Kampret (9)

Siang ini aku memang mendadak malas bawa motor. Biasanya aku selalu berangkat awal. Bukan sok rajin, tapi biar bisa memutuskan, apakah hari itu bakal masuk atau bolos. Biasanya aku butuh sekitar 15 menit untuk mengambil keputusan. Kalau memutuskan bolos, aku bisa melenggang bebas keluar gerbang yang masih terbuka lebar. Tak akan ada guru atau satpam yang bakal curiga dan mengejar-tangkapku.

Strategi yang kuimani cukup efektif dibanding cabut di tengah jam pelajaran. Repot sekali. Harus mengendap-endap dan panjat pagar samping sekolah segala. Lebih enak pagi-pagi. Matahari dan udara masih segar, menyambut kemalasan belajar hari itu.

Rel kereta api di samping sekolah aku lompati. Aku melangkah menuju ke sebuah SMA yang terkurung lingkungan sempit warga. Ibu pernah mengeluh, kenapa aku tak mau pindah ke sekolah lebih elit di kawasan Setiabudi. Aku sudah pasti menolak. Mahal. Ditambah aku tidak mau pisah sekolah lagi dengan Levi. Ibu tidak berkutik saat aku bilang, lebih baik uangnya diatur buat Kak Alma kuliah.