Mendeteksi Potensi Kebakaran Lahan Gambut dengan Alat Bernama Sipalaga

Konten Media Partner
30 Juli 2019 16:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ali, warga Desa Dandang, Pandih Batu, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, berdiri di depan alat ukur tinggi muka air. (Foto: Mitra Gambut)
zoom-in-whitePerbesar
Ali, warga Desa Dandang, Pandih Batu, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, berdiri di depan alat ukur tinggi muka air. (Foto: Mitra Gambut)
ADVERTISEMENT
SELASAR RIAU, PEKANBARU - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kerap melanda lahan gambut. Selama puluhan tahun, banyak lahan gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang terbakar.
ADVERTISEMENT
Kebakaran ini diakibatkan karena lahan mengalami kekeringan. Jika lahan kering, maka potensi kebakaran sangat tinggi.
Badan Restorasi Gambut (BRG) telah meluncurkan Sistem Pemantau Air Lahan Gambut (Sipalaga) pada Januari 2019. Gunanya untuk mendeteksi potensi karhutla akibat kekeringan di lahan gambut.
Sipalaga bekerja laiknya seperti alat pendeteksi dini tsunami. Dengan Sipalaga, kita bisa tahu, apakah suatu kawasan gambut terdeteksi kering atau tidak, dan rentan terhadap karhutla atau tidak. Caranya dengan mengukur tinggi muka air di lahan gambut.
"Dari karhutla sekarang ini, semua alat memperlihatkan tinggi muka air jauh di bawah 40 sentimeter. Di Rokan Hilir, Bengkalis, Pelalawan, termasuk Siak, bahkan di kawasan gambut yang terbakar, sangat kering dan rentan terbakar karena tinggi muka air di bawah satu meter," ungkap Deputi III BRG, Myrna Safitri, Selasa (30/7).
ADVERTISEMENT
Myrna menjelaskan, di Riau, Sipalaga terpasang sebanyak 47 unit. Keseluruhannya tersebar di kawasan gambut, yang selama ini kerap terbakar. Total, 120 unit Sipalaga sudah dipasang tersebar di tujuh provinsi.
"Peringatan BMKG musim kemarau 2019 ini, sangat terasa kemarau dan keringnya panjang," kata Myrna.
Inilah persebaran warna merah yang terdapat di Sistem Pemantauan Air Lahan Gambut (Sipalaga) Badan Restorasi Gambut (BRG), Selasa pagi (30/7).
Pada gambar di atas, bisa dilihat titik sebaran berwarna merah. Apa arti warna merah itu? Lahan gambut yang berwarna merah menandakan bahaya dan rentan terbakar.
Sipalaga merupakan hasil kolaborasi antara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan BRG guna mencegah karhutla pada kawasan gambut di seluruh Indonesia. Myrna menjelaskan, satu alat Sipalaga lebih murah dibandingkan alat serupa buatan Jepang.
Dilansir dari laman BPPT, Sipalaga diperkenalkan BRG sebagai upaya preventif dan menjaga lahan gambut tetap basah. Cara terbaiknya dengan membangun sensor yang mampu membaca kondisi lahan secara real time.
ADVERTISEMENT
Sensor tersebut akan dipasang di setiap lahan gambut. Sistem Sipalaga ini bisa mendeteksi tinggi muka air dan kebasahan lahan gambut, di ekosistem gambut secara langsung.
"Jadi kami ingin menjaga lahan gambut agar tetap basah, dan cara terbaik adalah membangun sensor ketika air di bawah 0,4 meter," ucap Nazir, saat peluncuran Sipalaga di Gedung Wanabhakti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 29 Januari 2019.
Agar lahan gambut tetap basah, kata Nazir, BRG akan memantau secara real time setiap 60 menit sekali. Kemudian setelah itu, data tersebut dikirim ke server BRG dan KLHK untuk dilakukan pengecekan.
"Kalau airnya menurun terus, dan ramalan cuaca dari BMKG menunjukkan tidak akan hujan selama 20-30 hari ke depan, berarti itu (gambut) rawan," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Jika hal yang tidak diinginkan tersebut terjadi, Kepala BRG akan segera menginformasikan ke Satuan Petugas (Satgas) agar meningkatkan patroli.
"Kemudian pemerintah daerah akan menjaga agar fasilitator desa BRG bisa masuk bersama kepala desa dan masyarakat agar membantu," tutupnya.
Sistem ini dapat diakses di laman resmi sipalaga.
Ilustrasi kebakaran lahan di Riau Foto: Rony Muharrman/Antara