6 Tahun (Masih) Jadi Wartawan

Salmah
Editor kumparan.com
Konten dari Pengguna
12 November 2018 16:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salmah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
6 Tahun (Masih) Jadi Wartawan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Seperti kebanyakan wartawan lainnya, sebenarnya cita-cita saya awalnya itu bukan jadi wartawan. Dulu saya bercita-cita kerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga penelitian yang sesuai sama jurusan kuliah saya, Antropologi.
ADVERTISEMENT
Tapi ternyata, pekerjaan pertama setelah saya lulus kuliah itu malah jadi wartawan, tepatnya wartawan media online detikcom. Dan enam tahun berlalu, saya masih tetap jadi wartawan, tapi di tempat kerja yang berbeda #sekarangkumparan.
Kalau diingat-ingat, hari pertama liputan itu rasanya mau langsung resign ahahha. Coba banyangin, tahun 2012 lalu, belum ada ojek online. Kalau ke mana-mana harus naik angkutan umum, mau naik ojek pangkalan ongkosnya mahal, bisa tekor di kantong. Pulang liputan sakit (badan panas), paginya sembuh, malamnya sakit lagi, paginya sembuh. Begitu terus seminggu.
Hari pertama itu saya diminta korlip buat liputan ke Mabes Polri, tandem sama senior namanya Kang Andry. Dikasih tahu gimana cara liputan, deketin narasumber, caranya biar enggak bobol berita dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Waktu itu sehari saya bisa pindah-pindah 4 sampai 5 tempat, dari liputan ketemu orang berpangkat sampai ketemu kasus mayat. Waktu itu saya enggak punya motor, jadi harus naik TransJakarta, metromini, angkot sampai bajaj biar sampai ke lokasi liputan. Oh ya, jangan coba-coba niat terlambat sampai lokasi kalau enggak mau kena semprot atasan. Saya pernah sesekali telat (bukan disengaja ya) karena masalah di jalan yang kadang tak terduga, meski sudah berusaha sekuat tenaga, tetap aja nggak bisa datang tepat pada waktunya.
Menjadi wartawan baru di media online itu kayak masuk ke kawasan kawah berapi, sungguh ‘menantang’. Ya menantang dari segala aspek, harus siap diomelin kalau bobol berita, kerja nggak kenal waktu, berangkat dari matahari belum terbit, pulang matahari udah terbenam, sampai menguras perasaan dan air mata (tapi tetap aja mau jadi wartawan ya ahahaha). Bahkan saya sampai lupa (saking seringnya) berapa kali kena omel atasan gara-gara berita.
ADVERTISEMENT
Banyak cerita yang begitu membekas di hati selama liputan di lapangan. Cuma kalau ditulis semua, bakalan panjang banget. Jadi dipilih yang lucu-lucu aja deh ya ahahah.
Nyasar dan Naik Vooridger Pertugas Dishub
Kejadian lucu sekaligus memalukan ini saya alami pas liputan Joko Widodo. Kala itu, Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI yang kerjanya blusukan setiap hari, dari pagi sampai malam keliling Jakarta.
Saya ngepos di Balai Kota, rumah saya di Depok. Setiap hari, saya harus sampai di Balai Kota itu pukul 07.00 WIB, sebelum Jokowi dan wartawan lainnya dateng. Nah pulangnya sudah pasti yang paling akhir, sekitar jam 21.00 atau 22.00 WIB.
Hari itu, Jokowi mau mengecek daerah Bidara Cina, salah satu kawasan langganan banjir di Jakarta. Para wartawan Balai Kota sudah bersiap-siap ikut bapak liputan naik mini bus yang disediakan humas Balai Kota.
ADVERTISEMENT
Saya tak lupa mengabarkan agenda blusukan itu ke kantor dan diminta untuk laporan secepatnya setiap pergerakan Jokowi di sana. Berbekal Blackberry, saya memotret setiap gerak-gerik Jokowi di pinggir Sungai Ciliwung, sambil sesekali mengetik kalimat yang diucapnya. Semua dilakukan serba cepat.
Usai mengecek kondisi Ciliwung, Jokowi berpindah ke lokasi lain. Sesaat sebelum rombongan pergi, saya melihat ada bantuan yang diberikan Jokowi untuk warga di sana. Langsung saja saya foto-foto dan melapor ke kantor.
Usai laporan by phone, saya melihat sekeliling, dan ternyata rombongan Jokowi sudah hilang. Kemana perginya, saya mencari tapi tidak ketemu. Kawasan yang berbentuk gang sempit membuat saya semakin susah menemukan keberadaan si bapak.
Saya sempat berjalan menyurusuri jalan raya, mencari minibus yang tadi ditumpangi. Tapi hasilnya nihil. Pikir saya, "Wah ditinggal nih. Mana enggak bawa apa-apa, cuma HP doang dan batrenya sisa 1 persen," Zaman itu belum ngetrend power bank.
ADVERTISEMENT
Ketika kantor telepon untuk menanyakan update blusukan Jokowi, saya sempat mengangkat, namun tiba-tiba suara diujung telepon hilang, HP saya benar-benar mati total.
Takut rasanya waktu itu. Bukan takut nggak bisa balik ke Balai Kota, tetapi takut diomelin orang kantor gara-gara nggak bisa dihubungi.
Akhirnya dengan kondisi terpaksa saya memberanikan diri untuk memohon kepada petugas Dishub yang berjaga-jaga di sekitar. Saya minta di antar ke Balai Kota karena ketinggalan rombongan.
Beruntung, Bapak Dishubnya baik. Dia mengizinkan saya menumpang di vooridger-nya. Naik motor gede nggak pake helm pula. ahahhaha gila memang.
Sambil di jalan, saya lagi-lagi minta tolong untuk pinjam handphone Bapak Dishubnya. Saya bilang mau telepon kantor, ngabarin kalau hp saya mati.
ADVERTISEMENT
Bapak Dishub dengan baiknya meminjamkan saya HP-nya untuk menelepon kantor. Saya hubungi Mas Indra waktu itu yang ambil laporan saya. Dia tanya, kenapa tiba-tiba telepon mati dan enggak bisa dihubungi. Setelah mendengar cerita saya, cuma satu kata yang diucapin "Offset Lu" katanya waktu itu. Ahahaahah antara deg-degan sama kocak sih sebenernya.
Akhirnya saya selamat sampai Balai Kota berkat Bapak Dishub yang baik hati.
Oh ya, ternyata mobil humas Balai Kota itu enggak ninggalin saya. Sopirnya parkirnya pindah, dan mereka nunggu saya lama banget di Bidara Cina. HP saya mati, jadi enggak bisa dihubungi. Maaf ya teman-teman.
Ngejar Fustun Sampai Nyaris Dilempar Helm
Pengalaman lain yang masih membekas adalah ketika koordinator liputan (korlip) memberikan sebuah alamat di kawasan Jakarta Timur. Saya sempat tanya, alamat siapa itu. Tapi dijawab, udah berangkat aja sama bawa kamera (yang bagusan) buat foto-foto. Tanpa banyak protes, saya berangkat (kali ini udah kredit motor hehe).
ADVERTISEMENT
Mencari alamat memang jadi kerjaan sehari-hari sih. Cari narsum atau Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang belum pernah kita datangin sebelumnya. Akhirnya sampai di alamat yang dituju, sebuah rumah cukup besar. Rumah itu ternyata dihuni oleh Darin Mumtazah, istri muda mantan presiden PKS, LHI yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus korupsi sapi.
Saya melaporkan pandangan mata ke atasan di kantor dan diminta untuk mencari tahu lebih dalam soal sosok Darin. Saya muter-muter cari Pak RT, nanya-nanya tetangga kanan-kiri. Akhirnya berita pertama soal Darin tayang. Berita kedua, ketiga, keempat terus-terusan tayang.
Ternyata berita saya itu, jadi perhatian media-media lain. Banyak wartawan yang BBM dan SMS nanya alamat rumah Darin. Saya pastinya koordinasi dulu sama kantor apakah boleh alamat itu diberikan ke wartawan lain.
ADVERTISEMENT
Akhirnya menjelang sore, saya baru dizinkan membagikan alamat itu ke teman-teman lain. Meski sore itu sudah banyak juga wartawan yang datang ke lokasi, mereka tahu bukan dari saya, entah dari mana.
Malam hari saat suasana sudah sepi, saya baru dizinkan balik kanan. Besoknya, saya diminta untuk kembali ke rumah Darin, mencari di mana keberadaannya. Soalnya sejak saya tiba di rumahnya kemarin, rumah dalam kondisi kosong. Hanya ada seorang perempuan yang keluar-masuk rumah. Dia mengaku ibunya Darin, tapi Darin tak ada di rumah, entah di mana.
Hampir seminggu lebih saya ngetem di sana, sampai kenal sama satpam sekitar dan ibu-ibu yang biasa kumpul di warung.
Hingga pada suatu malam, saya berbicara dengan ibunya Darin, dan bertanya di mana keberadaan anaknya. Bukan jawaban yang didapat, saya malah nyaris dilempar helm yang sedang dipegangnya. Saya diusir, enggak boleh datang lagi. Sedih rasanya, mau nangis. Tapi ya gimana, terima nasib aja.
ADVERTISEMENT
Besoknya, saya masih kembali ke sana (disuruh kantor sih), berjaga kalau-kalau Darin pulang. Tapi tetap saja yang dicari tak kunjung datang. Sampai akhirnya saya mendapat bantuan teman sekantor, Ikhwanul Habibi, namanya. Dia berjaga di rumah Darin yang lain. Sekitar 1 kilo dari tempat saya berjaga. Lumayan membantu, jadi saya tidak harus bulak-balik kan.
Oh ya, rumah Darin satunya itu saya dapat info dari ibu-ibu yang sering saya ajak ngobrol. Tiba-tiba dia berbisik, "Mba saya tahu rumah kontrakan Darin sama ibunya sekarang". Saya langsung meminta agar di antarkan ke sana. Saya sempat menunggu di warteg yang lokasinya persis di depan kontrakan. Seharian saya di duduk di warteg mengamati rumah itu (kayak apaan aja kan) ahahah.
ADVERTISEMENT
Bedrest 5 Bulan
Ada masa di mana tubuh ini harus menyerah. Saya terserang penyakit paru-paru. Harus minum obat berbulan-bulan dan disuntik setiap hari selama 2 bulan.
Minum obat yang enggak ada abis-abisnya itu membuat kolesterol asam urat meningkat. Akibat badan saya benar-benar drop dan harus istirahat total berbulan-bulan, ambil cuti di luar tanggungan.
Saya sempat mengajukan resign, tetapi kantor menolak. Saya diminta fokus untuk proses penyembuhan saja waktu itu.
Proses pemulihan sekitar 5 bulan, setelah itu saya masuk ke kantor. Rasanya nggak enak cuti kelamaan. Dengan badan yang masih lunglai, saya kerja dari kantor, bantu garap berita.
Berangsur-angsur akhirnya saya benar-benar pulih. Kadang sesekali masih suka turun lapangan hehehe.
ADVERTISEMENT
Empat tahun saya menimba ilmu di kantor lama, hingga seseorang menelpon dan mengajak saya untuk gabung di kumparan. Galau dan bingung banget waktu itu, tapi dipikir-pikir enggak ada salahnya mencoba hal baru. Orang-orang di kumparan juga sudah dikenal, jadi harusnya tidak ada masalah.
#Sekarangkumparan
Hampir 2 tahun saya di kumparan, sesuai dengan usia lahirnya kumparan. Kerja di media yang baru memang harus stronggg. Waktu kerja yang lebih, usaha yang lebih dan pemikiran/ide-ide yang lebih. Semua harus serba lebih pokoknya.
Berbeda dengan di kantor lama, di sini saya lebih banyak bekerja di kantor. Memantau isu, mengedit berita, dan koordinasi ke sana ke mari. Terkadang kangen rasanya ingin turun lapangan lagi, tapi badan kayaknya sudah tidak mendukung ahahahha.
ADVERTISEMENT
Oh ya di sini juga, saya akhirnya ikut uji kompetensi wartawan tingkat Madya. Hal yang belum pernah dibayangin sebelumnya bisa ikutan ini. Proses ujiannya seharian dan menguras tenaga dan pikiran, materi ujiannya sama seperti yang sehari-hari dikerjakan. Hasilnya, saya lulus, Alhamdulillah ya.
Dua tahun kumparan, semoga bisa terus berkarya dan maju bersama.