Teriakan 'Novel Pengkhianat' Indikasikan Adanya Disonansi Kognitif

Konten Media Partner
31 Desember 2019 7:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan hadiri acara Inspiring Talks Dedikasi untuk Negeri di Jakarta, Sabtu (9/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan hadiri acara Inspiring Talks Dedikasi untuk Negeri di Jakarta, Sabtu (9/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
SELASAR RIAU, PEKANBARU - Teriakan "Novel Pengkhianat" oleh RB, pelaku penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan, menunjukkan telah terjadinya penyimpangan atau disonansi kognitif terhadap jiwa korsa atau esprit de corps.
ADVERTISEMENT
Akibat disonansi kognitif itu, memicu kemarahan dan kebencian pelaku, RB, diluapkan dengan melukai mantan Kasat Reskrim Polres Bengkulu tersebut.
"Semangat korsa itu dibangun dalam satu sistem organisasi, ada value, nilai sudah disepakati bersama. Kemudian dibangun keseluruhan dengan kesadaran secara utuh, tanpa paksaan apa pun, menyatu jadi sebuah keyakinan," kata Dosen Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau, Ahyani Radhiani Fitri, MA,Psikolog, Selasa, 31 Desember 2019.
Ia menjelaskan, semangat korsa itu mewarnai setiap pemikiran, sikap dan perilaku anggota di organisasi atau kesatuan. Ini kemudian menjadi sebuah kebiasaan (habit) semua anggota di korps tersebut.
Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori dalam psikologi sosial membahas perasaan ketidaknyamanan seseorang akibat sikap, pemikiran, dan perilaku saling bertentangan, kemudian memotivasi seseorang mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
ADVERTISEMENT
Ahyani Radhiani Fitri menjelaskan, penyimpangan terhadap norma-norma telah ditanamkan sejak dini ketika mulai bergabung di Kepolisian.
Pelanggaran terhadap jiwa korsa dapat terjadi jika ada oknum alami disonasi kognitif.
"Nilai-nilai ditanamkan itu menjadi jiwa atau semangat idealisme menyatukan para anggota dalam setiap berpikir, melangkah, dan bergerak," jelasnya.
Sudah seharusnya, kata Fitri, muncul jiwa satu untuk semua, semua untuk satu sebagai perasaan satu kesatuan.
Sehingga, akan tumbuh cinta akan berupa ketangguhan sesama anggota diuji, tak hanya melalui tantangan dan hambatan dari luar dalam, termasuk pasang surut sebuah organisasi dengan kerikil dan batu mengadang.
"Ada disonansi kognitif, beberapa pemikiran-pemikiran sudah pasti berbeda dengan jiwa korsa tadi. Seharusnya segala sesuatu berbeda itu bernilai positif, namun semangat positif itu diartikan salah oleh oknum tersebut," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Artinya lainnya, jelas dosen Psikolog tersebut, anggota kepolisian tersebut seharusnya memberikan kesetiaan yang baru, namun ternyata salah.
Fitri menjelaskan, mengatasinya, kepolisian harus memupuk jiwa korsa itu kembali.
Caranya, perasaan kekinian itu harus bisa menjawab hambatan dan tantangan baik dari dalam maupun luar kepolisian.
"Perubahan itu detik per detik. Semangat korsa itu perlu dibakar, dipupuk lagi, termasuk dirawat. Sehingga tak ada lagi disonansi itu. Solidaritas sesama anggota atau kesatuan tidak tenggang rasa membenarkan apa yang salah, karena anggota kita," pungkasnya.
Kedua tersangka RB, dan RM, diperlihatkan ke publik di Mapolda Metro Jaya untuk dibawa ke Mabes Polri, akhir pekan lalu.
RB saat digiring sejumlah penyidik Bareskrim Polri ke dalam mobil penyidik, tiba-tiba berteriak.
ADVERTISEMENT
Ia mengungkap motif kenapa dirinya menyerang Novel. "Tolong dicatat, saya enggak suka sama Novel, karena dia pengkhianat!" kata RB berteriak.