‎Sepekan 'PDIP Diobok-obok' KPK

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
11 Juni 2018 6:00 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kader dan simpatisan PDIP mengikuti Apel Siaga. (Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)
zoom-in-whitePerbesar
Kader dan simpatisan PDIP mengikuti Apel Siaga. (Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)
ADVERTISEMENT
Tindakan penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ‎selama satu pekan ini cukup 'beringas'. Para politikus PDI Perjuangan menjadi sasaran proses hukum yang dilakukan dan ditegakkan KPK. Baik dalam operasi tangkap tangan (OTT), menjadi saksi dalam penyidikan kasus, didakwa melakukan penerimaan dugaan suap, atau sekadar nama yang tercantum dalam surat dakwaan.‎
ADVERTISEMENT
Ibarat kata, satu pekan selama bulan Ramadan 2018 ini tim KPK ‎begitu sibuk.‎ Kurun Senin, 4 Juni (hari ke-19 Ramadan) hingga Jumat, 8 Juni (hari ke-22), tim KPK di Direktorat Penyelidikan, Direktorat Penyidikan, dan Direktorat Penuntutan, berjalan beriringan dan bersatu pada menegakan hukum pemberantasan korupsi.‎
Sedikitnya ada tujuh politikus PDIP terkoneksi dalam lima kasus berbeda yang ditangani KPK.‎ Tentu saja mungkin yang paling menyita perhatian publik adalah tiga kali OTT yang dihelat KPK di tiga daerah baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Proyek Purbalingga untuk THR
Tim gabungan penyelidik dan penyidik KPK menggebrak dan menahbiskan langkah hukum berupa tangkap tangan seperti bulan Ramadan di tahun-tahun sebelumnya. Senin, 4 Juni 2018 turun ke Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, dan Jakarta.
Tasdi Bupati Purbalingga (Foto: Youtube)
zoom-in-whitePerbesar
Tasdi Bupati Purbalingga (Foto: Youtube)
Senin itu tim KPK melakukan OTT terhadap enam orang sesaat setelah terjadi serah terima uang yang diduga suap sebesar Rp100 juta. Dari enam orang tersebut, lima di antaranya akhirnya ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan KPK.
ADVERTISEMENT
Pertama, penerima suap, Tasdi, selaku Bupati Purbalingga periode 2016-2021 sekaligus Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Purbalingga. Kedua, penerima Kabag Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga, Hadi Iswanto.
Ketiga dan kelima adalah ‎tiga pengusaha kontraktor dari PT Sumber Bayak Kreasi sebagai pemberi suap. Mereka yakni Hamdani Kosen, Librata Nababan, dan Ardirawinata Nababan.‎
Uang sebesar Rp100 juta disita saat tim KPK menangkap Hadi di Purbalingga. Uang Rp100 juta merupakan bagian dari komitmen fee sebesar 2,5 persen atau sekitar Rp500 juta dari nilai proyek pembangunan Purbalingga Islamic Center (PIC) tahap 2 Tahun Anggaran 2018 sebesar Rp22.282.700.000‎.
Proyek pembangunan Purbalingga Islamic Center (PIC) digagas Bupati Tasdi sejak 2016. PIC kemudian menjadi proyek multiyears (tahun jamak) kurun 2017-2019 dengan total nilai proyek sekitar Rp77 miliar. Anggarannya bersumber dari APBD Kabupaten Purbalingga.
ADVERTISEMENT
Apes bagi Tasdi. Sebelum konferensi pers KPK untuk penetapan tersangka, DPP PDI Perjuangan lebih dulu mengeluarkan keputusan: memecat Tasdi sebagai kader PDI Perjuangan.‎
‎Ketua KPK, Agus Rahardjo, menggariskan fee sebesar 2,5 persen tersebut merupakan jumlah yang diminta oleh Bupati Tasdi pada Mei 2018. Dari temuan KPK berdasarkan sadapan percakapan (komunikasi) via telepon seluler (ponsel), tutur Agus, Rp100 juta diduga untuk kepentingan dan kebutuhan THR Bupati Tasdi.
Bupati Purbalingga Tasdi resmi ditahan KPK. (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
zoom-in-whitePerbesar
Bupati Purbalingga Tasdi resmi ditahan KPK. (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Di sisi lain, Tasdi mengacungkan tiga jari saat berada di Gedung Merah Putih KPK. Simbol ini dapat dimaknai salam metal, pun juga bisa disebut sebagai simbol angka 3 sebagai nomor urut PDIP di Pemilu 2019. Acungan tiga jari tersebut dilakukan Tasdi baik saat dibawa masuk ke dalam gedung, maupun saat Tasdi sudah mengenakan rompi tahanan KPK dan dibawa masuk ke mobil tahanan.
ADVERTISEMENT
Ganjar dan Olly Tetap di e-KTP‎
Penanganan kasus dugaan korupsi pembahasan hingga persetujuan anggaran dan proyek pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2011-2013 (hingga adendum kontrak ke-9) tetap menjadi fokus utama KPK.
Sehari selepas ‎dengan penangkapan Tasdi, KPK mengagendakan pemeriksaan mantan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, yang kini Gubernur Jawa Tengah periode 2013-2018, Ganjar Pranowo.
Ganjar Pranowo dan Olly Dondokambey. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ganjar Pranowo dan Olly Dondokambey. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
Ganjar diagendakan diperiksa untuk dua tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Pertama, mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera sekaligus mantan Ketua Konsorsium Murakabi, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.‎ Kedua, pemilik OEM Investment Pte Ltd sekaligus pemilik Delta Energy Pte Ltd merangkap mantan komisaris PT Gunung Agung, Made Oka Masagung.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengungkapkan sehari sebelum agenda pemeriksaan Ganjar, Senin, 4 Juni, KPK sudah menerima surat dari Ganjar. Ganjar menyampaikan informasi tidak bisa datang memenuhi panggilan KPK sebagai saksi.
ADVERTISEMENT
Ganjar Pranowo pada pokoknya menyampaikan tidak dapat hadir dan meminta penjadwalan ulang dengan pertimbangan sedang mempersiapkan pencalonan sebagai kepala daerah," ujar Febri.
Rabu, 6 Juni 2018, penyidik memeriksa Olly Dondokambey sebagai saksi untuk tersangka Irvanto dan Oka. Olly merupakan mantan Wakil Ketua Banggar DPR sekaligus Bendahara Umum DPP PDIP dan Gubernur Sulawesi Utara.
Selepas pemeriksaan, Olly mengaku tidak kenal dengan Irvanto dan Oka.‎ Olly juga tidak tahu menahu bagaimana peran dan dugaan keterlibatan Irvanto dalam proyek e-KTP. Selebihnya Olly mengaku pertanyaan yang diajukan penyidik hampir sama dengan materi pemeriksaan sebelumnya. Jawaban Olly tetap sama seperti di pemeriksaan sebelumnya maupun saat menjadi saksi di persidangan. Olly kukuh tidak terlibat, apalagi menerima dugaan uang.
ADVERTISEMENT
Febri Diansyah mengatakan pemeriksaan terhadap Olly dan agenda pemeriksaan untuk Ganjar bertujuan untuk mengklarifikasi dan mendalami fakta-fakta persidangan tentang proyek e-KTP. Lebih khusus sehubungan dengan pembahasan dan pengesahan anggaran proyek e-KTP di DPR hingga dugaan adanya aliran uang ke para politikus PDIP.
Apalagi tutur Febri, Irvanto mengungkap beberapa fakta termasuk yang tergolong baru saat Irvanto menjadi saksi dalam persidangan terdakwa ‎Direktur Utama PT Quadra Solutions kurun 2012-2013, Anang Sugiana Sudihardjo, di ‎Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (21/5).
Dalam persidangan Anang, turut bersaksi terpidana 15 tahun penjara mantan Ketua DPR sekaligus mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar, Setya Novanto (Setnov)‎. Kesaksian Irvanto diperkuat dengan kesaksian Setnov di persidangan yang sama, dengan mengungkap sekitar lebih dari 10 anggota DPR dan mantan anggota DPR diduga menerima aliran uang. Ditambah lagi Irvanto memiliki bukti catatan terkait nama-nama dan jumlah uang yang diduga diterima.
ADVERTISEMENT
Menurut Febri, keterangan Irvanto tersebut juga sudah disampaikan ke penyidik saat Irvanto diperiksa sebagai tersangka. ‎Karenanya fakta-fakta dalam persidangan serta keterangan Irvanto baik dalam persidangan maupun saat pemeriksaan di KPK perlu ditindaklanjuti.
Febri mengatakan, sepanjang pekan ini ada belasan anggota ‎maupun mantan anggota DPR selain Olly dan Ganjar yang diperiksa atau diagendakan sebagai saksi untuk tersangka Irvanto dan Oka.
Kesaksian Irvanto dalam persidangan Anang yang ditambahkan Setnov terkait para penerima lain dari unsur DPR. Setnov tetap kukuh Ganjar diduga menerima USD500.000. Informasi dugaan penerimaan tersebut diperoleh Setnov dari Chairuman Harahap selaku Ketua Komisi II DPR periode 2010-2012 dari Fraksi Partai Golkar yang kini Komisaris PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum).
ADVERTISEMENT
Berikutnya Setnov melanjutkan, suatu waktu pada akhir 2011, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo melaporkan mau menyampaikan uang dari terdakwa ‎Direktur Utama PT Cahaya Wijaya Kusuma yang juga Direktur PT Murakabi Sejahtera, Andi Agustinus alias Andi Narogong alias Asiong (divonis 11 tahun), ke beberapa anggota DPR saat Setnov berada di ruang Ketua Fraksi.
Irvanto datang bersama Narogong. Setya Novanto lantas ke ruangan Ade Komaruddin sebagai Sekretaris Fraksi Partai Golkar saat itu. Di ruang Ade Komaruddin rupanya ada beberapa orang.
Mereka di antaranya terpidana mantan anggota DPR dan mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, M Nazaruddin, Melchias Markus Mekeng, mantan Wakil Ketua Banggar dari Fraksi Partai Demokrat yang kini Ketua DPP Partai Hanura, Mirwan Amir, mantan Wakil Ketua Banggar dai Fraksi PKS yang kini Wakil Ketua Komisi VII, Tamsil Linrung, dan Olly Dondokambey.
ADVERTISEMENT
‎‎Ganjar dan Olly memang sudah bekali-kali membantah terlibat apalagi menerima uang terkait proyek e-KTP. Bantahan disampaikan dalam berbagai kesempatan. Baik dalam pemeriksaan di KPK, selepas pemeriksaan, maupun saat bersaksi dalam persidangan para terdakwa/terpidana sebelumnya.
Terkoneksi Fraksi PDIP di DPR
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK yang diketuai Iskandar Marwanto, membacakan surat dakwaan nomor: 49/TUT.01.04/24/05/2018 atas nama Rudy Erawan selaku Bupati Halmahera Timur periode 2010-2015 dan 2016-2021 (nonaktif). Surat dakwaan Rudy yang juga mantan Ketua DPD PDIP Maluku Utara ini, dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu, 6 Juni 2018.
Rudy Erawan usai diperiksa KPK. (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rudy Erawan usai diperiksa KPK. (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
Rudy didakwa menerima suap dengan total Rp6,3 miliar. Suap diterima Rudy bersama Mohammad Arnes Solikin (sekretaris pribadi Rudy, belum tersangka) dari terpidana penerima suap Amran HI Mustary (divonis 6 tahun penjara), saat Amran menjabat sebagai kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Kementerian PUPR Maluku dan Maluku Utara saat itu.
ADVERTISEMENT
Rincian uang yang diterima yakni Rp3 miliar dalam pecahan dollar Amerika Serikat, sebesar Rp2,6 miliar dalam bentuk dollar Amerika Serikat, sejumlah SGD20.460, dan Rp200 juta. Penyerahan terjadi kurun Agustus 2015, 27 November 2015, dan 11 Januari 2016. Seluruh penyerahan terjadi setelah Amran dilantik menjadi Kepala BPJN IX pada 10 Juli 2015.‎
"Hadiah (uang) tersebut karena terdakwa (Rudy) telah menjembatani kepentingan Amran HI Mustary untuk menjadi Kepala BPJN IX Malulu dan Maluku Utara dengan cara kolusi dan nepotisme dengan pejabat kementerian PUPR," tegas JPU, Iskandar Marwanto, saat membacakan surat dakwaan atas nama Rudy.
JPU menggariskan, dari total uang yang diterima Rudy, sebesar Rp200 juta dipergunakan untuk kepentingan Rudy menghadiri Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PDIP di Jakarta pada Januari 2016. Berikutnya sebesar Rp500 juta dipergunakan Rudy untuk keperluan kampanye dalam pilkada 2015, saat Rudy maju sebagai calon bupati Halmahera Timur 2016-2021.
ADVERTISEMENT
‎Menariknya, dalam surat dakwaan atas nama Rudy, JPU menuangkan bahwa dalam proses hingga serah terima suap terjadi, rupanya ada peran Sekretaris Fraksi PDIP di DPR sekaligus Wakil Ketua Komisi I DPR dan Ketua DPD PDIP Jawa Tengah, Bambang Wuryanto alias Bambang Pancul.
Terdakwa Amran Hi Mustary (Foto: Rosa Panggabean/ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa Amran Hi Mustary (Foto: Rosa Panggabean/ANTARA)
Mulanya awal 2015, Amran punya keinginan maju sebagai calon kepala BPJN IX. Amran lantas meminta bantuan Rudy agar Amran lolos menjadi kepala BPJN IX. Berikutnya ada beberapa kali pertemuan untuk meloloskan keinginan Amran tadi.
Ketika itu Amran mengiming-imingingi Rudy kalau Amran berhasil menjadi kepala BPJN IX, maka Amran akan mengusahakan program PUPR masuk ke Halmahera Timur. Selain itu Amran akan memberi bantuan dana untuk keperluan Rudy. Rudy menyanggupi membantu Amran dan mengatakan ke Amran, 'nanti ada pendekatan dengan orang yang punya akses ke dalam'.
ADVERTISEMENT
Dalam kesempatan lain, Rudy juga menyampaikan ke Amran tentang usulan dan rekomendasi Amran menjadi kepala BPJN IX akan diserahkan ke DPP PDI Perjuangan lewat Fraksi PDIP di DPR. Rudy juga menyarankan Amran HI Mustary untuk bertemu dengan Bambang Wuryanto selaku anggota DPR RI dari Fraksi PDIP.
Kemudian Rudy akhirnya menemui Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul yang menjabat sebagai Sekretaris Fraksi PDIP pada akhir Mei 2015. Pertemuan Rudy dengan Bambang Pacul terjadi di ruang fraksi PDIP DPR. Dalam pertemuan, Rudy menyerahkan curriculum vitae (CV) Amran ke Bambang Pacul sebagai bahan pertimbangan untuk Amran menjadi kepala BPJN IX.
Atas penyampaian Rudy, Bambang Pacul setuju meneruskan usulan tersebut. Selanjutnya, Bambang Pacul menyerahkan CV Amran ke Damayanti Wisnu Putranti selaku anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP saat itu. Bambang Pacul meminta Damayanti untuk menyampaikan usulan tersebut ke pihak Kementerian PUPR.
ADVERTISEMENT
Damayanti lantas menyampaikan usulan tersebut dan CV Amran ke Taufik Widjoyono selaku Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR saat itu dan Hediyanto W Husaini selaku Dirjen Bina Marga Kementerian PUPR saat itu.
JPU memastikan, Atas peran Rudy menjembatani usulan dan keinginan Amran dengan cara kolusi dan nepotisme tersebut, akhirnya Amran ditetapkan dan dilantik menjadi kepala BPJN IX.
Uang suap yang disodorkan Amran sebelumnya berasal dari para kontraktor di lingkungan BPJN IX. Di antaranya terpidana pemberi Direktur Utama (Dirut) PT Windhu Tunggal Utama (WTU), Abdul Khoir (divonis 2 tahun 6 bulan), terpidana pemberi Komisaris Utama PT Cahayamas Perkasa, So Kok Seng alias Tan Frenky Tanaya alias Aseng (divonis 4 tahun penjara), dan Direktur PT Sharleen Raya (Jeco Group), Hong Arta John Alfred.
ADVERTISEMENT
‎Damayanti sudah dipecat PDIP sesaat setelah Damayanti ditangkap dan ditersangkakan KPK pada Januari 2016. Damayanti pun sudah menjadi terpidana bersama beberapa orang lain termasuk tiga koleganya di Komisi V DPR.
Peristiwa dan kronologis yang tercantum dalam surat dakwaan atas nama Rudy, hakikatnya sudah terungkap dalam persidangan dan sedikit tercantum dalam putusan para terdakwa (terpidana) sebelumnya. Termasuk persidangan dan putusan atas nama Amran HI Mustary.
Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul sudah diperiksa KPK sebagai saksi untuk Rudy saat Rudy masih menjadi tersangka dan berkasnya di tahap penyidikan. Bambang Pacul diperiksa pada Selasa, 3 April 2018. Pemeriksaannya berlangsung sekitar lebih dari lima jam.
"Pak Rudy kawan saya. Ya, dia sesama ketua DPD Partai," ungkap Bambang.
ADVERTISEMENT
Anggota DPR dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah IV ini kaget saat ditanya tentang nama terpidana Amran HI Mustary. Bambang Pacul bergeming. Pasalnya Rudy tidak pernah memperkenalkan Amran ke Bambang Pacul.
Sambung-menyambung di Jatim
‎Tim gabungan penyelidik dan penyidik KPK menggebrak di Jawa Timur (Jatim). Tim melakukan OTT secara paralel, bersamaan, dan sambung-menyambung di Kabupaten Tulungagung dan Kota Blitar. Penangkapan ini selepas laporan masyarakat diterima KPK, penyelidikan tertutup, dan pemantauan intensif dilakukan tim KPK.
Penangkapan ini sehubungan dengan dua kasus berbeda dan ‎terkoneksi pada satu orang, Susilo Prabowo alias Sus alias Mbun. Susilo adalah pemilik dan petinggi beberapa perusahaan termasuk sebagai Direktur PT Moderna Teknik Perkasa.
OTT Tulungagung Blitar. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
OTT Tulungagung Blitar. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Saat OTT tersebut, tim KPK menangkap lima orang dan menyita uang tunai sebesar Rp2,5 miliar. Empat orang dari lima yang ditangkap itu kemudian ditetapkan menjadi tersangka selepas pemeriksaan dan gelar perkara (ekspose) pada Kamis, 7 Juni 2018
ADVERTISEMENT
Mereka yakni Susilo Prabowo alias Sus alias Mbun, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tulungagung Sutrisno, Agung Prayitno (swasta, perantara), dan Bambang Purnomo (swasta, perantara).
Selain itu, KPK juga menetapkan ‎Bupati ‎Tulungagung periode 2013-2018 yang juga kader PDIP, Syahri Mulyo, dan Wali Kota Blitar periode 2016-2021 sekaligus Ketua DPC PDIP Kota Blitar, Muhammad Samanhudi Anwar.
Konferensi pers rincian OTT dan penetapan 6 tersangka tersebut, diumumkan Wakil Ketua KPK, Thony Saut Situmorang, dan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, pada Jumat, 8 Juni 2018 dini hari.
‎Syahri Mulyo, Sutrisno, dan Agung Prayitno, ditetapkan sebagai tersangka penerima suap Rp1 miliar dari tersangka pemberi pengusaha kontraktor, Susilo Prabowo alias Sus alias Mbun. Dugaan suap terkait pengurusan proyek-proyek infrastruktur peningkatan jalan di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tulungagung.
ADVERTISEMENT
Sebelum OTT terjadi dan sebelum penetapan tersangka, KPK menemukan sudah ada dua kali penyerahan uang sebelumnya ke Syahri. Masing-masing Rp500 juta dan Rp1 miliar.‎ Susilo merupakan kontraktor yang kerap kali memenangkan proyek-proyek di lingkungan Pemkab Tulungagung kurun 2014 hingga 2018.
Muhammad Samanhudi Anwar dan Bambang Purnomo ditetapkan menjadi tersangka penerima suap Rp1,5 miliar dari tersangka pemberi Susilo Prabowo alias Sus alias Mbun. Dugaan suap terkait ‎dengan izin proyek pembangunan SMPN 3 Blitar dengan nilai kontrak Rp23 miliar.
Uang Rp1,5 miliar ini adalah hasil komitmen fee 10 persen dari nilai proyek. Diduga pembagian jatah fee 8 persen untuk Samanhudi dan 2 persen untuk dinas.
Thony Saut Situmorang memastikan, saat OTT dilakukan KPK di Tulungagung dan Blitar memang Syahri dan Samanhudi tidak diciduk. Tetapi dari keterangan para pihak yang ditangkap ditambah alat bukti yang cukup akhirnya Syahri dan Samanhudi ditetapkan sebagai tersangka. Karenanya pada Jumat, 8 Juni di hari KPK mengultimatum Syahri dan Samanhudi kooperatif dan datang menyerahkan diri ke KPK.
ADVERTISEMENT
Senyampang dengan itu, DPP PDIP mengeluarkan keputusan memecat Syahri dan Samanhudi sebagai kader PDIP.
Muhammad Samanhudi Anwar lebih dulu datang menyerahkan diri dengan sukarela ke KPK pada ‎sekitar pukul 18.30 WIB pada Jumat malam, (8/6). Selepas menjalani pemeriksaan intensif, Samanhudi akhirnya menyusul empat tersangka lainnya ke sel rumah tahanan negara (rutan).
Selepas menjalani pemeriksaan sekitar 7 jam, Samanhudi keluar pukul 01.30 WIB pada Sabtu, 9 Juni untuk ditahan KPK di Rutan Polres Metro Jakarta Pusat. Samanhudi memilih bungkam sesaat setelah keluar ruang steril KPK.
ADVERTISEMENT
Sementara Syahri Mulyo datang menyerahkan diri ke KPK sekitar pukul 21.30 WIB pada Sabtu, 9 Juni. Usai menjalani pemeriksaan sekitar pukul 04.40 WIB pada Minggu, 10 Juni, Syahri langsung dijebloskan KPK ke sel Rutan Polres Metro Jakarta Timur.
Syahri mengaku tidak melarikan diri saat tim KPK melakukan OTT. Pasalnya saat itu Syahri tidak berada di lokasi. Dia mengaku kedatangan dan penyerahan dirinya ke KPK karena inisiatif sendiri. Dia mengaku sempat galau sebelum menyerahkan diri.
ADVERTISEMENT
Dia berupaya berkelit saat disinggung video yang sempat viral berisi pernyataan Syahri dijadikan sebagai korban politik oleh KPK. Dia mengaku di Tulungagung memang sedang berlangsung pilkada dan menyerahkan proses hukum ke KPK.
"Hari (saat) ini kan di sana ada pilkada. Kita menghormati proses penyidikan ini, untuk lebih lanjut ke penyidik pak," klaimnya.
Butuh Komitmen Partai Politik
Perjalanan KPK selama sepekan dalam menegakkan proses hukum pemberantasan korupsi patut diacungi jempol. ‎‎Patut diingat pula, dalam konteks pemeriksaan kasus di tahap penyidikan selama sepekan kurun Senin, 4 Juni hingga Jumat, 8 Juni tidak semata politikus PDIP yang diperiksa atau dijadwalkan. Ada juga politikus dari beberapa partai lain.
Tapi dengan melihat kinerja KPK selama sepekan tersebut, ada satu simpulan singkat bisa disampaikan, bahwa selama sepekan (politikus) PDIP 'ditumbangkan' KPK.
ADVERTISEMENT
Semoga proses penindakan KPK tidak semata penindakan, tapi juga dibarengi dengan‎ pencegahan secara intensif, masif, dan berkesinambungan. Termasuk pencegahan dengan menggandeng partai politik (parpol).
Di sisi lain, partai politik tidak semata 'lip service' dalam pencegahan korupsi dan mendukung langkah KPK menegakkan hukum pemberantasan korupsi. Sikap dan aksi nyata lebih dibutuhkan. Kalau tidak, tetap saja masih ada kader atau pengurusan parpol yang menjadi 'pasien' di KPK.‎