Magang di Jepang, lalu Pulang Bangun Kupang

Saverinus Suhardin
Dosen Prodi D III Keperawatan Stikes Maranatha Kupang
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2023 17:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Saverinus Suhardin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini Indonesia sedang menyambut bonus demografi. Dan kondisi itu akan tepat disebut "bonus" jika populasi penduduk berusia muda yang lebih dominan daripada populasi lainnya memang benar-benar produkif: bisa menciptakan lapangan pekerjaan atau bekerja di berbagai bidang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Tapi, era bonus demografi tersebut tidak berlangsung abadi. Pada masanya kelak, Indonesia akan masuk pada negara dengan struktur penduduk tua atau yang dikenal dengan istilah population ageing. Ketika sedang menikmati bonus demografi saat ini pun, Indonesia sebenarnya sedang bergerak perlahan dari penduduk yang semula didominasi anak muda menuju penduduk yang lebih banyak lansia.
Berdasarkan rekapan data BPS sejak 1971 hingga 2019, terlihat ada pertumbuhan jumlah lansia di Indonesia. Pertambahan jumlah lansia itu akan terus menanjak seiring berjalannya waktu dan diprediksi pada tahun 2035 akan mencapai 15,77 persen atau setara dengan 48,2 juta jiwa.
Kondisi itu bisa dinilai sebagai kabar baik, sebab peningkatan jumlah lansia itu menunjukkan angka harapan hidup orang Indonesia makin panjang dan melambangkan kemajuan bangsa. Tapi, apakah kita punya kesanggupan untuk merawat para lansia itu kelak yang secara umum—karena sudah terjadi penurunan fungsi tubuh—memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi?
ADVERTISEMENT

Belajar dari Jepang

Ilustrasi rambu lalu lintas di Jepang. Foto: umaruchan4678/Shutterstock
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Kupang bersama rekanannya dari beberapa Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) mengunjungi kampus Stikes Maranatha Kupang pada Kamis (21/09/2023) lalu. Mereka melakukan sosialisasi mengenai pelatihan dan penempatan calon pekerja migran Indonesia, khususnya tenaga kesehatan, yang akan ditempatkan di berbagai negara—salah satunya mengurusi para lansia di Jepang.
Jepang saat ini dikenal sebagai negara maju yang memiliki populasi lansia yang sama, bahkan lebih besar dari kelompok usia produktif. Kelompok usia produktif di sana memang benar-benar berfokus pada urusan pekerjaan yang produktif—seperti namanya—sehingga jumlah warga muda yang mau merawat populasi lansia sangat sedikit. Karena itu, pemerintah Jepang mencari tenaga kerja di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan perawatan lansia tersebut.
ADVERTISEMENT
Torigoe Yoshimutu, salah satu orang Jepang yang ikut memberikan sosialisasi bersama rombongan Disnakertrans Kota Kupang tersebut, bercerita kalau selama ini mereka berkeliling ke beberapa negara dan mereka banyak mendapatkan calon pekerja dari Vietnam.
“Tapi peminat dari Vietnam sudah berkurang,” terang Torigoe Yoshimutu dalam bahasa Jepang dan diterjemahkan oleh seorang warga Indonesia yang telah berpengalaman bekerja sebagai perawat lansia di Negeri Sakura tersebut. “Karena itu, saat ini Jepang menginginkan tenaga kerja dari Indonesia.”
Ada beberapa persiapan yang perlu dilakukan calon pekerja migran di Jepang—informasi ini merupakan saripati dari penjelasan Torigoe Yoshimutu dan tim pemberi sosialisasi. Pertama, perawat atau tenaga kesehatan (nakes) yang berminat tentu saja perlu menguasai bahasa Jepang, setidaknya untuk percakapan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Perwakilan LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) yang ikut memberikan sosialisasi menyampaikan siap mendampingi calon pekerja untuk belajar bahasa Jepang dan beberapa keterampilan dasar yang dibutuhkan. Pihak LPK bahkan siap memberi dana talangan sebesar 50-100 persen untuk biaya pelatihan awal tersebut yang nantinya bisa dilunasi atau dicicil setelah peserta bekerja di Jepang.
Jika sudah memenuhi syarat pertama, maka nakes tersebut sudah layak menjadi tenaga magang di Jepang. Sebutannya magang, tapi kelompok ini nanti tetap digaji sesuai standar upah minimum di kota tempat penempatan di Jepang. Sebagai gambaran, upah terendah di sana setara dengan 90 ribu rupiah per jam.
Selama menjadi tenaga magang, nakes akan dikontrak selama tiga tahun yang dapat diperpanjang lagi selama dua tahun. Selama masa magang itu juga, nakes bisa sambil belajar meningkatkan keterampilan lain—termasuk bahasa Jepang agar makin mahir.
ADVERTISEMENT
Setelah masa magang lima tahun berakhir, para nakes yang telah fasih berbahasa Jepang bisa mengikuti tes yang diselanggarakan pemerintah di sana. Kalau lulus, maka nakes tersebut dianggap sebagai tenaga kerja profesional atau biasa disebut: skill worker.
Pekerja profesional ini bisa bekerja lebih lama di Jepang. Lima tahun awal hanya diizinkan sendiri, lima tahun berikutnya bisa bersama keluarga. Masa kerja kelompok profesional ini tidak dibatasi oleh pemerintah Jepang, kecuali kalau tenaga kerja yang bersangkutan ingin pulang dan berkarya di negeri sendiri.
Tim sosialisasi itu tentunya mengiming-imingi gaji tinggi dan fasilitas lain yang diberikan pemerintah Jepang kepada peserta sosialisasi—ratusan mahasiswa/i dan alumni Stikes Maranatha Kupang. Program magang di Jepang selama tiga atau lima tahun ini merupakan investasi yang kelak hasilnya akan dinikmati. Tidak hanya soal gaji atau urusan finansial, tapi ada banyak buah yang bisa dipetik dari investasi itu kelak.
ADVERTISEMENT

Program Multiguna

Tim sosialisasi pelatihan dan penempatan calon pekerja migran Indonesia sedang menjelaskan peluang magang dan kerja bagi perawat lansia di Jepang. Foto: Istimewa
Sah-sah saja kalau ada yang berminat mengikuti program persiapan sebagai pekerja migran di Jepang karena tertarik dengan tawaran gajinya yang tinggi daripada kerja di negeri sendiri. Di balik keuntungan finansial, program tersebut juga multiguna. Ada banyak manfaat yang diperoleh secara individu maupun kepentingan bangsa Indonesia secara umum.
Berkat adanya bonus demografi, saat ini Indonesia memiliki banyak anak muda usia produktif yang siap bekerja. Sayangnya Indonesia kekurangan lapangan pekerjaan sehingga banyak pengangguran berpendidikan, termasuk kelompok nakes. Karena itu, pemerintah melakukan kerja sama dengan berbagai negara, termasuk Jepang, agar bisa bekerja di luar negeri.
Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2023 merilis “Buku Saku Pendayaan Perawat ke Luar Negeri.” Bagian awal buku itu memaparkan tentang jumlah perawat Indonesia yang mengalami surplus, dan pada saat yang sama permintaan tenaga perawat dari luar negeri makin meningkat.
ADVERTISEMENT
Perawat di NTT pun banyak yang belum bekerja, atau kalau pun mereka tampak sibuk di berbagai fasilitas kesehatan, itu masih ada yang berstatus sebagai tenaga sukarela. Mereka rela tidak mau dibayar atau dibayar dengan upah sangat rendah demi dapat berkarya sesuai bidang ilmu sewaktu kuliah.
Karena itu, pemerintah memanfaatkan peluang tersebut dengan memfasilitasi nakes yang berminat berkarya di luar negeri. Program ini merupakan bentuk pemanfaatan bonus demografi—tenaga produktif dari Indonesia bekerja di luar negeri yang hasilnya nanti dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Angka pengangguran terdidik makin berkurang dan pertumbuhan ekonomi bangsa terus menanjak.
Di balik tujuan ekonomi tersebut, pekerja migran juga memiliki peluang untuk belajar lebih banyak di berbagai negara maju. Bagi nakes yang mengikuti program magang di Jepang, mereka tentunya memiliki kesempatan belajar cara merawat lansia yang baik dan benar.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara maju, Jepang telah menerapkan metode perawatan lansia modern yang memaksimalkan kemajuan Iptek. Nakes yang mengikuti magang di sana tentunya akan terpapar dengan berbagai kemajuan tersebut. Mereka pastinya mendapatkan transfer ilmu, pengalaman, dan pemanfaatan teknologi untuk memudahkan perawatan lansia.
Kelak ketika mereka kembali ke tanah air, Indonesia bisa saja sudah seperti Jepang, menjadi negara maju dan memiliki banyak populasi lansia. Saat itu Indonesia mungkin bisa menyediakan alat atau fasilitas kesehatan sekelas negara maju, tapi bagaimana kalau SDM-nya tidak tahu dan tidak mampu mengoperasikannya?
Karena itu, kesempatan magang di Jepang atau pun di negara lain saat ini perlu dipandang sebagai investasi tak ternilai. Biarkan nakes kita magang atau bekerja sementara di Jepang, lalu kembali pulang bangun Kupang dan Indonesia pada umumnya. Mereka kelak menjadi agen pembangunan bangsa, khususnya dalam pelayanan lansia.
ADVERTISEMENT