Efektivitas Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan Seksual di Indonesia

Satrio Septian Nugroho
Seorang mahasiswa yang sedang menuntut ilmu demi membanggakan kedua orang tua.
Konten dari Pengguna
17 Desember 2020 18:44 WIB
comment
24
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Satrio Septian Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
https://klikhukum.id/pelecehan-seksual-mengancam-kaum-pria/
Efektivitas Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan Seksual di Indonesia - Dewasa ini kekerasan seksual merupakan suatu masalah yang menjadi kekhawatiran di masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, pada tahun 2019 terdapat 431.471 kasus terhadap perempuan. Angka ini naik sebesar 6% (enam persen) dari tahun 2018, yaitu sebanyak 406.178 kasus. Sedangkan pada tahun 2017 tercatat jumlah angka kekerasan seksual di Indonesia adalah sebanyak 348.446 kasus.
https://www.metrotvnews.com/play/kpLCBqyx-431-ribu-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-terjadi-sepanjang-2019
Hampir sebagian besar kekerasan seksual tersebut dialami oleh kaum perempuan. Dalam buku yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan yang berjudul 15 Bentuk Kekerasan Seksual, disebutkan bahwa jenis kekerasan seksual antara lain yaitu:
ADVERTISEMENT
Dengan jumlah angka kekerasan seksual yang cenderung naik dari tahun ke tahun, maka diperlukan adanya suatu hukum positif yang mengatur secara tegas sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual sekaligus memberikan perlindungan yang memadai kepada para korban yang mengalami kekerasan seksual. Hukum positif yang mengatur terkait tindak kekerasan seksual diatur dalam:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286, 287, 290, dan 291;
ADVERTISEMENT
b. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8 (b), 47, dan 48;
c. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 Ayat 3 dan 7; dan
d. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 15, Pasal 17 Ayat 2, Pasal 66 Ayat 1 dan 2, Pasal 69, Pasal 78, dan Pasal 88.
Pada tulisan ini, Penulis hanya melakukan pembahasan terkait dengan tindak kekerasan seksual dan perlindungan bagi para korban yang diatur dalam KUHP dan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual atau yang sering disebut (untuk selanjutnya disebut “RUU PKS”).
Pada bulan Maret 2018, dibuatlah suatu Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual atau yang sering disebut (untuk selanjutnya disebut “RUU PKS”) dan RUU tersebut masuk ke dalam pembicaraan tingkat pertama di parlemen. Hal ini menjadi angin segar khususnya bagi para kaum perempuan dalam menemukan jalan terhindar serta mendapat perlindungan hukum yang memadai dari kekerasan seksual. Terkait dengan kekerasan seksual sebetulnya sudah diatur dalam KUHP. Namun menurut pendapat Penulis, KUHP tidak mengatur secara komprehensif (hanya mengatur beberapa tindak kekerasan seksual) terkait kekerasan seksual. Menurut penelusuran Penulis, KUHP mengatur kekerasan seksual terbatas hanya terhadap:
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukan bahwa materi yang diatur dalam RUU PKS lebih komprehensif, lebih memadai, dan membuka akses lebih luas terhadap perlindungan bagi korban kekerasan seksual dibanding dengan materi kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP. KUHP pun tidak mengatur tindakan pencegahan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah agar kekerasan seksual tidak terjadi. Sehingga menurut pendapat Penulis, RUU PKS perlu untuk segera disahkan menjadi Undang-Undang, mengingat lebih memberikan perlindungan hukum bagi perempuan.
Namun, pada kenyataannya hal pahit harus diterima khususnya oleh kaum perempuan. Pada tahun 2020, DPR memutuskan menunda kelanjutan RUU PKS. Hal ini menjadi polemik di kalangan masyarakat lantaran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak cukup untuk mengakomodir seluruh kasus kekerasan seksual, termasuk tidak cukup tegas menindak pelaku dan melindungi korban kekerasan seksual. Penundaan ini tidak diketahui sampai kapan, sehingga dapat menyebabkan keresahan bagi kaum perempuan pada khususnya.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual lebih sulit untuk diungkap dan ditangani oleh penegah hukum dibanding kekerasan lainnya terhadap perempuan. Hal tersebut dikarenakan terkait kekerasan atau pelecehan seksual sering dikaitkan dengan konsep moralitas yang selama ini berkembang di masyarakat. Stigma yang berkembang di masyarakat yaitu perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan, karenanya akan mudah dipandang sebagai aib apabila mengalami kekerasan seksual, misalnya perkosaan. Banyak kaum perempuan juga yang disalahkan apabila terjadi kekerasan seksual dengan anggapan perempuan tersebut berpakaian terlalu mini atau masyarakat menilai bahwa perempuan yang juga sebagai korban terlalu lemah dan tidak dapat melindungi dirinya sendiri sehingga banyak korban pelecehan seksual yang memilih untuk bungkam dan tidak melaporkan permasalahan yang sedang menimpa dirinya kepada pihak berwajib. Akibatnya pelaku kekerasan seksual tersebut merasa tidak ada yang salah dengan apa yang telah dilakukannya terhadap perempuan dan kemungkinan besar akan mengulanginya kembali.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya agar hal-hal seperti ini dihentikan. Korban harus berani bicara, tidak hanya bungkam seperti saat sekarang ini. Korban dan keluarga pun harus mendapat dukungan proses pemulihan dari negara. Pelaku kekerasan seksual harus dihukum seadil-adilnya sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Tidak seperti saat sekarang ini dimana para pelaku kekerasan seksual masih berkeliaran secara bebas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan segera mengesahkan RUU PKS menjadi Undang-Undang demi mengurangi angka kekerasan seksual di Indonesia.