Aliansi Perompak (4)
27 Februari 2022 15:48 WIB
·
waktu baca 11 menitJunaedi mendengar jeritan Inanna memanggil namanya dari luar. Jeritan itu ditingkahi suara raungan yang menyodok gendang telinganya. Tanpa tergesa, ia turun dari ranjang, mengenakan sandal kamar, lalu berjalan ke arah sumber teriakan. Wajahnya kebas dan datar. Seorang perompak selalu tahu bagaimana mengatur siasat dan bersikap, pikir Junaedi. Saat membuka pintu depan, ia melihat Inanna memeluk sesosok bayi yang menangis kencang. Wajah Inanna tak ubahnya semangkuk sup yang berisi potongan kebingungan, rasa senang, dan keterkejutan. Junaedi tersenyum kecil. Burung bangau putih telah mendaratkan titipan tepat di samping bak sampah. Dredayuda tiba dengan selamat. Semua sesuai rencana. Pion catur telah dimainkan dengan presisi. Ingatan Juanedi menggelinding ke dua belas bulan lalu, pada Januari 2014 yang panas.
Surabaya, Januari 2014
“Inanna ndak mau hamil,” cetus Junaedi dengan logat Jawa Timur kulonan sambil mondar-mandir di ruang kerjanya dengan kegelisahan seekor mencit* laborat dalam kotak labirin. Kemeja kotak-kotak yang biasanya selalu rapi terperangkap di balik bebatan sabuk kulit cokelatnya, tampak kusut di sisi kiri. Terlihat noda gelap di ketiak tanda serat kain tak mampu menahan rembesan keringat.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814