sekarang versi 5.0 itu dan sekarang tidak ada keluhan lagi. Pada awal-awal tahun itu ada keluhan karena memang sistemnya belum stabil, tapi sekarang sudah stabil," tandasnya.
Screenshot laman e-catalogue milik LKPP yang diakses dengan mengklik https://e-katalog.lkpp.go.id/.
Sektor Kesehatan dan Stranas PK
ADVERTISEMENT
Pahala Nainggolan menggariskan, aspek pencegahan korupsi sektor kesehatan juga masuk dalam Aksi Pencegahan Korupsi pada Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (PK) 2019-2020 yang disusun Tim Nasional Pencegahan Korupsi (Timnas PK). Aksi, Stranas, dan Timnas PK merupakan kelanjutan dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Stranas PK. Perpres ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Juli 2018. Dalam kaitan ini, e-catalogue masuk dalam fokus keuangan negara. Pada Aksi PK pun tertuang pelaksanaan oleh Kemenkes, LKPP, dan 34 provinsi. Sektor kesehatan, tutur Pahala, juga masuk dalam bagian pelayanan publik.
"Nah di Stranas disebut tugas Kemenkes adalah katalog (e-catalogue) sektoral. Sempat ada masalah katalog obat karena LKPP bingung-bingung ini obat apa. Jadi lewat Stranas kita bilang harusnya katalog ini (e-catalogue sektoral) dikelola Kemenkes karena lebih tahu teknisnya, lebih tahu segala macam tentang kesehatan," kata Pahala.
ADVERTISEMENT
Untuk e-catalogue pengadaan obat generik, ujar Pahala, sudah berjalan sektoral. Sedangkan untuk alat kesehatan masih sedang dalam proses. Pelaksanaannya memang bertahap disesuaikan dengan Aksi PK. KPK sebagai bagian dari Timnas PK sekaligus pimpinan Timnas PK bersama para anggota Timnas PK terus melakukan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan tersebut.
"Itulah yang KPK lakukan untuk pencegahan korupsi sektor kesehatan. Utamanya baru dua, obat generik dan alat kesehatan. Untuk alat kesehatan kita dorong keras, itu surat kita ke Presiden akhir 2019. Kita minta Kementerian Keuangan segera implementasikan e-payment, lantas LKPP memperkenalkan marketplace, dan Kementerian Kesehatan segera katalog sektoral alat kesehatan dijalankan," bebernya.
Berdasarkan salinan laporan pelaksanaan Stranas PK Semester I Tahun 2019 yang diperoleh penulis, performa pelaksanaan Aksi PK untuk Kemenkes mencapai 99 persen dan BPJS Kesehatan di angka 82 persen. Dari sisi penerapan e-catalogue untuk semua kementerian/lembaga/pemerintah daerah baru di angka 67,6 persen. Sebagai catatan, Stranas PK memiliki tiga fokus utama yakni perizinan dan tata niaga, keuangan negara, dan penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
ADVERTISEMENT
Pada laporan pelaksanaan Stranas PK untuk triwulan III tahun 2019 (hingga Oktober 2019), pencapaian aksi PK pada Kemenkes 83 persen dan BPJS Kesehatan 75 persen. Penerapan e-catalogue, dari 5 kementerian target sudah ada 3 yang menayangkan produk e-catalogue yakni Kemenkes, Kementerian Perhubungan Kemenhub (Kemenhub), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Secara keseluruhan realisasi capaian pelaksanaan aksi penggunaan e-catalogue hanya 30 persen.
Berdasarkan laporan pelaksanaan Stranas PK Semester I 2019, capaian aksi PK oleh LKPP baru mencapai 40 persen. Sedangkan di laporan pelaksanaan Stranas PK untuk triwulan III tahun 2019, capaian LKPP meningkat menjadi 55 persen. Aksi yang dilaksanakan LKPP meliputi pembentukan Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ), implementasi e-catalogue, penyediaan dan implementasi Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKAP), konsolidasi, sentralisasi, dan optimalisasi Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP).
ADVERTISEMENT
Roni Dwi Susanto menyatakan, pihaknya tetap mendukung program pencegahan korupsi baik yang dilakukan oleh KPK maupun yang ada dalam Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang disusun Tim Nasional Pencegahan Korupsi. Roni mengatakan, yang paling penting sebenarnya sistem e-catalogue adalah salah satu upaya untuk mencegah korupsi. Karena dengan sistem ini ada prinsip keterbukaan di mana ada spesifikasi barang, harga, dan dapat dilakukan negosiasi.
"Nah di katalog elektronik bisa dilihat. Kalau masyarakat juga mau melihat kan bisa tuh melihat secara nyata, prinsipnya apa, tapi nggak bisa beli. Karena yang punya akun untuk beli kan bukan untuk umum. Apabila ada harga barang yang dilihat masyarakat, ini harusnya harganya bukan segini, itu kami buka layanan laporan," ungkap Roni.
ADVERTISEMENT
Penulis telah berupaya menghubungi Menteri Kesehatan Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Terawan Agus Putranto selama beberapa hari hingga Sabtu pagi, 21 Maret 2020. Panggilan masuk ke nomor ponsel Terawan berstatus mailbox dan tidak dapat menerima panggilan. Beberapa pesan singkat via WhatsApp berisi penjelasan singkat, enam pertanyaan, dan permintaan untuk menelepon langsung belum berbalas.
Penulis pun telah menghubungi Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi baik telepon langsung maupun dengan pesan singkat via WhatsApp dengan isi serupa dengan yang dikirimkan ke Terawan. Oscar sempat mengangkat panggilan masuk pada Kamis malam, 19 Maret 2020. Oscar mengatakan dalam dua hingga tiga hari terakhir dia memiliki agenda yang cukup padat. Sehingga pesan singkat yang dikirim penulis belum dibaca secara keseluruhan dan Oscar baru sempat mengangkat panggilan masuk.
ADVERTISEMENT
"Saya memang dua, tiga hari ini luar biasa. Saya rapat anggaran soal COVID-19, ke mana-mana. Makanya pas di-WA kemarin saya nggak lihat betul ya. Saya cermati dulu ya, nanti barang kali besok Jumat barang kali bisa komunikasikan lagi," ujar Oscar.
Pada Jumat malam, 20 Maret penulis mengirimkan pesan singkat ke Oscar guna kembali meminta waktu menelepon Oscar. Dia meminta penulis untuk menelepon Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK) pada Setjen Kemenkes Kalsum Komaryani (Yani). Oscar juga mengirimkan nomor Yani ke penulis.
"Mungkin bisa hubungi ibu Yani Kapus Pembiayaan. Saya masih ada acara," katanya.
Penulis lantas mengirimkan pesan singkat via WhatsApp ke Kalsum Komaryani (Yani) pada Jumat malam, 20 Maret. Isinya sama seperti pesan yang penulis ke Terawan dan Oscar. Sabtu pagi, 21 Maret penulis kembali meminta waktu untuk menelepon Yani. Tapi pesan tetap tidak berbalas. Saat dihubungi langsung pada Sabtu pagi, nomor ponsel yang berstatus mailbox dan sedang tidak bisa menerima panggilan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya penulis juga telah mengontak Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Widyawati. Widyawati membalas pesan singkat pada Kamis malam, 19 Maret. Widyawati meminta penulis untuk menghubungi Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan pada Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Kemenkes Tri Hesti Widyastoeti Marwotosoeko (Hesti). Penulis pun telah mengontak Hesti pada Sabtu pagi. Hesti malah meminta penulis mengontak Kalsum Komaryani (Yani).
Penyediaan layanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia secara utuh dan menyeluruh merupakan kewajiban negara dan ada pada pundak pemerintah. Pelaksanaan kebijakan hingga penentuan iuran tidak boleh memberatkan dan membebani masyarakat sebagai peserta layanan. Pun asas kemanusiaan harus dikedepankan. Karena seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan jaminan dan layanan dengan genah.
Pencegahan korupsi dan pemulihan sektor kesehatan adalah tugas bersama. Mengeruk cuan secara melawan hukum dengan tindakan lancung haruslah dikesampingkan. Tidak boleh pula ada peserta yang teralienasi akibat salah tata kelola dan sistem hingga praktik patgulipat di lapangan dan tahap kebijakan. Pejabat yang mengemban amanah pun tidak boleh abai begitu saja. Bertindak dan berbuatlah untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia, bukan mementingkan ego semata.[]
ADVERTISEMENT