Membentuk Watak dan Kepribadian Mesin Kecerdasan Buatan

Sartana
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
12 Mei 2024 9:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengukuhan Profesor Dr. Bagus Takwin, M.Hum. Psikolog sebagai guru besar di bidang psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sumber : Gambar hasil kreasi penulis dengan aplikasi Microsoft Designer.
zoom-in-whitePerbesar
Pengukuhan Profesor Dr. Bagus Takwin, M.Hum. Psikolog sebagai guru besar di bidang psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sumber : Gambar hasil kreasi penulis dengan aplikasi Microsoft Designer.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tanggal 8 Mei lalu, Doktor Bagus Takwin, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, resmi dikukuhkan sebagai seorang guru besar. Saya mengetahui kabar tersebut ketika menerima naskah pidato pengukuhan guru besar beliau melalui salah satu grup Whatsapp yang saya ikuti.
ADVERTISEMENT
Setelah saya mengunduh naskah pidato itu, saya membacanya dengan pelan. Menurut saya, tema yang diangkat dalam pidato pengukuhan guru besar tersebut sangat menarik dan relevan dengan fenomena kekinian. Sebagai ilmuwan psikologi, Doktor Bagus Takwin berusaha menjelaskan bagaimana watak dan kepribadian kecerdasan buatan dapat dibentuk.
Tentu, pemilihan tema tersebut tidak bisa dilepaskan dari fenomena perkembangan yang revolusioner dalam bidang kecerdasan buatan dalam setahun terakhir. Kemunculan dan perkembangan kecerdasan buatan yang mampu belajar sendiri, seperti ChatGPT, memberikan tantangan yang signifikan bagi para ilmuwan, termasuk para ilmuwan di bidang psikologi.
Hal ini disebabkan oleh kemiripan mesin kecerdasan buatan generasi terbaru dengan manusia. Berkat kemajuan dalam bidang deep learning, mesin menjadi semakin canggih dan mampu mempelajari hal-hal baru secara mandiri. Mereka mampu menyusun konsep-konsep kompleks berdasarkan pada konsep-konsep yang lebih sederhana, sebuah proses yang serupa dengan cara otak manusia memproses informasi.
Ilustrasi tentang mesin cerdas yang berkepribadian. Sumber : Gambar hasil kreasi penulis dengan aplikasi Microsoft Designer.
Bagi para pengembang kecerdasan buatan, proses pembelajaran mandiri yang dilakukan oleh mesin cerdas tersebut sering disebut sebagai "kotak hitam", yakni wilayah yang sulit dipahami secara lengkap. Karena kompleksitasnya, mesin tersebut menjadi semakin bebas dari kendali manusia. Dampaknya, kerja dan perilaku mesin cerdas tersebut menjadi sulit diprediksi secara akurat oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Dengan kemampuan belajar mandiri yang tidak lagi tergantung pada kendali manusia, mesin cerdas memiliki potensi untuk berevolusi secara independen. Ketika diproduksi secara massal di masa depan, setiap mesin cerdas akan memiliki karakteristik yang unik sesuai dengan proses belajar mereka masing-masing. Sebagaimana sering digambarkan dalam film-film fiksi sains, beberapa mesin mungkin akan bersifat jahat, sementara yang lainnya mungkin akan memiliki sifat yang baik. Selain itu, akan ada perbedaan dalam tingkat kecerdasan di antara mereka.
Dalam situasi tersebut, manusia dihadapkan pada tantangan untuk memastikan bahwa mesin-mesin cerdas tersebut dapat mengembangkan perilaku yang sejalan dengan kepentingan kemanusiaan. Penting untuk mencegah agar mereka tidak tumbuh sebagai mesin "antagonis" yang justru menjadi musuh manusia.
Agar mesin cerdas bisa mirip manusia, para pengembang AI harus mampu merancang agar mesin-mesin cerdas itu memiliki kepribadian layaknya manusia. Mereka, mesin-mesin cerdas tersebut, perlu dirancang agar memiliki nilai, norma, sifat atau pola-pola kebiasaan sehingga perilaku mereka dapat diprediksi juga diarahkan.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, mesin-mesin tersebut bisa seperti "makhluk" yang beradab. Mereka dapat berinteraksi dengan pengguna dan menyesuaikan diri dengan manusia. Mesin cerdas yang memiliki kepribadian mestinya juga dapat menghindari perilaku yang dapat menimbulkan kerugian atau melanggar nilai-nilai etika dan moral.
Dalam konteks ini, ilmu psikologi, yang berfokus pada pemahaman watak dan kepribadian manusia, dapat berkontribusi untuk pengembangan AI yang berkepribadian tersebut. Dengan menerapkan teori-teori kepribadian yang sudah banyak dikaji di psikologi, pengembangan mesin cerdas yang memiliki kepribadian dan perilaku yang etis dapat diwujudkan.
Upaya tersebut di antaranya dilakukan dengan mengintegrasikan teori kepribadian dalam desain AI, pengembangan metode pengujian dan evaluasi, pemahaman tentang interaksi manusia dengan komputer, serta adaptasi AI berdasarkan umpan balik pengguna.
ADVERTISEMENT
Dengan bantuan teori-teori psikologi, pengembang dapat menciptakan sistem AI dengan kepribadian yang beragam dan kaya. Hal ini memungkinkan AI untuk berinteraksi dengan pengguna secara lebih manusiawi, menciptakan pengalaman interaksi yang lebih alami antara mesin cerdas dan manusia.
Sejumlah riset-riset sebelumnya telah memberikan bukti bahwa manusia mampu membentuk kepribadian mesin kecerdasan. Dengan sejumlah data dan progran tertentu, mesin kecerdasan dapat mengembangan watak kepribadian tertentu.
Pengembangan kepribadian AI di antaranya bisa menggunakan pendekatan "kepribadian komputasional". Pendekatan ini mencoba mengubah karakteristik kepribadian manusia menjadi kode komputer yang dapat dimengerti oleh mesin. Dengan menggabungkan teori-teori kepribadian dari psikologi ke dalam model matematis, pengembang bisa membuat mesin cerdas yang menampilkan perilaku serupa dengan manusia.
Selain itu, ahli psikologi dan pengembang AI dapat bekerja sama dalam merancang desain sistem yang lebih responsif terhadap nilai-nilai moral dan etika. Kolaborasi tersebut dapat menciptakan sistem yang lebih mampu berinteraksi secara efektif dengan pengguna dalam berbagai situasi yang kompleks dan bervariasi.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi pengembang AI dan ahli psikologi juga memungkinkan para ahli pengembang AI untuk memberikan struktur pada AI agar bisa memahami dunia secara lebih komprehensif. Hal ini juga memungkinkan manusia untuk memprediksi perilaku mesin cerdas tersebut di sisi lain.
Dalam pengembangan mesin cerdas berkepribadian, isu etika dalam pengembangan AI harus tetap diperhatikan. Ahli psikologi dan pengembang AI perlu memastikan bahwa mesin cerdas yang dihasilkan dapat menghormati martabat kemanusiaan, serta melindungi privasi dan keamanan data.
Selain itu, penting juga untuk memastikan bahwa mesin dapat berfungsi sebagai alat yang bekerja bersama manusia, bukan menggantikannya. Dan manusia juga harus tetap menjadi tuan yang mengendalikan mesin-mesin cerdas tersebut, bukan sebaliknya.
Tulisan ini hanya gambaran singkat dari esensi naskah pidato pengukuhan yang panjanganya hampir 64 halaman tersebut. Dan ini juga hanya sebatas tafsiran saya atas tulisan tersebut. Masih banyak aspek yang tidak terungkap dalam tulisan ini. Sehingga, untuk memahami secra utuh isi pidato tersebut, para pembaca dapat membaca langsung naskah aslinya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, saya ucapkan selamat kepada Profesor Dr. Bagus Takwin, M.Hum. Psikolog atas pengukuhannya sebagai guru besar di bidang psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Semoga kebijaksanaan dan pengetahuan yang telah Anda raih dapat terus memberikan manfaat pada institusi maupun masyarakat secara umum.
Sartana, M.A.
Dosen Psikologi Sosial di Universitas Andalas