Modal Sosial Menjadikan Setiap Kita Pahlawan COVID-19

Sandra D Rachmarani
Analis Kerjasama
Konten dari Pengguna
22 Januari 2021 14:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sandra D Rachmarani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber Ilustrasi : www.freepik.com
Dalam salah satu episode Mata Najwa berjudul ‘Beres-Beres Kursi Menkes’ yang ditayangkan pekan lalu di Trans7, dihadirkan langsung sosok Menteri Kesehatan yang baru, Budi Gunadi Sadikin. Sebelum dilantik Presiden Joko Widodo pada 23 Desember 2020, beliau pernah ditugaskan menjadi Direktur Utama PT Bank Mandiri, Direktur PT Inalum, Staf Khusus Menteri BUMN, dan terakhir Wakil Menteri BUMN merangkap Ketua Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
ADVERTISEMENT
Meski terbilang sukses di setiap pos penugasan, tapi penugasan kali ini cukup mengagetkan. Terlihat dari ramainya diskusi warganet yang memenuhi linimasa media sosial. Menurut warganet, pos baru beliau sebagai Menteri Kesehatan dirasa kurang tepat. Alasannya, beliau tidak memiliki kekhususan latar belakang ilmu dan pengalaman di bidang kesehatan sebagaimana para pendahulunya.
Melalui tayangan Mata Najwa, beliau coba mengklarifikasi bahwa kekhususan latar belakang bukanlah faktor utama penentu keberhasilan. Terbukti dari rekam jejak kepiawaian beliau sebagai seorang lulusan fisika nuklir yang sukses memimpin salah satu industri perbankan nasional, Bank Mandiri. Untuk itu, seyogyanya publik tidak lagi memandang sebelah mata kemampuan, apalagi meragukan kualitas kepemimpinan dan manajerial beliau.
Sebagai ujung tombak peperangan melawan pandemi COVID-19, kombinasi keandalan kualitas kepemimpinan dan manajerial beliau menjadi satu-satunya tumpuan harapan bangsa untuk menang. Dengan memberdayakan 48 ribu pegawai di lingkungan Kementerian Kesehatan dan sejumlah jaringan think tank, beliau diharapkan mampu membidani kelahiran berbagai alternatif gebrakan kebijakan revolusioner di bidang kesehatan yang tidak terbatas pada tataran normatif dan prosedural.
ADVERTISEMENT
Untuk langkah awal, beliau telah mengidentifikasi adanya peluang besar pemanfaatan modal sosial (social capital) – selain modal ekonomi (physical capital) dan modal manusia (human capital) – yang dimiliki bangsa Indonesia agar mampu menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah bersama.

Apa itu modal sosial?

Menurut Francis Fukuyama, modal sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok atau jaringan sosial, seperti: gotong royong, toleransi, dan solidaritas sosial. Sementara dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, modal sosial mencakup tiga indikator, yakni kepercayaan dan kerjasama antar masyarakat, serta keberadaan aturan dan sanksi dalam upaya pencegahan penularan COVID-19.
Dari ketiga indikator, kepercayaan antar masyarakat merupakan modal sosial terkuat yang dimiliki bangsa Indonesia. Ironinya, modal tersebut justru paling sering luput dari perhatian para pembuat kebijakan. Padahal, Indonesia kaya akan tokoh panutan yang sangat dipercaya dan dihormati oleh berbagai elemen bangsa. Baik tokoh yang berasal dari kelompok adat, keagamaan, ataupun aktivis sosial. Untuk itu, sudah seharusnya pengaruh yang dimiliki para tokoh dapat dikapitalisasi pemerintah untuk sebesar-besarnya meraih kepercayaan publik.
ADVERTISEMENT

Pekerjaan Rumah Bersama

Meski hampir satu tahun berperang melawan pandemi, Indonesia tak kunjung menunjukkan tanda kemenangan. Berbagai modifikasi kebijakan di sektor kesehatan ternyata belum efektif menekan laju pertumbuhan angka kasus positif. Carut–marut implementasi kebijakan 3T (Test, Tracing and Treatment) yang diperburuk dengan pengabaian implementasi protokol kesehatan 3M (Memakai masker, Menjaga jarak, dan Mencuci tangan) masih menjadi momok utama.
Bagaimana tidak? Selama genteng masih dibiarkan bocor, kita akan terus sibuk membersihkan lantai yang kotor. Pekerjaan ini tentu tidak mudah, apalagi kita tengah menghadapi pandemi terburuk sepanjang sejarah peradaban modern manusia. Tapi ‘tidak mudah’ bukan berarti ‘tidak bisa’. Kita bisa, asalkan mau ikut turun tangan mendukung kerja berat pemerintah. Di titik ini, kita dipanggil untuk siap turun tangan maju ke medan perang.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada tiga kerja berat pemerintah terkait kebijakan 3T. Pertama, pemerataan sebaran alat uji PCR yang saat ini masih sangat terkonsentrasi di Jakarta dan beberapa kota besar lain di Pulau Jawa. Kedua, rasio penelusuran kontak erat dan dekat dari pasien positif yang angkanya jauh lebih rendah dari aturan minimum WHO (1:30). Ketiga, jumlah ketersediaan tempat tidur perawatan pasien COVID-19 di rumah sakit yang belum mencapai angka ideal (30-40%).
Disaat pemerintah – selaku subjek/provider kebijakan – sibuk membenahi kebijakan yang tidak produktif, sebagai support system, kita harus segera ikut ambil bagian membenahi perilaku diri dan komunitas sekitar. Mengingat bahwa kita adalah objek utama dari kebijakan tersebut. Tanpa upaya pembenahan dari seluruh pihak, mustahil menekan laju pertumbuhan angka kasus positif ataupun melandaikan kurva pandemi (‘flattening the curve’).
ADVERTISEMENT
Mengutip Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, pekerjaan terberat dalam mengeksekusi kebijakan 3T terletak pada proses tracing. Hal ini terlihat masuk akal ketika kita mengamati fakta di lapangan bahwa memang mayoritas suspek COVID-19 terkesan enggan memeriksakan diri karena takut stigma negatif atau belum siap menjalani isolasi. Ini cukup beralasan, mengingat daya dukung sosial dari masyarakat belum cukup solid untuk menghadapi pandemi. Pasien terkonfirmasi seakan menjelma menjadi ‘alien’ yang harus dihindari, padahal di fase itu mereka sangat membutuhkan bantuan kita.
Dengan memanfaatkan modal sosial, Menteri Kesehatan mengajak setiap kita untuk ikut bersinergi bahu–membahu mendukung implementasi kebijakan kesehatan yang tengah diupayakan. Kunci utama sinergitas adalah percaya. Percaya akan tujuan cita–cita bersama, percaya akan kemampuan diri setiap kita. Di titik ini, magnitude rasa percaya berakumulasi menjadi kekuatan sosial yang mampu melahirkan aksi. Ini sejalan dengan hipotesis bahwa kepercayaan antar masyarakat adalah modal sosial terkuat bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Diantara sekian banyak peran untuk melahirkan aksi, kita bisa memilih beberapa peran paling kecil di komunitas. Mulai dari agen komunikasi yang mengedukasi pentingnya penerapan protokol kesehatan 3M, agen perubahan yang memperbaiki perilaku abai dan resisten dalam menjalankan prosedur kebijakan 3T, atau agen pemulihan yang membantu memastikan distribusi bantuan sosial tepat sasaran dan tepat guna.
Dengan demikian, modal sosial menjadikan setiap kita bisa menjadi pahlawan.