Polemik Eksistensi Teknologi Artificial Intelligence (AI) Dan Regulasinya

Sekarsari Sugihartono
Mahasiswi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Studi Hubungan Internasional
Konten dari Pengguna
30 Juli 2023 9:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sekarsari Sugihartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan merupakan fenomena teknologi baru yang marak digandrungi banyak masyarakat. Salah satunya adalah aplikasi ChatGPT yang dianggap banyak membantu pelajar dalam menyelesaikan tugasnya. Teknologi ini menggunakan algoritma yang dianggap mempermudah banyak hal seperti sektor medis, keamanan, maupun interaksi sosial. Kecerdasan buatan dinilai mampu menyamai kecerdasan manusia dalam meniru mereka memecahkan masalah yang kompleks sekalipun. Namun sekali lagi perlu diingat, banyak problematika kompleks yang menyangkut norma dan nilai tertentu dan tidak dapat diukur batasannya menggunakan komputer atau data, sehingga ada beberapa permasalahan yang muncul dari teknologi AI ini. Tidak hanya itu, berdasarkan pendapat banyak pengguna ChatGPT mengatakan bahwa sumber data yang disampaikan terkadang tidak akurat dan bahkan malah menimbulkan ambiguitas. Dengan menggunakan data yang tertera di dunia maya, AI juga dapat berbahaya apabila disalahgunakan, seperti terjadinya kebocoran data ataupun resiko impersonasi seseorang di internet. Kapasitas kebijakan penggunaan AI juga belum jelas skalanya, belum ada peraturan khusus akan regulasi maupun tata kelola dalam penggunaannya.
ADVERTISEMENT
AI menggunakan data komputer dalam memberi segala input yang kita gunakan, sehingga terkadang norma dan nilai masyarakat tertentu yang tidak ada dalam data dapat bertentangan dengan jasa yang ditawarkan oleh teknologi ini. Adanya ketidaksetaraan atau pola diskriminatif masyarakat dapat timbul, sebagai contoh negara-negara barat telah mendukung adanya LGBT maupun klasifikasi gender baru, sedangkan negara-negara yang menantang yakni Rusia atau Indonesia memberi batasan-batasan tertentu termasuk di dunia maya, dengan teknologi AI yang berbasis data secara global dapat memunculkan kontroversi terkait hal ini apabila digunakan secara bebas. Teknologi AI bersifat terbuka atau open source sehingga data-data yang didapatkan masih dapat berkembang, dengan kemajuan globalisasi dimana kebebasan berpendapat makin meluas, apabila menyentuh isu-isu yang sensitif seperti gender atau orientasi seksual yang dilarang di beberapa negara, maka teknologi AI akan menjadi bumerang bagi generasi muda.
Ilustrasi teknologi AI yang dipercaya dapat berfungsi sesuai dengan kinerja otak manusia. Sumber: shutterstock
Walaupun teknologi AI membawa banyak manfaat di dunia pendidikan maupun medis, banyak pihak yang khawatir apabila pekerjaan yang dinilai praktis ataupun repetitif bisa dikerjakan oleh komputer, maka di masa depan akan banyak sekali pengangguran karena berkurangnya kesempatan kerja secara drastis, dikarenakan pekerjaan-pekerjaan tersebut telah diambil alih oleh komputer maupun robot. Tidak hanya itu, teknologi AI dinilai bias atau diskriminatif dikarenakan penggunaan yang berbasis data dan belum bisa secara 100% meniru kehidupan manusia, seperti contoh teknologi pengenalan wajah dibuat berdasarkan warna kulit mayoritas, sedangkan belum cukup memadai untuk ras kulit minoritas, hal ini dapat dianggap rasis ataupun kurang kompeten terhadap teknologi ini.
Penggunaan robot dalam dunia medis sebagai bentuk teknologi AI. Sumber: shutterstock
Hal yang paling dikhawatirkan adalah semua pekerjaan terasa sangat mudah dengan bantuan teknologi AI, sehingga dapat menyebabkan ketergantungan atau dependensi kepada penggunanya, hal ini dapat memicu tingkat kemalasan di masa depan atau berkurangnya skills bagi generai muda. Dengan tingkat dependensi yang naik terhadap teknologi ini, tentu dapat mengakibatkan peningkatan traffic data di dunia maya, sedangkan teknologi tidak luput dari error atau kesalahan, dengan probabilitas terjadinya error, maka keamanan data para pengguna juga tidak terjamin, apalagi dengan maraknya hacker yang makin cerdas kemampuannya. Adanya potensi kejahatan maupun serangan siber terhadap teknologi ini juga cukup tinggi, belum diketahui tingkat strata keamanan yang digunakan.
Aplikasi ChatGPT yang merupakan teknologi AI yang marak digunakan. Sumber: shutterstock
Namun perlu diingat bahwa perkembangan jaman yang diiringi kemajuan teknologi adalah hal yang tidak bisa dihindari, kita sebagai manusia perlu bijak dalam memanfaatkannya. Indonesia merupakan salah satu negara yang mendukung adanya pengembangan teknologi AI, dengan dibuatnya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta pengembangan teknologi di beberapa universitas. Persaingan ekonomi digital antar negara juga semakin meningkat sehingga Indonesia berusaha untuk ikut berpartisipasi didalamnya guna meningkatkan daya saing negara. Hal yang dipertanyakan adalah regulasi dan peraturan penggunaan teknologi AI.
Duolingo yang merupakan aplikasi untuk pembelajaran bahasa asing dan merupakan teknologi AI. Sumber: duolingo
Sejauh ini belum ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang mencakup penggunaan teknologi artificial intelligence, namun dicatat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Hak Cipta yang pada dasarnya meliputi dasar hukum untuk mengatur penggunaan teknologi dan hak kekayaan intelektual. Walaupun dinyatakan bahwa AI merupakan teknologi yang memiliki tanggung jawab hukum, namun apabila ada kebocoran data, kasus impersonasi, maupun pelanggaran privasi dan hak cipta, masih belum diketahui pihak mana yang harus dituntut. Semoga dengan pengembangan teknologi AI yang berlangsung terus menerus, regulasi dan peraturan hukum absolut dapat dibuat guna melindungi hak para penggunanya.
ADVERTISEMENT