Tersungkur Suap Modus THR‎

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
8 Juni 2018 23:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi THR (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi THR (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Memberi sesuatu sebagai hadiah dalam bentuk apapun menjelang dan saat hari raya umat beragama ‎maupun menjelang dan saat pergantian tahun baru merupakan tradisi yang tidak bisa dimungkiri selalu terjadi. Tradisi dan budaya serupa tentu saja juga terjadi di Indonesia. Di negeri ini bahkan dikenal sebagai Tunjangan Hari Raya (THR), ada juga sebagai tunjangan (untuk) tahun baru.
ADVERTISEMENT
Tradisi dan budaya tersebut tidak salah memang. Sah dilakukan dan dijalankan. Karena dengannya bisa mempererat dan memperkokoh hubungan di antara para pihak. Baik hubungan pekerjaan, kekeluargaan, persaudaraan maupun pertemanan.
THR dan tunjangan (untuk) tahun baru acap kali diberikan secara sukarela, namun sering juga didahului dengan permintaan.
Meski begitu, rupanya tradisi pemberian dan penerimaan THR yang sudah berjalan sekian lama di Indonesia pun memiliki sisi negatif. Karena ada konsekuensinya secara hukum. Khususnya dalam konteks tindak pidana korupsi (tipikor) baik delik gratifikasi, suap-menyuap ataupun pemerasan dalam jabatan.
Pada akhirnya THR dan tunjangan tahun baru sedemikian rupa dibalut menjadi modus transaksi suap-menyuap atau pemerasan dalam jabatan, atau juga gratifikasi. Tentu saja untuk memuluskan kepentingan dan keinginan si pemberi, serta terkait atau berhubungan atau bertentangan dengan jabatan atau kewajiban PNS dan/atau penyelenggara negara. Baik untuk tender proyek, pembahasan dan pengesahan anggaran, perizinan, pengurusan putusan perkara, maupun kepentingan lainnya.
ADVERTISEMENT
Teranyar lihat saja operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah dan Jakarta pada Senin, 4 Juni 2018. Dari enam orang yang terciduk, lima di antaranya kemudian menjadi tersangka dan ditahan KPK.
OTT bupati Purbalingga (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
OTT bupati Purbalingga (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Mereka yakni Tasdi selaku Bupati Purbalingga sekaligus Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Purbalingga, Kabag Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga Hadi Iswanto, dan tiga pengusaha kontraktor dari PT Sumber Bayak Kreasi. Tiga pengusaha tersebut masing-masing Hamdani Kosen, Librata Nababan, dan Ardirawinata Nababan.‎
Tasdi dan Hadi sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan Hamdani, Librata, dan Ardirawinata sebagai tersangka pemberi.‎ Uang yang diberikan sebesar Rp 100 juta dan disita saat tim KPK menangkap Hadi di Purbalingga. Uang Rp 100 juta merupakan bagian dari komitmen fee sebesar 2,5 persen atau sekitar Rp 500 juta dari nilai proyek pembangunan Purbalingga Islamic Center (PIC) tahap 2 Tahun Anggaran 2018 sebesar Rp 22.282.700.000‎.
ADVERTISEMENT
Lelang proyek dilakukan lewat sistem elektronik di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemkab Purbalingga. Tender dimenangkan PT. Sumber Bayak Kreasi dengan harga penawaran dan harga terkoreksi Rp 22.282.700.000, dengan menumbangkan ‎67 perusahaan.
Proyek pembangunan Purbalingga Islamic Center (PIC) digagas Bupati Tasdi sejak 2016. PIC kemudian menjadi proyek multiyears (tahun jamak) kurun 2017-2019 dengan total nilai proyek sekitar Rp77 miliar. Anggarannya bersumber dari APBD Kabupaten Purbalingga.
Apes bagi Tasdi. Sebelum konferensi pers KPK untuk penetapan tersangka, DPP PDI Perjuangan lebih dulu mengeluarkan keputusan, memecat Tasdi sebagai kader PDI Perjuangan.‎
Ketua KPK Agus Rahardjo menggariskan, fee sebesar 2,5 persen tersebut merupakan jumlah yang diminta oleh Bupati Tasdi pada Mei 2018. PT Sumber Bayak Kreasi meneken kontrak lelang tertanggal 26 Mei 2018. Dari temuan KPK berdasarkan sadapan percakapan (komunikasi) via telepon seluler (ponsel), tutur Agus, Rp100 juta diduga untuk kepentingan dan kebutuhan THR Bupati Tasdi.
ADVERTISEMENT
"Kalau penyerahan ini (Rp 100 juta) memang desakannya dari komunikasi (sadapan) ‎yang kita ketahui memang HIS (Hadi) sampaikan bahwa bapak (Tasdi) mau hari raya," ujar Agus saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Selasa, 5 Juni 2018 malam.‎
Mantan kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ini menggariskan, uang Rp 100 juta bisa ada setelah melalui beberapa tahapan. Permintaan dan penerimaan Rp 100 juta memang berawal dari perintah Tasdi ke Hadi. ‎
Proses penyediaan uang melalui beberapa tahapan. Senin, 4 Juni 2018 Hamdani meminta stafnya untuk mentransfer Rp 100 juta ke staf Hamdani yang lain yang berada di Purbalingga. Uang lantas dicairkan di Bank BCA Purbalingga. Sesuai permintaan Hamdani, uang lantas diserahkan ke Ardirawinata. Sekitar pukul 17.00 WIB pada Senin yang sama, Ardirawinata menyerahkan ke Hadi di jalan sekitaran kompleks proyek PIC.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Agus menegaskan, saat masih proses lelang proyek pembangunan PIC tahap 2, Tasdi memerintahkan Hadi untuk membantu tersangka Librata dan PT Sumber Bayak Kreasi agar perusahaan tersebut dimenangkan.‎ Sampai-sampai Tasdi mengancam Hadi. Ya, meski tender secara elektronik melalui LPSE, rupanya tetap masih bisa diakali.
"Awal Mei 2018, terjadi pertemuan di sebuah rumah makan. TSD (Tasdi) diduga mengancam akan memecat HIS (Hadi) jika tidak membantu LN (Librata). PT SBK itu rangking keempat, bukan yang menawarkan termurah," tegas Agus.
Tasdi dan Hadi disangkakan dengan pasal penerimaan suap aktif atau penerimaan suap pasif atau penerimaan gratifikasi. Sedangkan Hamdani, Librata, dan Ardirawinata dijerat dengan pasal pemberian suap aktif atau pemberian suap pasif.
Dua hari berselang setelah OTT di Purbalingga, tim KPK kembali menggelar OTT di Kabupaten Tulungagung dan Kota Blitar, Jawa Timur pada Rabu, 6 Juni 2018. KPK menangkap tangan 5 orang selepas terjadi transaksi suap Rp 2,5 miliar. Uang berasal dan diberikan pengusaha kontraktor Susilo Prabowo alias Sus alias Mbun (pemilik dan petinggi beberapa perusahaan termasuk menjabat sebagai Direktur PT Moderna Teknik Perkasa).‎
Konpers OTT KPK di Blitar dan Tulungagung (Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
zoom-in-whitePerbesar
Konpers OTT KPK di Blitar dan Tulungagung (Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
Uang Rp 2,5 miliar terpecah dua bagian dan terkait dua pengurusan berbeda. Perta‎ma, Rp 1 miliar diduga terkait pengurusan proyek-proyek pembangunan infrastruktur peningkatan jalan pada Dinas PUPR Pemkab Tulungagung. Kedua, Rp 1,5 miliar diduga terkait dengan ijin proyek pembangunan SMPN 3 Blitar dengan nilai kontrak Rp 23 miliar.
ADVERTISEMENT
Angka suap Rp 1,5 miliar untuk pembangunan sekolah ini merupakan hasil komitmen fee 10 persen dari nilai proyek dengan dua pembagian. Satu, sebesar 8 persen sebagai fee untuk Walikota Blitar periode 2016-2021 sekaligus Ketua DPC PDIP Kota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar.‎ Sedangkan 2 persen untuk dinas. Samanhudi bahkan dipecat sebagai kader PDIP sebelum pengumuman penetapan tersangka.
Dari hasil OTT dan gelar perkara, kemudian KPK menetapkan enam tersangka. Dua di antaranya tersangka penerima suap Bupati ‎Tulungagung periode 2013-2018 Syahri Mulyo dan Walikota Blitar periode 2016-2021 sekaligus Ketua DPC PDIP Kota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar.‎ Syahri kini menjadi calon bupati Tulungagung petahana dalam Pilkada Serentak 2018.
Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang menandaskan, dalam pengembangan penyidikan dua kasus ini KPK sedang mengembangkan dan mendalami bukti-bukti tentang proses permintaan uang dan rencana peruntukkan penggunaan uang untuk Syahri dan Samanhudi. Konteksnya apakah benar untuk logistik Syahri yang maju sebagai calon bupati petahana dalam Pilkada Serentak 2018 Tulungagung serta untuk keperluan tunjangan hari raya (THR) Idul Fitri Syahri dan Samanhudi.
ADVERTISEMENT
"Nanti kita dalami lebih lanjut. Waktu ekspose, kita nggak ada kaitan mengenai pilkada. Dugaan untuk THR itu juga belum. Kita lihat pengembangannya. Kan nanti masih ada pemeriksaan," tegas Saut saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK pada Jumat, 8 Juni 2018 dini hari.‎‎
Legitimasi Surat Edaran KPK
Ketua KPK Agus Rahardjo (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK Agus Rahardjo (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Hari penangkapan terhadap Bupati Tasdi dkk di Purbalingga sebenarnya bersamaan dengan hari KPK menggelar konferensi pers tentang Surat Edaran (SE) Nomor: B/3794/GTF 00.02/01-13/06/2018 tertanggal 4 Juni 2018. Isi SE ini pun dibacakan dan disampaikan langsung Agus Rahardjo.
ADVERTISEMENT
SE ini berisi di antaranya larangan (imbauan) pegawai negeri dan penyelenggara negara atau pejabat negara meminta dan menerima tunjangan hari raya (THR) dalam bentuk apapun dari perusahaan, pengusaha, rekanan atau masyarakat. Karena penerimaan tersebut masuk dalam kategori gratifikasi dan memiliki risiko ancaman pidana.
Berikutnya, SE juga berisi imbauan agar pimpinan perusahaan atau korporasi swasta diharapkan komitmen untuk meningkatkan kesadaran dan ketaatan dengan tidak memberikan sesuatu jelang Idul Fitri 2018 kepada para pejabat. Pimpinan perusahaan atau korporasi juga diharapkan menginstruksikan kepada semua jajarannya untuk tidak memberikan gratifikasi, uang pelicin, atau suap dalam bentuk apapun kepada PNS dan/atau penyelenggara negara.‎
Agus Rahardjo menyampaikan, apa yang dilakukan Tasdi dkk sangatlah disayangkan jika dihubungkan dengan SE Nomor: B/3794 tertanggal 4 Juni 2018. Apalagi Agus menggariskan, SE serupa pernah dikeluarkan dan disampaikan KPK ke seluruh stakeholder pada tahun-tahun sebelumnya. SE tahun sebelumnya sebagai peringatan, sementara SE tertanggal 4 Juni 2018 hanya sebagai pengingat.
ADVERTISEMENT
"Surat edaran tahun lalu ini masih berlaku, tidak expired. Surat edaran terbaru yang 4 Juni itu hanya sebagai pengingat. Tapi masih ada yang melakukan juga, seperti ini (Tasdi dkk)," tegas Agus.
Melihat kasus Tasdi dkk juga perkara di tahun-tahun sebelum, maka SE KPK Nomor: B/3794 tertanggal dan SE tahun-tahun sebelumnya mendapat legitimasi untuk diingat, diperhatikan, dijalankan, dan juga 'dipatuhi'.
Tasdi Bukan Pembelajar yang Baik
Bupati Purbalingga Tasdi resmi ditahan KPK. (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
zoom-in-whitePerbesar
Bupati Purbalingga Tasdi resmi ditahan KPK. (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Harus diakui para jurnalis yang biasa ngepos dan meliput di KPK sering kali iseng bertanya, bahkan cenderung menagih dari KPK apa 'hadiah bulan Ramadan' atau 'hadiah Lebaran' atau 'hadiah Natal' atau 'hadiah tahun baru'. Maknanya 'hadiah' tersebut yakni, OTT dan siapa yang ditangkap: saat Ramadan, atau menjelang/saat Lebaran, atau menjelang/saat Natal, saat malam tahun baru/sesaat setelah tahun berganti.
ADVERTISEMENT
Jelang awal Ramadan 2018, beberapa jurnalis termasuk saya, menerima informasi awal bahwa ada pergerakan tim KPK di sebuah daerah di Provinsi Jawa Tengah. Akhirnya terjadi juga di pertengahan Ramadan dan menjelang Idul Fitri.
Rupanya Bupati Tasdi bukanlah pembelajar yang baik. Pernah meminta pimpinan KPK agar ada kegiatan dan program pencegahan di Pemkab Purbalingga. Tim pencegahan KPK pun sudah turun ke Purbalingga. Apa mau dikata Tasdi tetap melakukan penerimaan dugaan suap.‎
"‎Daerah ini sudah kita datangi. Kita kira komitmennya Bupati (Tasdi) untuk pencegahan korupsi ada, ternyata seperti ini (menerima suap dan ditangkap)," tegas Agus Rahardjo.‎
Apa yang ditagih para jurnalis seperti di atas tadi bukan tanpa alasan. Nyatanya dan faktanya, kasus (perkara) dugaan suap maupun delik lain dengan modus atau beririsan dengan kebutuhan THR tidak ditangani KPK di 2018 saja. Alias tidak kali ini saja. Karena sejak beberapa tahun lalu kejadian serupa sudah sering ditangani KPK. Rata-rata dimulai dari OTT.
ADVERTISEMENT
Bupati Tasdi dkk tidak kapok dan tidak mengambil pelajaran dari para pihak yang lebih dulu tersungkur dalam berbagai kasus atau perkara.
Bahkan putusan para pihak tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Ada yang sudah menjadi eks narapidana dan menghirup udara bebas. Ada juga yang masih terpidana dan meringkuk dalam jeruji besi di lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Kalau kita membuka data perkara, berkas putusan atau melakukan penelusuran di internet atas persidangan-persidangan, maka akan nampak para pelaku yang lebih dulu tersungkur dibekuk KPK dan menjadi penghuni 'hotel prodeo'.
Dalam tulisan ini, saya akan mengambil contoh perkara (kasus) dan para pihak yang ditangani KPK kurun 2011 sampai 2017. Keseluruhannya mencakup delik suap-menyuap maupun pemerasan dalam jabatan. Sebagian besar dari para pelaku dicokok KPK saat OTT pada bulan Ramadan (puasa) dan menjelang atau mendekati lebaran Idul Fitri.‎
ADVERTISEMENT
Kardus Duren (2011)
OTT KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
OTT KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Pada 2011 bulan Ramadan jatuh pada 1 Agustus hingga 30 Agustus. Pada 25 Agustus bertepatan dengan 25 Ramadan 1432 hijriah, KPK menggelar OTT di Jakarta. KPK menangkap beberapa orang. Di antaranya I Nyoman Suisnaya selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (P2KT) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) saat itu, Dadong Irbarelawan selaku Kepala Bagian Program dan Evaluasi Ditjen P2KT saat itu, dan pengusaha sekaligus kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua Dharmawati.
Nyoman, Dadong, dan Dharmawati sudah divonis bersalah dan kini sudah bebas. Saat OTT terjadi, KPK menyita uang tunai Rp 1,5 miliar yang ada dalam kardus duren. Suap terkait dengan pengurusan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (DPPID) Kawasan Transmigrasi di empat kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat.
ADVERTISEMENT
Perkara (kasus) ini kemudian tenar dengan nama 'suap kardus duren' atau 'kasus kardus duren'.
Dari fakta-fakta persidangan sebelumnya serta sadapan yang dimiliki KPK dan sudah diputar di persidangan, terungkap pemberian Rp1,5 miliar tersebut karena didahului permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) Rp2 miliar. Sejumlah saksi dan terdakwa ketika itu menyebutkan dalam persidangan, THR tersebut adalah permintaan dari Muhaimin Iskandar alias Cak Imin selaku Menakertrans saat itu.
"Awalnya saudara Nyoman telepon saya untuk datang ke (kantor) Kemnakertrans. Saya datang ke Pak Dadong, katanya ada kebutuhan ke Pak Menteri. Dadong bilang (Rp 1,5 miliar) untuk pinjaman THR Menteri," tegas Dharmawati di Pengadilan Tipikor Jakarta 2012 silam.
‎Dalam beberapa kesempatan termasuk saat menjadi saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Cak Imin sudah membantah dugaan keterlibatannya apalagi meminta jatah THR Rp 2 miliar. Cak Imim mengklaim namanya dicatut M Fauzi, Ali Mudhori, Sindu Malik, Iskandar Prasojo, dan Dani Nawawi untuk permintaan THR.
ADVERTISEMENT
Putusan Perkara Jelang Lebaran (2012)
‎Bulan Ramadan 2012 jatuh pada 21 Juli hingga 18 Agustus. Selama kurun waktu tersebut, ada ada satu kali OTT digelar KPK di Semarang dan Pontianak. Tepat pada HUT kemerdeaan Indonesia, Jumat, 17 Agustus 2012 dan lepas upacara peringatan hari kemerdekaan ke-67, tim KPK mencokok beberapa orang termasuk dua hakim ketika itu.
Pertama, Kartini Julianna Marpaung selaku hakim adhoc Pengadilan Tipikor Semarang saat itu di pelataran Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah. Kedua, Heru Kisbandono selaku hakim adhoc Pengadilan Tipikor Pontianak saat itu.
Saat penangkapan, KPK menyita uang sekitar Rp 150 juta. Suap untuk pengurusan perkara putusan perkara di Pengadilan Tipikor Semarang. Dari fakta persidangan dan pertimbangan putusan para pihak, termasuk terpidana Kartini Marpaung terungkap total yang diterima Rp 500 juta.
ADVERTISEMENT
Penyerahan suap uang Rp150 juta tadi terjadi karena sudah H-2 atau dua hari sebelum lebaran Idul Fitri 2012. Kartini Marpaung kini masih menjadi terpidana 10 tahun dan Heru divonis 8 tahun penjara. Masa pidana terhitung sejak dalam penahanan KPK pada 2012. ‎
Tender Gas dan APBNP ESDM (2013)
KPK kembali menggebrak dan membongkar transaksi suap yang juga dialokasikan untuk kebutuhan Lebaran. Pada 2013 (1434 hijriah), Idul Fitri jatuh pada 8 Agustus.
Lima hari setelah Idul Fitri 2013 atau tepatnya 13 Agustus, KPK menangkap Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) saat itu sekaligus mantan Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini. Bersama Rudi turun diciduk Deviardi alias Ardi (swasta), dan petinggi PT Kernel Oil Ple Ltd Indonesia Simon Gunawan Tanjaya. Suap terkait pengurusan tender kondesat dan minyak mentah di SKK Migas.
ADVERTISEMENT
Saat OTT KPK mengamankan dan menyita uang tunai SGD400.000 sesaat setelah diberikan Simon. Dari fakta persidangan hingga pertimbangan putusan Rudi, Ardi, Simon dkk terungkap bahwa sebelum OTT terjadi, ternyata Rudi sudah menerima SGD300.000.
Rudi menerima uang-uang suap tersebut guna disalurkan ke sejumlah pihak. Termasuk di antaranya permintaan kebiasaan lama jelang lebaran yang disampaikan sejumlah anggota DPR untuk penyediaan THR.
Bahkan dalam keterangan sebagai saksi, sebagai terdakwa, dan pleidoi atau nota pembelaan‎nya, Rudi mengaku sejak Juni hingga Juli 2013, banyak kalangan datang termasuk anggota DPR untuk meminta disediakan THR. Salah satu yang meminta adalah mantan Ketua Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana.
"Lebaran sudah dekat, kok tidak ada yang dapat dirasakan dari SKK Migas? Bahasa begini memang memberikan kegundahan pada diri saya, mengingat saya tidak punya amunisi dan pengalaman apa pun untuk melakukan hal yang disebut kebiasaan lama,‎" ungkap Rudi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 2014 silam.
ADVERTISEMENT
Ardi mengakui, Rudi memang menitipkan 300.000 US Dolar ke Ardi. Dari angka itu, sebesar 200.000 US Dolar kemudian diserahkan ‎Ardi ke anggota Komisi VII DPR periode 2009-2014 Fraksi Partai Demokrat Tri Yulianto. Uang sebagai jatah THR untuk Sutan.
Uang suap yang diterima Rudi di antaranya bersandi titipan, barang, tutup gendang, dan buka gendang.
Perkara Rudi dkk ini kemudian berkembang menjadi pengurusan di Komisi VII DPR terkait pembahasan dan pengesahan APBN Perubahan 2013 Kementerian ESDM.‎
ADVERTISEMENT
Dari fakta persidangan dan putusan Sutan, terungkap bahwa ada uang USD140.000 untuk Sutan yang diserahkan Rudi ke Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM saat itu Waryono Karno. Uang itu bersumber dari pemberiaan-pemberian yang diterima Rudi dari pihak-pihak terkait.
Singkat cerita uang tersebut sampai di tangan Sutan, setelah lebih dulu diambil Iryanto Muchyi selaku staf ahli Sutan saat itu pada Mei 2013. Uang tersebut untuk dibagikan Sutan ke para pimpinan Komisi VII (amplop berkode P) , 43 anggota Komisi VII (amplopp berkode A), dan Sekretariat Komisi VII (berkoede S).
Uang ini untuk pemulusan pembahasan dan persetujuan APBNP ESDM 2013 di DPR. Sutan sudah meninggal dunia dan almarhum sejak 2016.‎
Rudi kini masih menjadi terpidana, Ardi sudah bebas, dan Tri belum menjadi tersangka.
ADVERTISEMENT
Tanah Mal (2014)
Ade Swara (Foto: Fanny Octavianus/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Ade Swara (Foto: Fanny Octavianus/Antara)
Gelaran safari Ramadan setiap tahun merupakan agenda wajib bagi para pejabat. Termasuk Bupati Karawang periode 2010-2014 Ade Swara. Di tahun 2014, Ramadan kurun 29 Juni hingga 27 Juli. Kamis, 17 Juli malam Ade Swara melakukan safari Ramadan. Selepas acara safari Ramadan yakni Jumat, 18 dini hari Ade dicokok tim KPK.
Sesaat sebelum Ade, tim KPK lebih dulu menangkap istri Ade sekaligus anggota DPRD Karawang saat itu Nurlatifah pada Kamis, 17 Juli malam.
Uang yang disita saat penangkapan ini sebesar USD424.349 (setara saat itu Rp5 miliar). Mulanya penerimaan ini disangkakan dan didakwakan dengan delik pemerasan dalam jabatan. Uang ini terkait pengurusan izin penerbitan Surat Permohonan Pemanfaatan Ruang (SPRR) yang diajukan PT Tatar Kertabumi (PT Agung Podomoro Land/APLN) untuk pembangunan mal di Karawang.
ADVERTISEMENT
Belakangan setelah menjalani proses persidangan hingga keluar putusan kasasi di Mahkamah Agung (Januari 2016), delik pemerasan berubah menjadi penerimaan suap. Karenanya majelis kasasi MA menolak mengembalikan USD424.349 ke PT Tatar Kertabumi. Majelis kasasi memutuskan merampas uang tersebut untuk negara
Dari fakta persidangan hingga pertimbangan putusan, uang USD424.349 tersebut bersandi 'spanduk'. Dalam persidangan, Nurlatifah mengakui uang itu memang diperuntukkan sebagai THR. Karena rencananya akan dibagi-bagikan sebagai THR ke masyarakat.
Ade dan Nurlatifah kini masih menjadi terpidana perkara suap dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Geger Pengacara Kondang (2015)‎
OC Kaligis (Foto: Dok. Antara)
zoom-in-whitePerbesar
OC Kaligis (Foto: Dok. Antara)
Bulan Ramadan di 2015 berlangsung kurun 18 Juni-16 Juli. Saat pelaksanaan puasa Ramadan masih berjalan, tim KPK turun ke Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) dan melakukan OTT pada Kamis, 9 Juli.
ADVERTISEMENT
Kamis itu tim KPK menangkap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan saat itu Tripeni Irianto Putro, hakim PTUN Medan saat itu Dermawan Ginting, hakim PTUN Medan saat itu Amir Fauzi, panitera sekaligus sekretaris PTUN Medan saat itu Syamsir Yusfan, dan pengacara pada kantor hukum Otto Cornelis (OC) Kaligis saat itu bernama M Yagari Bhastara Guntur alias Gary.
Tim KPK sempat memburu keberadaan OC Kaligis, pengacara kondang yang pernah menuliskan dan menerbitkan buku "Manusia Sejuta Perkara O.C. Kaligis'. Perburuan Kaligis karena yang bersangkutan bagian dari rangkaian penyerahan uang dalam OTT tersebut.
Selang lima hari, tim mengunci posisi Kaligis yang sedang berada di Jakarta. Tim lantas menciduk Kaligis di Hotel Borobudur pada Selasa, 14 Juli. Status Kaligis ketika itu sudah resmi menjadi tersangka.
ADVERTISEMENT
Saat OTT di Medan, tim KPK menyita 15.000 Dolar AS. Disusul kemudian dari hasil penggeledahan lanjutan disita 7.000 Dolar AS. Suap terkait pengurusan putusan perkara yang digugat kantor hukum Kaligis di PTUN Medan.
Dari fakta persidangan dan pertimbangan putusan para pihak, terungkap dan dipastikan bahwa seluruh uang suap bersumber dari Gubernur Sumatera Utara saat itu Gatot Pujo Nugroho.
Penyerahan terakhir kepada hakim dan panitera PTUN Medan sesaat sebelum OTT sebesar 5.000 Dolar AS sebagai uang jatah THR untuk hakim Tripeni. Uang suap ini disandikan di antaranya dengan 'titipan' dan 'buku'.
Sandi buku dipakai karena uang dimasukan dalam amplop dan diselipkan dalam buku. Penyerahan dilakukan setelah ada permintaan dari Syamsir untuk THR Tripeni yang akan cuti Lebaran.
ADVERTISEMENT
Penangkapan, penetapan tersangka, hingga persidangan perkara suap pengurusan perkara ini menyita perhatian publik. Selain itu akibat dari perkara ini, pelaksanaan operasional kantor hukum Kaligisi 'mati suri', bahkan hampir tidak berjalan sama sekali.
Tripeni, Darmawan, Amir, Syamsir, Gary, dan Kaligis sudah divonis sebelumnya dan perkara mereka sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).‎
Infrastruktur Primadona (2016)
‎Tahun 2016 boleh disebut sebagai tahun di mana infrastruktur menjadi primadona untuk pengurusan sehingga terjadinya suap. Sedikitnya ada dua kasus pengurusan anggaran infrastruktur di antaranya terkait proyek jalan di beberapa daerah.
Pertama, mengawali tahun 2016 KPK melakukan OTT pada Rabu, 13 Januari malam. Para pihak yang diangkut di antaranya anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP saat itu (kini dipecat) Damayanti Wisnu Putranti dan Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan, penangkapan ini bukan berlangsung pada bulan Ramadan. Karena bulan Ramadan di 2016 berlangsung 6 Juni hingga 5 Juli.
Hanya saja, dari penangkapan Damayanti, Khoir, dkk tersebut terbuka dan terungkap alokasi uang suap yang diperuntukkan juga untuk kebutuhan THR Idul Fitri dan THR Idul Adha 2015 serta tunjangan untuk tahun baru 2016.
Tiga tunjangan itu terungkap KPK menetapkan dan membawa perkara atas nama penerima suap lebih Rp 42,5 miliar, Amran HI Mustary selaku Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Kementerian PUPR Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara ‎(Malut) saat itu.
Pengumuman resmi penetapan Amran sebagai tersangka dilakukan KPK pada 27 April 2016. Penetapan Amran sebagai tersangka merupakan hasil pengembangan penyidikan Damayanti, Khoir, dkk.
ADVERTISEMENT
Secara umum kasus (perkara) suap para pihak terkait pengurusan program aspirasi para anggota dan pimpinan Komisi V DPR dalam bentuk proyek dalam APBN 2016 Kementerian PUPR dan pekerjaan proyek-proyek infrastruktur di BPJN IX.
Berdasarkan fakta persidangan dan pertimbangan putusan para terpidana termasuk putusan Amran, dari uang-uang yang Amran terima ada yang dipakai dan disetorkan ke beberapa pihak untuk sejumlah kepentingan. Di antaranya uang miliaran rupiah untuk THR Idul Fitri 2015, THR Idul Adha 2015, THR Natal 2015, dan tahun baru 2016. Uang tersebut mengalir ke lebih puluhan orang pejabat Kementerian PUPR dan sejumlah pejabat BPJN IX.
Meski sempat membantah, belakangan Amran mengakui pemberian dan penyerahan uang tunjangan tersebut. Perutukkan kebutuhan tunjangan-tunjangan tersebut diakui sang pemberi suap, Khoir. Kebutuhan itu juga berkaitan dengan alokasi suksesi dan keterpilihan Amran sebagai kepala BPJN IX. Total untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut tutur Khoir, sekitar Rp 8 miliar.
ADVERTISEMENT
Uang tersebut berasal dari para kontraktor. Di antaranya Khoir, pemberi Komisaris Utama PT Cahayamas Perkasa So Kok Seng alias Tan Frenky Tanaya alias Aseng (divonis 4 tahun penjara), dan Direktur PT Sharleen Raya (Jeco Group) Hong Arta John Alfred.‎
"Dana itu untuk karena Pak Amran butuh untuk keperluan dana sukesi beliau sebagai kepala Balai (BPJN IX) dan THR untuk pimpinannya (di Kementerian PUPR)," tegas Khoir di Pengadilan Tipikor pada 2016.
Meski di awal sempat membantah peruntukkan alokasi uang untuk kebutuhan-kebutuhan di atas, belakangan Amran sedikit mengakuinya.
ADVERTISEMENT
Selain itu para kontraktor rekanan BPJN IX lainnya juga mengakui tentang kebutuhan THR tersebut. Di antaranya Direktur CV Gema Gamahera Aunurofiq Kemhay dan Komisaris PT Hijrah Nusatama Rofiah Binti Umar. Aunurofiq dan Rofiah memastikan ada permintaan uang untuk Hari Raya Natal 2015 dan tahun baru 2016. Aunurofiq memberikan Rp 910 juta pada Desember 2015 dan Rofiah memberikan Rp 1,2 miliar pada Desember 2015.
Damayanti, Khoir, Amran, Aseng, dan enam pihak lain sudah menjadi terpidana dan putusannya sudah inkracht.
Nah, kali ini tepat pada bulan Ramadan 2016. Sepanjang 28 hingga 29 Juni, KPK menangkap I Putu Sudiartana selaku anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat saat itu, sekretaris pribadi Putu bernama Noviyanti, orang dekat Putu bernama Suhemi, Direktur Utama PT Fakta Nusa Ciptagraha sekaligus pendiri Partai Demokrat Provinsi Sumatera Barat Yogan Askan, dan Suprapto selaku Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
ADVERTISEMENT
Nah yang luar biasanya dan sebenarnya cukup nahas, pada Selasa, 28 Juni sore Putu beserta pimpinan dan anggota Komisi III DPR menghadiri buka bersama puasa dengan pimpinan KPK dan jajaran di gedung lama KPK, Kavling C1, Kuningan.
Putu yang hadir bukber dengan kemeja putih dibalut jas hitam dengan pin DPR bahkan sempat berfoto dengan Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengenakan batik bercorak lengan panjang. Putu dan Agus terlihat mengumbar senyum.
Saat OTT KPK menyita uang tunai termasuk yang ada dalam rekening dengan nilai totak Rp500 juta. Suap Rp 500 juta tersebut agar Putu membantu pengurusan penambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) Sarana dan Prasarana Penunjang Tahun Anggaran 2016 untuk Provinsi Sumbar dalam APBN Perubahan 2016, dengan nilai Rp 530,76 miliar hingga Rp 620,76 miliar.‎ Di antaranya untuk proyek jalan.‎
ADVERTISEMENT
Uang suap yang diminta dan diterima Putu diubah dengan sandi 'amunisi', 'meter, 'sekilo', 'barang' hingga 'kaleng susu 500'. Berdasarkan fakta persidangan, Suprapto memastikan diminta Suhemi untuk menyediakan dana sebagai 'keperluan lebaran Partai Demokrat'.
Selain itu dalam fakta persidangan, Noviyanti pernah diperintah Putu untuk mentransfer Rp 150 juta ke rekening Djoni Garyana (teman Putu). Djoni mengakui uang yang diterima itu sebagai THR karena menjelang Lebaran. Transfer dan penerimaan melalui rekening ini sebelum terjadi OTT KPK.
Selama ditangani KPK hingga sebelum pemeriksaan terdakwa dan putusan, Putu sempat membantah tidak terlibat dan tidak menerima suap. Rupanya saat diperiksa sebagai terdakwa dan usai sidang putusannya ditutup, Putu mengakui bersalah dan menyesal atas atas perbuatannya. Dia meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya konsituennya di Bali serta kepada pimpinan dan anggota Komisi III DPR.‎
ADVERTISEMENT
Putu, Noviyanto, Suhemi, Yogan, dan Suprapto sudah divonis pidana penjara dan putusannya sudah inkracht.‎
'Jual Beli' Audit BPK (2017)
Gedung BPK  (Foto: Ela Nurlaela/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung BPK (Foto: Ela Nurlaela/kumparan)
Berpindah ke tahun 2017. Dari hasil penyelidikan atas laporan masyarakat, pada September 2017 KPK menetapkan dua tersangka terkait dengan pengurusan pengubahan hasil temuan BPK atas audit Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap pengelolaan pendapatan usaha, pengendalian biaya, dan kegiatan investasi PT Jasa Marga (persero) Tbk Cabang Purbaleunyi tahun 2015 dan 2016. Temuannya terkait pekerjaan pemeliharaan periodik, rekonstruksi jalan, dan pengecatan marka jalan. ‎
Ada dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Pertama, sebagai pemberi Setia Budi selaku Mantan General Manager PT Jasa Marga (Persero) Tbk Cabang Purbaleunyi saat itu.
Tersangka pemberi, Sigit Yugoharto selaku auditor madya pada Subauditorat VII.B.2 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merangkap merangkap Ketua Tim Pemeriksa BPK atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) pada PT Jasa Marga (persero) Tbk saat itu.‎
ADVERTISEMENT
Waktu pengumuman penetapan tersangka, suap yang diserahkanterimakan adalah satu unit motor Harley Davidson Sportster 883 keluaran tahun 2000 dengan nomor polisi B 5662 JS dari Setiabudi seharga Rp115 juta.
Selama persidangan kemudian terungkap fakta-fakta persidangan hingga tertuang dalam putusan atas nama Sigit dan Setia, bahwa suap yang diberikan tidak hanya motor gede tadi. Tapi ada tiga item lain.
Pertama, fasilitas hiburan malam berupa karaoke dengan ditemani wanita pemandu lagu di Las Vefas Plaza Semanggi, Jakarta Selatan dengan total biaya Rp 66,156 juta pada 3 dan 11 Agustus 2017. Fasilitas hiburan malam ini bersandi 'rapat malam'.
Saat pelaksanaan fasilitas hiburan malam selain Sigit juga hadir lima auditor BPK yakni Epi Sopyan, Bernat S Turnit, Andry Yustono, Kurniawan Setiawan Sutarto alias Iwan, Imam Sutaya, Roy Steven, dan Fahsin Pratama.
ADVERTISEMENT
Uang hiburan malam pada 3 Agustus 2017 dibayarkan oleh Genera Manager Operasional PT Marga Maju Mapan (PT 3M) Totong Heryana yang diambil dari kas PT 3M. Uang 'rapat malam' pada 11 Agustus berasal dari Setia dan Sucandra P Hutabarat selaku Deputi GM Maintenance Service Management PT Jasa Marga (persero) Tbk Cabang Purbaleunyi.‎‎
Ketiga, Sigit beserta beberapa anggota Tim Pemeriksa BPK telah menerima uang THR dari PT‎ Jasa Marga (persero) Tbk Cabang Cawang Tomang Cengkareng pada Juni 2017. Sigit menerima Rp 7,5 juta dan anggotanya menerima masing-masing Rp 2 juta.
Keempat, Sigit bersama Tim Pemeriksa BPK juga menerima fasilitas rapat dan menginap ‎di Hotel Best Western Jakarta sebesar Rp 32,6 juta, yang biayanya berasal dari kantor pusat PT Jasa Marga (persero) Tbk.‎
ADVERTISEMENT
Setia sudah divonis dan kini menjadi terpidana penjara 1 tahun 6 bulan. Pada Kamis, 7 Juni 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Muhammad Arifin memvonis Sigit dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
KPK Tidak Mungkin Berhenti
Gedung baru KPK di Kuningan, Jakarta. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung baru KPK di Kuningan, Jakarta. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
Pisau penindakan KPK dalam proses OTT di bulan Ramadan dan penanganan perkara (kasus) sehubungan dengan peruntukkan uang suap untuk kebutuhan THR bisa dipastikan tidak akan pernah berakhir dan berhenti.
Bagaimana pun kalau masih ada yang melakukan korupsi baik dalam delik suap-menyuap, penerimaan gratifikasi, pemerasan dalam jabatan atau yang mengakibatkan kerugian negara, maka langkah penindakan KPK tetap akan berlangsung. Pisau penindakan KPK akan terus memakan 'korban'.
ADVERTISEMENT
Lantas siapa yang akan menjadi 'korban' berikutnya? Ah, baiknya kita tunggu dan simak saja. Pertanyaan berikutnya adalah apakah masih ada mau dan berani?