Merintis Pembangunan Wilayah Berkelanjutan dan Siaga Bencana

SDGs Network ITB
SDGs Network ITB adalah entitas SDGs di Indonesia, dengan tujuan ingin berpartisipasi mengakselerasi pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di Indonesia.
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2020 14:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SDGs Network ITB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Merintis Pembangunan Wilayah Berkelanjutan dan Siaga Bencana
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Penulis: Nadiya Syafia Shani, Tristia Riskawati
Kawasan metropolitan merupakan daerah paling penting untuk pengembangan dan pertumbuan ekonomi berkelanjutan. Hal ini ditunjukan dengan 66% aktivitas ekonomi global, serta 85% inovasi teknologi global ditemukan dan diaplikasikan di metropolitan. Namun tidak sedikit juga kerusakan dan bencana yang terjadi di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Ir. Harkunti Pertiwi Rahayu (KK Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan SAPPK ITB) pada webinar Sustainable and Resilient Building, Disaster Risk Management, and Climate Change Adaptation, Kamis, 8 Oktober 2020.
Selain Harkunti, berperan sebagai pembicara-pembicara lainnya adalah Dewi Larasati, ST., MT., P.Hd. (KK Teknologi Bangunan SAPPK ITB); Ir. Robby Dwiko Juliardi, MT. (KK Teknologi Bangunan SAPPK ITB); dan Medria Shekar Rani, ST., MT., Ph.D (KK Perancangan Arsitektur SAPPK ITB).
Webinar yang diadakan SAPPK ITB, pada pukul 9.00-11.00 ini dimoderatori oleh Dr. Ir. Lily Tambunan, MT. (KK Teknologi Bangunan SAPPK ITB).
Harkunti sendiri fokus membahas manajemen Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung untuk membangun ketahanan daerah metropolitan di Jakarta dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT

Harkunti: Manajemen transboundary untuk kawasan metropolitan yang tangguh menghadapi bencana

Sebagai kawasan metropolitan, Jakarta kerap kali mengalami banjir. Harkunti mengatakan, terdapat empat isu besar utama di Kota Jakarta sebagai salah satu metropolitan. "Yaitu banjir, penurunan permukaan tanah, kemacetan, dan sampah," ujarnya.
Harkunti melanjutkan, secara alami terdapat 13 sungai memasuki kota Jakarta. Sedari dahulu, Jakarta memang muara air. Selain itu, banjir Jakarta dipengaruhi oleh berbagai hal seperti penurunan permukaan tanah, tingginya penggunaan air tanah, naiknya permukaan air laut, banyaknya sampah yang dibuang ke sungai, masifnya alih fungsi lahan, dan lain sebagainya.
Salah satu sungai besar yang turut bermuara ke Jakarta adalah sungai Ciliwung. Diprediksi, penggunaan DAS Ciliwung sebagai daerah pemukiman menjadi 92% di tahun 2050. Harkunti menjelaskan, sebetulnya sudah mulai dilakukan usaha mengurangi banjir dari aliran sungai di Jakarta yaitu dengan membuat kanal, west kanal, dan east kanal.
ADVERTISEMENT
"Diperlukan manajemen operasional infrastruktur dan kesadaran sosial dan lingkungan yang bersinergi untuk penanganan banjir di Jakarta. Masih adanya ketidakdisiplinan warga dan penolakan warga atas program pemulihan sungai dari pemerintah menjadikan proses penanganan terhambat," terang Harkunti.
Harkunti memaparkan, sebenarnya terdapat Peraturan Presiden no. 54 tahun 2008 mengenai pembentukan kawasan strategis nasional Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Purwakarta, Cianjur (JABODETABEKPUNJUR) dengan tujuan dan sasaran yang sejalan dengan SDGs. Salah satunya meningkatkan kolaborasi dan kerjasama yang tetap memedulikan perlindungan tanah, air, udara, flora, dan fauna.
Lanjut Harkunti, pemerintah sudah membuat Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030. Sendai Framework sendiri merupakan roadmap penanganan dan reduksi bencana yang dirilis secara global oleh United Nations Office for Disaster Risk Reduction.
ADVERTISEMENT
"Sendai Framework sejalan dengan SDGs untuk menangani banjir di Jakarta yang juga melibatkan kota, kabupaten, dan provinsi lain disekitarnya (transboundary)," kata Harkunti.
Upaya mitigasi transboundary melibatkan aspek politik, legal, technical corporation, institusi. Sehingga untuk membuat manajemen yang efektif dalam mengurangi dampak banjir diperlukan aspek kunci seperti eksternal (iklim), governable, dan governance yang berintegrasi.

Dewi Larasati: Merintis hunian vertikal rendah energi

Konsumsi energi bahan bakar dan listrik serta penghasilan emisi karbon adalah sektor konstruksi termasuk yang tertinggi. Pembanguan dan operasional dari suatu gedung menyumbangan emisi karbon sebesar 30-40%, konsumsi air bersih 17%, konsumsi produk kayu 25%, penggunaan bahan mentah 33%, penggunaan energi 40-50%.
"Ditambah juga dengan Indonesia yang berada di daerah tropis dengan suhu yang selalu hangat sehingga memiliki energi beban pendinginan yang cukup tinggi," ujar Dewi. Jika tidak dikembangkan hunian yang rendah energi, penggunaan energi di Indonesia akan semakin besar setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Dewi mencanangkan perencanaan apartemen rendah energi dengan menggunakan desain bioklimatik. Desain ini mempertimbangkan komponen manusia dan lingkunganya, iklim, dan lingkungan pembangunan yang tentunya tetap mengutamakan juga kenyamanan penggunanya. Pembangunan apartemen ini menjunjung kenyamanan setinggi-tingginya dengan energi serendah-rendahnya.
"Kenyamanan yang dimaksud diantaranya adalah kenyamanan visual, kenyamanan iklim, dan kenyamanan psikologis. Pendekatan yang dilakukan saat ini hanya berlaku untuk area tropis," ujar Dewi.
Dewi merujuk pada prototype apartemen yang dibangun di Kota Tegal. Kota Tegal memiliki suhu rata-rata yang cukup tinggi pada pukul 08.00-20.00. Suhunya sendiri tergolong pada kondisi tidak nyaman untuk manusia. Oleh karenanya, penggunaan pendingin ruangan menjadi penting di daerah Tegal.
Namun prototype apartemen ini tidak memerlukan pendingin ruangan yang mengonsumsi cukup banyak energi listrik. Apartemen ini memanfaatkan angin alami untuk menyejukan udara di dalam, memanfaatkan wind catcher, night time ventilation, serta sunshading di balkon.
ADVERTISEMENT
"Dibandingkan dengan rumah susun ASN Standar PUPR Tegal yang dibangun di dekat rumah susun prototype, terbukti bahwa rumah susun prototype dengan luas bangunan yang lebih besar mengonsumsi energi yang lebih sedikit (5,88 kwh/bulam/m2) dibandingkan dengan rumah susun standar (8,14 kwh/bulan/m2)," klaim Dewi.
Pencanangan hunian vertikal/apartemen rendah energi ini didukung juga dengan adanya peraturan menteri ESDM nomor 13 tahun 2012. Peraturan ini menyatakan bahwa seluruh bangunan harus melaksanakan program penghematan energi pada sistem tata udara, sistem tata cahaya, dan peralatan pendukung lainnya.

Robby Dwiko Juliardi: Greenworks dalam Renovasi dan Retrofitting

Kinerja sebuah gedung berkaitan dengan komponen manusia, perlengkapan yang dipakai manusia di dalamnya, lingkungan luar, perangkat mekanis terkait kenyamanan, dan wujud dari bangunannya. Bangunan akan melakukan adaptasi atas respon dari manusia yang menggunakannya.
ADVERTISEMENT
Begitu yang Robby paparkan dalam webinar ini. Adaptasi bangunan akan mempengaruhi reparasi, rehabilitasi, renovasi, atau rekonstruksi sebagai respon terhadap kondisi. "Kondisi ini akan mengarah pada dua hal yaitu reduksi kualitas dari karakteristik material dan kinerja dari bangunan," ujar Robby.
Greenworks di Indonesia dapat dinilai berdasarkan Greenship (meninjau building dan area) dan SEDCK 84-2016 (meninjau programming, planning, construction, operation, demolition). Greenworks sendiri merupakan pengendalian berdasarkan penilaian penilaian tersebut yang berupa renovasi dan retrofitting.
"Renovasi merupakan upaya pemulihan untuk meningakatkan kualitas bangunan sedangkan retrofitting merupakan peningkatan elemen-elemen terhadap penyesuaian khususnya kepada thermal comfort bangunan tertentu," terang Robby.
Selain itu, terdapat flowchart dalam pelaksanaan greenworks agar bangunan tersebut bisa sustain. "Pelaksanaan renovasi dan retrofitting sendiri didasari oleh lima kata tanya besar sebagai penuntun yang saling berkaitan yaitu apa, bagaimana, yang mana, kenapa, dan kapan. Sehingga langkah keputusan yang diambil dalam greenworks tepat," ujar Robby.
ADVERTISEMENT

Medria Shekar Rani: Merencanakan lansekap untuk mitigasi banjir

Banjir menempati tingkat pertama dari kejadian bencana alam yang terjadi di dunia. Bahkan, banjir berdampak pada 2,3 milyar orang di dunia. Di Indonesia sendiri, banjir juga merupakan bencara yang paling sering terjadi di 10 tahun terakhir. Pada tahun 2020 terdapat 609 kejadian banjir.
"Tingginya kerusakan dan kerugian yang disebabkan banjir mendorong banyak pihak peduli hingga mengeluarkan pedoman mitigasi banjir untuk mengurangi banjir," begitu papar Medria.
Medria memaparkan, pada kawasan cekungan Bandung sebetulnya ada program river improvement project di tahun 1986 yang berhasil mengurangi jumlah kawasan terdampak banjir di area cekungan bandung sampai tahun 2006. Namun dikarenakan curah hujan yang tinggi, perubahan tutupan area lahan, serta sedimentasi menyebabkan banjir besar kembali terjadi.
ADVERTISEMENT
"Salah satu perubahan tutupan area yang berdampak besar adalah banyaknya wilayah di bagian Bandung Utara. Sebelumnya, wilayah Bandung Utara merupakan hutan yang beralih fungsi menjadi perkebunan dan perumahan," papar Medria. Selain itu banyaknya hunian di daerah DAS juga memengaruhi efektivitas aliran air.
Data-data sangat berperan dalam proses perencanaan lansekap. Medria menggunakan data-data terkait laju presipitasi, luasan cekungan, tutupan lahan dan jenis-jenis tanah untuk membuat model-model. Hasil modelling yang didapatkan dijadikan feedback untuk perencanaan lansekap kedepannya. Di samping itu, data terkait sosioekonomi juga turut dilibatkan.***
__
Untuk menyimak video webinar, sila klik video di bawah ini: