Genggam Erat Tanganmu Selayak Belahan Jiwaku

Sarah Rahmadhani Syifa
Journalist Student of PNJ
Konten dari Pengguna
17 Mei 2020 1:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sarah Rahmadhani Syifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kau tahu, berkat genggaman erat tanganmu telah mengajarkan arti kehidupan yang sesungguhnya untukku, anakmu. Aku lebih suka menyebutnya tangan malaikat penerang jiwaku. Sebelumnya, izinkanku mengucapkan beribu terima kasih atas lelah dan letih perjuanganmu membesarkanku. Kau selayak belahan jiwaku karena sebagian dari jiwaku diperoleh dari kebaikanmu.
ADVERTISEMENT
Tanganmu yang selalu bawaku kedalam dekapanmu, memeluk erat sanubariku. Menghangatkan relung jiwa ini hingga sanggup menenangkan kegelisahan ini.
Tanganmu yang menghapus air mata dipipiku saat aku bercerita tentang patah hati. Tentang laki-laki pertama yang ku suka malah menyakitiku. Tentang kegagalanku masuk universitas dan jurusan impianku. Tetang rasa lelahku saat tugas menghampiri.
Tanganmu membelai lembut rambutku. Kau tersenyum berseri seakan tanganmu tak ingin pisah dari belai untaian hitam lebat rambutku. Elusan tanganmu menjadi pengantar tidur favoritku. Hingga mimpi indah datang mendekat.
Tanganmu pemompa kehidupan, banyak hal yang kau lakukan dengan tanganmu untuk menghidupkanku dan mengurusiku. Menyuapi, memandikan, memakaikan ku baju dengan tanganmu. Tak pernah kau melayangkan tanganmu kepadaku. Tanganmu kau gunakan untuk menggandengku sehingga menemukan jalan yang benar.
ADVERTISEMENT
Genggaman erat tanganmu seakan memberi tanda bahwa ibu akan selalu ada bersama putra putri tercinta. Namun seiring bertambah usiamu, tanganmu tak lagi sanggup menggenggam erat tanganku.
Tangamnu bergetar, aku melihat ibu membawa amplop coklat besar hasil pemeriksaan kesehatan. Penyakit yang selama ini menghambat aktifitasnya telah ia ketahui. Meja operasi menanti saat vonis datang. Mengidap tumor dibagian payudara membuat hatiku hancur. Ibu menjelaskan bahwa ia harus segera mengangkat tumor yang bersemayam ditubuhnya. Berkali-kali ia menguatkan anak-anaknya untuk jangan panik. Karena menurutnya tumor ini belum tersebar parah masih tergolong jinak.
Aku sedih melihatnya, kau mencoba baik baik saja dihadapan putra putrinya. Tak kuasa aku menggengam ke selepuluh jari beliau. Aku menyalurkan semangat lewat genggaman walau tak sehangat genggamanmu.
ADVERTISEMENT
"Ibu tak apa, setelah operasi selesai boleh pulang. Jangan cemas," ujar beliau lirih namun penuh semangat. Tak terbendung air mataku yang mengalir saat harus melepaskannya pergi ke rumah sakit. "Kamu dirumah, jaga adikmu, buatkan sarapan untuk mereka sekolah. Tak usah menemani ibu, jagalah adikmu dirumah.". Pilu rasanya seakan duniaku runtuh saat itu juga, tapi bila teringat genggaman tanganmu aku tak boleh bersedih, apalagi dihadapan adik-adikku.
Terakhir, ku ucapkan beribu terima kasih, telah menjadi rumah untuk melindungiku dari terpaan hujan. Telah menghangatkanku walau hanya lewat genggaman tangan rapuhmu dan tak lagi cantik. Aku bersyukur kau pulih kembali sehingga aku dapat mengambil tangannya lalu menciumnya dengan air mata tak terbendung mesti kau terkejut dengan tindakanku.
ADVERTISEMENT
Penulis: Sarah Rahmadhani Syifa / Politeknik Negeri Jakarta