Rara is Lala

Salika Najiyya
Buruh migran Hong Kong, yang ingin selalu mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Berkarya dan terus berkarya dalam bidang apapun. Facebook Salika Najiyya
Konten dari Pengguna
20 Mei 2018 1:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salika Najiyya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Distrik Wan Chai
Namaku Ra. Menginjak umur 21 tahun, aku memutuskan untuk merantau ke negara pemain film yang ganteng dan banyak digandrungi oleh teman-teman seumuran, Andi Law. Negara asing yang sebelumnya hanya dapat aku lihat melalui film di televisi. Namun kini, kaki ini sudah berpijak di bumi Hong Kong.
ADVERTISEMENT
Aku meninggalkan penampungan yang sudah menjadi tempat belajar sementara dan menjembatani untuk bekerja ke Hong Kong. Enam bulan, bukan waktu yang sebentar bagiku. Sebab selama itu, aku harus mematuhi peraturan PJTKI yang akan memberangkatkan.
Masa enam bulan yang kulalui, merupakan masa di mana kebebasanku terkekang. Aku dalam karantina, sampai ada seorang majikan yang memilih.
Masa-masa sulit di penampungan sudah aku jalani. Ada secercah harapan, ketika berita turunnya visa kuterima. Itu berarti tak lama lagi, penampungan yang mengerikan akan segera aku tinggalkan. Begitupun dengan sahabat baikku selama di penampungan.
Mereka menangis mendengar aku turun visa terlebih dahulu. Mereka adalah teman-teman yang akan mengadu nasib di negeri bauhinia itu.
ADVERTISEMENT
Ada Yuli, Mbak Is, Karmini, Mbak Likah tetanggaku dan juga teman-teman yang sudah mengarungi suka duka bersama di sana. Semoga keberangkatanku senantiasa membawa berkah untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Bayangan akan gaji tinggi sudah di hadapan. Ketika seorang perempuan sekira berumur 50 tahunan tersenyum kepadaku. Ialah Mrs. Chan, majikan yang akan mempekerjakanku di rumahnya.
Perempuan yang tampak begitu ramah, memperkenalkan diri sebagai Nyonya yang memilihku. Rupanya beliau adalah seorang perempuan bermarga Chan.
Dalam pikiranku sebelumnya, Chan adalah nama seorang majikan laki-laki. Namun perkiraan itu salah. Aku baru mengerti, bahwa marga Chan bisa digunakan untuk nama laki-laki dan perempuan.
Menit demi menit berlalu. Setelah menandatangani perjanjian dengan agen, Mrs Chan mengajakku pulang. Dalam perjalanan, beliau menjelaskan tugas apa saja yang harus aku kerjakan.
ADVERTISEMENT
Mulai pukul 6:00 pagi aku harus bangun dan menyiapkan kedua putrinya berangkat sekolah. Sarapan pagi, nguncir rambut sekaligus mengantar ke halte Bus. Siang hari memasak untuk putrinya, dan belanja untuk makan malam. Jadwal les Piano, Renang, Melukis dan les-les lainnya harus aku ingat.
Sesampainya di sebuah gedung, perempuan itu mulai menunjukkan alamat rumahnya. Flat D, 14/F, Block 3. Di loby apartemen, beliau juga memperkenalkanku dengan security di sana.
Aku masih sedikit bingung dengan bahasa Mrs. Chan yang begitu cepat. Sehingga sesekali beliau menggunakan bahasa inggris juga isyarat supaya aku mengerti. Jujur saja, bekal bahasa kantonisku sangat minim. Karena sewaktu di penampungan aku di PKL kan di Surabaya sampai dapat kabar visa turun.
ADVERTISEMENT
Aku baru kembali ke penampungan dan bersiap-siap, dua minggu sebelum keberangkatanku ke Hong Kong. Sehingga bahasa kantonis yang kuhafal saja bisa terlontar saat menjawab pertanyaan Nyonya.
Hai, Emhai, Yu, Emyu, Ngo, Lei, dan beberapa kosakata nama tempat yang kuhafal saja. Selebihnya aku menggelengkan kepala jika tidak mengerti. Untung saja aku sedikit mengerti bahasa Inggris, sehingga bisa menangkap apa yang dikatakan Mrs. Chan.
Di ruangan berubin kayu, dengan dekorasi dinding bergambar batik warna cream, beliau menunjukkan kamarku dan juga beberapa tempat di dalam rumah berukuran 700 square itu. Terdapat 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, toilet mini, dapur dan ruang tamu.
“Ini kamarnya LingLing, kamu tidur di atas dan dia di bawah. Sebuah ranjang susun berukuran minimalis ditunjukkan padaku. Tampak seorang anak laki-laki sedang bermain komputer, ia sangat sinis melihat kedatanganku. Senyumku tak terbalas.
ADVERTISEMENT
Di kamar lain, seorang bocah sedang belajar. Bocah kecil berumur 6 tahun itu mengerlingkan mata sambil mengulurkan tangan.
“Namaku ChingChing.
“Lei hou ma?” Apakabar? Bocah itu sangat ramah dalam menyambut kedatanganku. Sehingga kegalauan hati karena muka masam kakaknya menjadi sirna.
Hari pertama bekerja, Nyonya mengajariku banyak hal. Mulai dari bahasa kantonis hingga memasak chinese food. Pada triwulan pertama, aku sangat tegang, karena harus mampu menyesuaikan diri menjadi seorang pembantu yang di tuntut untuk bekerja secara professional.
Sedangkan bahasa kantonis yang kupelajari di PJTKI tempat menuntut ilmu sebelum berangkat, tidaklah sama dengan apa yang aku dengar dari orang-orang china di hadapan sekarang ini.
Tak jarang, aku kena marah anak asuh, karena ketidakmengertianku tentang bahasa.
ADVERTISEMENT
“Lei hou jon a.” Kamu bodoh sekali, umpatnya. Namun, dengan penuh perhatian, Mrs. Chan mengajariku. Beliau juga menegur putrinya agar lebih sopan dalam mengajari bahasa mereka.
Tiga bulan masa percobaan telah kulewati. Mrs. Chan tetap mempekerjakanku, walau masih harus banyak belajar hal baru. Untuk itu, di libur pertama setelah masa tiga bulan berlalu, aku langsung menuju agen guna belajar bahasa.
Saat itu aku tersesat ketika naik kereta listrik. Dan beruntung bertemu seorang perantau dari Filipina. Perempuan bermata sipit yang juga mempunyai lesung pipit, telah menunjukkan jalan ke agen. Kemudian ia menjadi sahabat pertamaku sampai aku bertemu dengan kawan Indonesia lainnya.
Minggu yang menggemaskan, aku memakai baju baru yang diberi Mrs. Chan. Dengan bangga, aku bercerita kepada agen, bahwa majikan sangat baik hati. Kemarin, beliau memberiku baju baru.
ADVERTISEMENT
“Miss, gimana cara mengatakan terimakasih karena Nyonya sudah memberiku sebuah baju.”
“Bilang saja, Toce Dhai-Dhai"(Terimakasih Nyonya).”
Aku mengulang beberapa kali sampai logat serta nadanya enak di dengar. Waktu seharian kuhabiskan di agen dan belajar bahasa dari teman-teman BMI yang ada di sana. Hingga menjelang malam, aku baru pulang.
Agenku beralamat di Hennessy Road, Wan Chai. Sebuah kota yang ramai dan terkenal dengan banyak Bar di sana. Aku masih awam, ketika beberapa teman menyebutkan nama-nama Bar di sekitar. Bahkan di antara mereka ada yang sering ke tempat itu.
Aku pun jadi penasaran seperti apakah Bar itu. Dalam bayanganku isinya adalah orang yang identik dengan minuman dan disco. Ah, entahlah.
ADVERTISEMENT
Senja berganti malam, aku harus segera pulang. Sebab Mrs. Chan berpesan sebelum jam 09:00 malam aku sudah harus di rumah.
Libur hari pertama ini begitu melelahkan, tapi juga menggembirakan. Setelah tiga bulan berada dalam karantina dan tidak boleh libur, aku mulai merasakan betah kerja di Hong Kong. Karena sudah menerima gaji pula. Semangatku kian meluap saat bisa mengirim uang kepada keluarga.
****
Rembulan malam telah melangit. Gemerlap bintang bertaburan. Tampak jelas terlihat dari balik Jendela kamarku. Nyonya memanggil.
“Lala, Kemarilah. Nyonya tidak bisa memanggil namaku Rara, karena tidak bisa menggunakan huruf R, sehingga ia memanggilku Lala.
“Iya, Nyonya. Ada apa?”
“Bagaimana liburanmu hari ini?”
“Saya ke agen guna belajar Bahasa Kantonis, Nyonya.”
ADVERTISEMENT
“Bagus …! Tadi belajar apa saja?”
Aku mengambil kertas dan membacanya satu persatu. Ada beberapa pengucapan yang harus dibenarkan oleh Nyonya. Ia sangat telaten mendengarkanku. Pada kalimat terakhir, aku mengucapkan terimakasih atas pemberian bajunya. Tetapi Nyonya melongo.
“Baju yang mana?”
Aku bergegas ke kamar, mengambil baju yang hendak aku cuci esok pagi.
“Ini Nyonya.”
Dengan senyum mengembang kuperlihatkan baju rajut berwarna merah maron itu.
“Agen bilang, ini baju mahal, terimakasih sudah memberiku baju ini.”
“What?” Nyonya terkekeh keheranan melihatku kebingungan.
“Lala, baju ini tidak kuberikan padamu, tapi aku menyuruhmu untuk mencuci, menyeterikanya karena akan aku pakai besok.”
“Haaaaa?” Aku garuk-garuk kepala, ternyata aku salah paham. Aku tak dapat menangkap ucapan Nyonya dan Isyarat yang ditujukan padaku.
ADVERTISEMENT
“Iam so sorry.”
Mukaku merah padam. Namun perempuan itu dengan sabar menjelaskannya sambil tangannya dilingkarkan di pundak ini.
“Tidak apa-apa, besok kamu cuci kembali dan berikan padaku jika sudah selesai di seterika.”
Aku tersenyum malu, kemudian berpamitan untuk beristirahat. Bersyukurnya aku karena Mrs. Chan tidak memarahiku ataupun minta ganti karena kesalah pahaman tersebut.
Aku berpikir keras, bahwa dengan kejadian ini menjadi salah satu pengalaman, di mana aku harus belajar lebih giat lagi soal bahasa. Dikhawatirkan jika terjadi kesalahpahaman yang lain dan bisa berakibat fatal.
Hari berganti hari. Aku semakin kerasan, terlebih setelah masa potongan habis. Aku mulai mengirimkan uang gajiku kepada keluarga di rumah. Hingga masa kontrak 4 tahun dapat kulalui dengan suka cita.
ADVERTISEMENT
Aku pulang dan menikah. Hasil kerjaku selama empat tahun untuk membayar hutang-hutang di Indonesia, membeli tanah dan membeli stand bunga.
Kini tanah tersebut sudah berdiri sebuah rumah dan toko kecil, sebagai ladang penghasilan tambahan untuk keluarga kecilku.
Aku bersyukur, setiap tetes keringatku selama bekerja di negeri beton membawa hasil. Beruntungnya aku punya orangtua yang bisa mewujudkan hasil jerih payahku hingga menjadi tempat tinggal keluarga kecil kami.
Buat teman-teman yang masih di Hong Kong, ingat sama tujuan pertama kali ke Hong Kong adalah untuk merubah nasib agar lebih baik. Untuk itu jangan lupa menabung di BRI. Yang aman dan terpercaya.
Yuk kita pulang ...!
ADVERTISEMENT