Sepenggal Memori Sebelum Malam Turun

Safira Ginanisa
Journalism Student (State Polytechnic of Jakarta)
Konten dari Pengguna
11 Mei 2020 15:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Safira Ginanisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi foto: Paolo Bendandi/Unsplash
Sebelum malam turun, ia mengupas kulit mangga, memotong dagingnya menjadi beberapa bagian kecil yang bisa dikunyah oleh gigi susuku. Pita ingatan itu begitu pendek, cukup menghangatkan hati, yang langsung menuju bagian selanjutnya; jam dinding yang menunjuk ke angka tujuh dan sepasang mata yang perlahan terpejam. Kehangatan di hatiku dalam sekejap menghilang.
ADVERTISEMENT
Memori masa kecilku terhenti di antara usia 4 dan 5 tahun. Lebih jauh dari itu, aku tidak bisa mengingat apa-apa. Beberapa lembar fotoku sebelum aku masuk taman kanak-kanak hanya menjadi kenangan yang tidak dapat bertengger manis di dalam kepalaku. Aku tidak ingat awal mula diriku bisa membaca, menulis, dan berhitung. Sejauh yang aku tahu, saat aku memakai seragam putih hijau khas taman kanak-kanak di seberang rumah, aku sudah bisa melakukan sedikit banyak hal, dan nenekku adalah orang yang paling berjasa untuk semua pencapaian yang aku lakukan saat kecil.
Sebelum Nenek berpulang pada 2004, kami tinggal di bawah atap yang sama. Berdasarkan cerita Ibu, Nenek yang mengajariku mengenal huruf dan angka dari usiaku 3 tahun. Waktu itu, Ayah dan Ibu sibuk bekerja sehingga banyak momen kali pertama yang kulewatkan hanya bersama Nenek. Meskipun aku tidak bisa mengingat prosesnya, namun ada satu potongan memori yang samar-samar; gambaran versi kecilku duduk di sofa ruang tamu bersama Nenek dan sebuah buku bergambar terbuka di antara kami.
ADVERTISEMENT
Sepanjang ingatan, Nenek tidak pernah memarahiku. Perasaan tiap kali mengingatnya adalah penuh rindu. Nenek memiliki 13 cucu—ibuku merupakan enam bersaudara—namun di antara semuanya, bisa dikatakan akulah yang paling dekat. Selain kami tinggal serumah, aku kerap ikut ke tempat-tempat yang Nenek kunjungi. Ia juga sering memberikanku sesuatu. Pemberiannya yang paling kuingat adalah alat tulis. Aku punya berbagai macam kotak pensil, penghapus, rautan, hingga pensil warna.
Nenek merupakan kombinasi antara kebaikan dan kehangatan. Ia memiliki telinga yang benar-benar mendengarkan, kedua tangan yang selalu memberi pelukan, dan hati yang terbuat dari emas.
Butuh waktu lama bagiku untuk bisa terbiasa tanpa kehadirannya. Menjadi orang pertama yang melihatnya mengembuskan napas terakhir, selalu melekat dalam ingatan. Hari itu bulan Desember. Hujan turun cukup deras. Lantunan suara Ibu yang menuntun kepergian Nenek terdengar jauh, kendati aku berdiri begitu dekat dengan mereka. Pengingat yang membawa rasa rindu, sedih, dan sesal. Pengingat yang memunculkan sebuah pertanyaan, apakah aku pernah membuatnya merasa bahagia?
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya yang berjudul Breakfast at Granny’s, Catherine Pulsifer mengatakan bahwa seorang nenek selalu punya waktu untuk cucunya, untuk bicara, mendengarkan, dan bercerita, untuk membuat cucunya merasa spesial. Bagiku, kutipan itu tidak bisa terasa lebih tepat lagi. Nenek selalu memberiku rasa gembira melalui tindakan-tindakan sederhananya. Masa kecil yang kulalui tidak memiliki satu pun kenangan buruk. Memori bersamanya terasa bermakna dan berharga. Namun, apakah Nenek merasakan hal yang sama? Begitu banyak yang telah ia berikan, cukupkah dengan memberi membuatnya bahagia?
Hanya doa yang mampu kupanjatkan, sambil menyebut nama-Nya, berharap suatu saat dapat dipertemukan kembali dan mendapat jawaban.
(Safira Ginanisa/Politeknik Negeri Jakarta)