Menilik Komoditas Terabaikan untuk Ketahanan Pangan Saat Pandemi

SDGs Network ITB
SDGs Network ITB adalah entitas SDGs di Indonesia, dengan tujuan ingin berpartisipasi mengakselerasi pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di Indonesia.
Konten dari Pengguna
24 Desember 2020 17:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SDGs Network ITB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menilik Komoditas Terabaikan untuk Ketahanan Pangan Saat Pandemi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Penulis: Nadiya Syafia Shani, Tristia Riskawati
Pada April 2020 dipublikasikan bahwa Indonesia yang merupakan negara agraris ternyata memiliki cadangan makanan paling rendah dibandingkan dengan Thailand, Filipina, dan India. Beberapa daerah terutama perdesaan berada dalam kondisi miskin yang meningkat. Padahal, zero hunger yang merupakan goal ke-2 dalam SDGs merupakan hal penting untuk diperjuangkan.
ADVERTISEMENT
"Bahkan menurut Wamenhan (Wakil Menteri Pertahanan.red), ketahanan pangan tak kalah penting dengan senjata. Ketika ketahanan pangan tidak aman, keamanan negara juga dapat terancam."
Hal tersebut dipaparkan oleh Dr. Ima Mulyama Zainuddin, S.Si., M.Si. pada webinar "Ketahanan Pangan Dalam Menghadapi Pandemi dan Menyongsong SDGs", Sabtu, 19 Desember 2020. Webinar ini diselenggarakan oleh Rumah Amal Salman bekerjasama dengan SDGs Center ITB.
Selain Ima, pembicara lain dalam webinar ini adalah Dr. Ramadhani Eka Putra, Ph. D. Ima sendiri merupakan dosen Kelompok Keahlian Genetika dan Bioteknologi Molekular ITB, dan merupakan Sekjen Masyarakat Singkong Indonesia. Sedangkan Ramadhani merupakan dosen Kelompok Keahlian Manajemen Sumber Daya Hayati dan Inventor Food Project Teknologi Tepat Guna Rumah Amal Salman.
ADVERTISEMENT
Ima memaparkan bagaimana singkong dapat menjadi solusi. Singkong merupakan salah satu komoditas terpilih yang dicanangkan untuk dikembangkan sebagai sumber karbohidrat bagi ketahanan pangan Indonesia. Hal ini didasari sifat tanaman singkong yang mudah ditanam dan tak perlu diimpor
"Selain itu, terdapat perubahan pola makan masyarakat Indonesia yang mulai banyak mengonsumsi singkong, namun disisi lain produksi singkong di Indonesia menurun dari tahun ke tahun," ujar Ima.
Menurut Ima, singkong seringkali dipandang sebelah mata, seolah singkong hanyalah makanan orang miskin. Padahal singkong sudah banyak berperan dalam ketahanan pangan rakyat Indonesia sejak dahulu.
"Selain itu, singkong juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena selain menjadi tanaman pangan, singkong juga merupakan tanaman industri dengan hasil turunannya yang banyak," terang Ima.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Ramadhani fokus membahas pada penguatan sistem pertanian. Sebagai awalan, Ramadhani memaparkan bahwa diprediksi 2/3 penduduk dunia mengalami malnutrisi. Hal ini diperburuk dengan terjadinya pemanasan global yang berdampak pada ketahanan pangan dunia.
"Beberapa wilayah terutama wilayah di sekitar khatulistiwa akan mengalami penurunan produksi makanan karena suhu yang terlampau panas," ujar Ramadhani.
Selain pemanasan global, tantangan terkait ketahanan pangan di tahun 2050 adalah semakin sedikitnya lahan yang bisa ditanami. Namun bersamaan dengan itu, semakin banyak makanan yang harus disediakan, dan semakin banyak sampah organik yang dihasilkan.
"Sebenarnya, yang ditakutkan bukanlah kelaparan, tetapi malnutrisi. Diprediksi 2/3 penduduk dunia mengalami malnutrisi," kata Ramadhani.
Hal ini mendorong manusia mulai bergerak ke climate smart agriculture (climate smart farming) dan small scale farming. Sistem pertanian climate smart agriculture berfokus pada servis ekosistem. Selain menghasilkan makanan, sistem seperti ini juga akan menghasilkan sebuah servis ekosistem yang juga penting seperti penyerapan gas karbondioksida dan penyediaan air bersih bagi makhluk hidup.
ADVERTISEMENT
Menurut Ramadhani, pengembangan sistem ini sebetulnya bisa dilakukan dengan melihat sejarah pertanian di negeri kita. Seperti halnya Cina dan Israel yang mempelajari kembali sejarahnya dan mengembangkan sistem pertanian sesuai warisan nenek moyang mereka.
"Ada baiknya Indonesiapun melakukan hal yang sama, mempelajari sejarah pertaniannya dan mengembangkannya kembali," saran Ramadhani.
Hanya saja terdapat dua faktor pembatas pada sistem produksi pangan di Asia. Pertama ialah diversitas produk yang rendah yang menyebabkan malnutrisi. Kedua ialah ketergantungan yang tinggi terhadap beberapa jenis pangan pokok. Food and Agriculture Organization (FAO) menyarankan agar pertanian dapat juga berfokus pada pengembangan spesies tanaman yang diabaikan dan kurang dimanfaatkan.
"Indonesia memiliki sangat banyak spesies yang diperlakukan seperti ini. Spesies-spesies ini biasanya sudah dikenal oleh masyarakat lokal namun kurang diperhatikan padahal memiliki kandungan nutrisi dengan manfaat fisiologis yang baik bagi manusia," papar Ramadhani.
ADVERTISEMENT
Namun, Ramadhani mengatakan pandemi kini mendorong masyarakat untuk mengimplementasikan pertanian lokal. Beberapa pertanian lokal yang terlihat yakni pekarangan rumah (home gardens), menanam di ruang yang teratas (hyper urban farming), hidroponik dan aquaponik, forest gardening (agroforestry) dengan 7 lapis tanaman, dan juga pengubahan sampah menjadi makanan menggunakan larva (waste to food).***