Tahun Pertama di kumparan: Antara Cicaheum dan Pasar Minggu

Sandy Firdaus
Juru ketik, juru tulis, dan juru kisah
Konten dari Pengguna
12 November 2018 9:08 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sandy Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suasana lalu lintas di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (17/10/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Saya adalah orang Bandung. Bagi saya, Bandung adalah segalanya.
ADVERTISEMENT
Di kota itu, saya lahir dan dibesarkan. Di bawah dinginnya cuaca Lembang, tingginya menara Mesjid Agung Bandung, dan deru arus Cikapundung, saya hidup. Selama 25 tahun, saya habiskan waktu hidup di sana. Oh iya, saya juga dapat calon istri orang Bandung, loh. Saya juga mulai karier kewartawanan di Bandung.
Namun, pada November 2017, saya diberikan sebuah pilihan yang berat. Saya harus meninggalkan Bandung dan merambah daerah ibu kota bernama Jakarta. Semua kenangan, teman, dan kehidupan di Bandung, harus saya tinggalkan.
Sebuah perusahaan media yang berbasis di Pasar Minggu bernama kumparan-lah yang memberikan saya kesempatan itu. Apakah saya bersyukur dengan pilihan yang saya jalani ini?
***
Saya tidak akan lupa momen itu. Februari 2016. Saya berdiri di depan kantor kecil, yang tampak seperti rumah, di wilayah Cijagra, Bandung. Hati bergetar, kaki pun gemetar. Saya melangkah masuk. Di ruang tunggu, sudah ada hadir beberapa orang yang usianya tidak jauh dari saya. Mungkin hanya terpaut satu atau dua tahun.
ADVERTISEMENT
Setelah saling tegur sapa, sesosok pria kira-kira usia 35 tahun-an datang menyapa kami. Dari wajahnya, kami yang sedang ada di ruang tunggu tahu bahwa dia adalah sosok yang selama ini (dan mungkin sampai saat ini) kami kagumi: Zen Rachmat Sugito (Zen RS). Ya, dia adalah founder dari Pandit Football Indonesia.
Sejak saat itulah, tepat ketika saya bersua Zen RS, karier kewartawanan saya dimulai. Bidang olahraga, wabil khusus sepak bola, menjadi bidang yang saya tekuni. Mulai dari bola internasional yang penuh emosi, sampai dengan bola lokal ala PSSI yang penuh intrik dan hal yang tak pasti.
Bekerja di Pandit Football Indonesia, saya menepati janji yang saya ucapkan bersama rekan saya sekira tahun 2013 silam, bahwa kami akan jadi wartawan selepas kami lulus. Rekan saya, saat saya masuk Pandit, sudah menjadi bagian dari Tribun Jabar. Kami memakan omongan yang kami ucapkan sendiri.
ADVERTISEMENT
Tak terasa, waktu satu tahun sembilan bulan saya lalui di Pandit. Selama itu, saya belajar dasar-dasar jurnalistik. Bagaimana cara membangun jejaring, bagaimana caranya mengontak narasumber, wawancara tatap muka, serta melakukan lobi-lobi dengan para petinggi klub dan federasi, adalah hal yang jadi makanan saya selama di Pandit. Selain ilmu menulis yang baik dan benar, tentu saja.
Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLH) dan Si Jalak Harupat menjadi tempat saya bermain, sekaligus bekerja. Beberapa rumah narasumber, salah satunya Mulyana Sobandi, mantan wasit FIFA, menjadi tempat saya menyambung silaturahmi. Saya juga berkesempatan untuk kenal dengan beberapa wartawan sepak bola lokal Bandung serta komunitas-komunitas sepak bola yang apik di Bandung.
Hal ini membuat saya semakin betah tinggal di Bandung. Kebahagiaan semakin lengkap ketika April 2018, saya bertemu belahan jiwa saya di Stadion GBLA. Seseorang bernama Anggun Nindita Kenanga Putri. Jika saya tidak bekerja jadi wartawan, mungkin hidup saya tidak akan seberwarna ini.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, semua kenyamanan ini harus saya tinggalkan. November 2017, diantarkan oleh Baraya Travel, saya meninggalkan Bandung menuju Jakarta untuk waktu yang saya sendiri tak tahu. Saya masih ingat gamitan lengan Kenanga, yang kala itu mengenakan jaket hitam berbalut abu-abu, mengiringi kepergian saya.
“Tenang sayang, semua akan jadi lebih baik.”
***
Akhirnya, tibalah saya di Jakarta. Saya tidak akan lupa momen itu. Saat itu November 2017 sudah masuk pertengahan. Dengan koper besar di tangan dan tas ransel di punggung, saya melangkah menuju daerah Jatipadang Poncol, kosan pertama saya di Jakarta. Beres-beres sebentar, lalu saya keluar cari makan. Udara Jakarta tidak kelewat panas malam itu.
Di tempat makan, saya bertemu dengan wartawan kumparan bernama Aditia Rijki Nugraha. Kami bertegur sapa, dan mengobrol panjang soal bagaimana kantor baru saya kelak. Kantor baru bernama kumparan.
ADVERTISEMENT
Kalem kang, akang ke masuk Sport, jeung si Okky, Karina, jeng Arif (Tenang bang, nanti abang masuk redaksi Sport. Bareng sama Okky, Karina, dan Arif),” tukas Adit ketika itu.
Saya semakin tidak sabar. Usai proses perkenalan selama dua hari, resmilah saya menjadi bagian dari kumparan. Bertemulah saya dengan Rossi Finza Noor, redaktur saya di redaksi Sport kumparan kini. Bersua juga saya dengan Yoga Cholandha, Bergas Agung Brilianto, Alan Kusuma, Haikal Pasya, Aditia Rijki, Akbar Ramadhan, Okky Ardiansyah, Karina Nur Shabrina, dan Arif Utama. Anju Christian P. Silaban dan Marini Dewi Anggitya Saragih menyusul kemudian.
Terkhusus, saya bereuni lagi dengan dua rekan saya di Pandit, Billi Pasha dan Abrar Firdiansyah, duo sengklek. Merekalah, rekan di divisi Sport, rekan pertama saya di Jakarta, sekaligus rekan berbagi saya kelak. Dan, per November 2017, saya siap dengan petualangan baru saya di Jakarta ini, dengan tulisan tentang Marcelo mengemplang pajak yang menjadi sepak mulanya
ADVERTISEMENT
Perjalanan yang panjang, tentu saja.
***
Selama bekerja di Jakarta, tentu banyak pengalaman yang saya dapat. Soal pekerjaan, ya, tidak beda jauh dengan di Pandit dan juga apa yang sudah rekan-rekan saya ceritakan di tulisan mereka masing-masing: bersua narasumber dan pengalaman baru.
Lalu, tentu saja yang paling nyeni adalah dimarahi redaktur. Itu hal yang sangat lumrah. Bedanya, jika di Bandung saya main di GBLA dan Jalak Harupat, sekarang saya lebih banyak main di Kemenpora dan Gelora Bung Karno.
Karena bekerja di Jakarta pula (kumparan), saya bisa merasakan atmosfer dua ajang olahraga terbesar se-Asia, yaitu Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018. Bertemu wartawan dan atlet luar negeri, serta diwawancarai oleh CCTV, stasiun TV dari China, jadi pengalaman yang menarik. Tak lupa, saya juga jadi tahu lagi rasanya masuk Ancol dengan motor dan Bandara Soekarno-Hatta karena bekerja di Jakarta.
Namun, justru yang paling menarik perhatian saya bukanlah itu, melainkan Pasar Minggu. Saya kerap menghabiskan waktu nongkrong di salah satu warung kopi di Pasar Minggu, dan di situ, pikiran saya terlempar jauh ke kampung halaman, Cicaheum. Keduanya identik: sama-sama wilayah pasar, sama-sama ramai, punya terminal, dan sama-sama "panas". Bedanya, Cicaheum tak punya stasiun.
ADVERTISEMENT
Di antara semua wilayah yang pernah saya kunjungi di Jakarta, Pasar Minggu, tempat tinggal saya di sini, jadi yang paling berkesan. Karena keidentikan yang dia miliki dengan Cicaheum-lah, dia jadi wilayah yang mengena di hati. Tak heran, saya cepat betah di sini. Karena Pasar Minggu mengingatkan saya akan rumah. Akan Cicaheum tercinta.
Dan tentu saja, saya bisa tinggal di Pasar Minggu karena saya bekerja di Jakarta, di kantor bernama kumparan. Bukan di Bandung lagi.
“Dan bagiku, Pasar Minggu bukan hanya menyoal geografis. Lebih dari itu, dia melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.”
***
Tak terasa, sudah setahun saya bekerja di Jakarta. Dunia kewartawanan di Jakarta, walau tak jauh beda dengan Bandung, pada akhirnya tetap menempa saya secara pribadi. Di Jakarta pula, saya bertemu sosok-sosok wartawan unik macam Alvino Hanafi, Galih Persiana, Ilyas Mujib, Yakub Pryatama, Manggala Borujerdi (Anggadet), Laksamana Nugyasa, Egi Adyatama, Zulfikar Husein, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena tinggal di Jakarta pula, saya tahu asyik dan tidak asyiknya naik Commuter Line (kadang seperti pepes ikan). Saya juga tahu asyik dan tidak asyiknya terjebak macet di Mampang Prapatan, Gunung Sahari, TB Simatupang, Sudirman, serta Cawang. Berkat tinggal di Jakarta pula, motor Supra Fit saya akhirnya menjejak Monas dan Bunderan HI.
Segala pengalaman yang saya alami di Jakarta selama setahun ke belakang membuat saya bisa memahami Jakarta lebih jauh. Dan, tentu saja, segala pengalaman ini hadir karena saya menjadi wartawan. Wartawan salah satu media yang berbasis di Jakarta bernama kumparan.
Maka dari itu, yang bisa sekarang saya lakukan adalah mengucapkan: Terima Kasih, kumparan. Terima kasih sudah mau menerima saya menjadi bagian dari keluarga besarmu (STM Jatipadang, salah satunya). Terima kasih banyak, karena selain akhirnya saya tersertifikasi sebagai wartawan di kumparan ini, kumparan memberikan saya salah satu pengalaman berharga: tinggal dan hidup di Jakarta, termasuk merasakan atmosfer Pasar Minggu yang sudah seperti rumah (baca: Cicaheum).
ADVERTISEMENT
Mungkin, jika pada November 2017 saya memutuskan tetap di Pandit, saya tidak akan merasakan situasi seasyik dan serumit ini. Jadi, apa saya bersyukur dengan keputusan saya pindah ke kumparan? Silakan Anda tebak sendiri, hehehehe
“Biarkanlah kebanggaan itu ada di dalam hati, tak perlu diucapkan. Karena kebanggaan yang paripurna, layaknya ungkapan cinta, adalah ketika dia itu tidak diucapkan lewat lisan, tapi terucap lirih lewat doa di sepertiga malam akhir”
P.S: Hatur nuhun badag, kumparan!