Virus corona! Pilkada mundur atau lanjut?

Samsul Ma'arif
mahasiswa ekonomi islam semester 7, sedang menjalankan KKN dan sedang berusha menyeesaikan skripsi
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2020 10:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Samsul Ma'arif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
2020 merupakan tahun yang mungkin kelam bagi kehidupan didunia termasuk kehidupan negara kita indonesia, kelam disini bukanlah seperti tragedi pembunuhan enam jendral dan satu perwira oleh PKI, meskipuan setiap tahun isunya selalu dijadikan sebagai komoditas politik oleh kelompok tertentu. Kelam disini diartikan sebagi diterpanya indonesia oleh virus corona.
ADVERTISEMENT
Tepat pada tanggal 2 Maret 2020, Presiden Jokowidodo mengummukan kasus pertama terkonfirmasinya positif virus tersebut, terdapat dua orang yang dinyatakan positif. Meskipun, banyak pihak yang menilai sebenernya jauh lebih banyak dari sekedar dua orang tersebut. Bahkan samapai saat ini tercetat sudah lebih dari 300,000 kasus.
Polemik, virus corona semakian memanas ketika di tahun 2020 juga betepatan dengan Pilkada serentak di 270 daerah, pemerintah secara terang terangan ngotot untuk tetap menyelenggarakan pilkada yang dinilai oleh sebagian pihak merupakan bentuk dari kontradiksi pemrintah, disisi lain ingin jumlah kausus turun, tetapi disisi lain jika pilkada terjadi potensi masyaraat berkerumunun bukankah besar?. Bukankah kegiatan tersebur dapat membuat klustur baru?
Keinginan pemerintah ini dikritik keras oleh kalangan masyarakat, termasuk oleh NU dan Muhammadiyah yang merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia. jika sekolah, kantor, masjid dan tempat wisata saja dibatasi lewat kebijakan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) dimana belajar, bekerja dan beribadah dihimbau dari rumah, lalu ada gerangan apa yang menyebabkan pemerintah ngotot untuk tetap mnyelenggrakan pilkada?
ADVERTISEMENT
Tak heran jika kedua organisasi islam tersebut meminta pemerintah untuk menunda pilkada. Sebab, tradisi pemilu indonesia yang masih menimbulkan kerumunan massa yang banyak, meskipun protokol kesehtan diterpakan menjadikan alasan yang logis untuk sebaiknya pilkada ditunda, bukankah dalam kaidah fiqih terdapat bunyi “mencegah marabahaya lebih diutamakan dari pada mendapat kebaikan” ?
Toh jika karena alasan khawatir akan terjadinya kekosongan jabatan bukankah dalam Pasal 201 UU Pilkada, sudah dijelaskan pejabat merupakan pejabat pengganti gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang masa jabatannya sudah habis. Penjabat diisi oleh aparatur sipil negara (ASN) yang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, baik di level pemerintah pusat maupun provinsi. Jika menengok aturan diatasa seharusnya tak ada alasan yang membertakan pemerintah untuk menunda pilkada. Setidaknya, sampai vaksin virus corona ditemukan dan dapat diproduksi masal
ADVERTISEMENT
Pertanyaan “ada gerangan apa yang menyebabkan pemerintah ngotot untuk tetap mnyelenggrakan pilkada?” patut kita pertegas dan perjelas
Mari kita lihat akankah pesta rakyat kali ini membawa manfaat atau mudharat? Patut kita tunggu
(Penulis, Samsul Ma'arif)