Lipsus Papua, Kerusuhan Papua, Aksi unjukrasa Damai Tolak Rasisme di Yogyakarta

Perbaiki Cara Kita Melihat Papua

Semiarto Purwanto
Departemen Antropologi, Universitas Indonesia.
26 Agustus 2019 11:24 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah mahasiswa asal Papua melakukan unjuk rasa di Jalan Kusumanegara, DI Yogyakarta, Selasa (20/8/2019). Foto: ANTARA FOTO.
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah mahasiswa asal Papua melakukan unjuk rasa di Jalan Kusumanegara, DI Yogyakarta, Selasa (20/8/2019). Foto: ANTARA FOTO.
ADVERTISEMENT
Semiarto Aji Purwanto
Departemen Antropologi, Universitas Indonesia.
"Buruk muka cermin dibelah", itulah perumpamaan yang menurut saya tepat untuk menggambarkan relasi kita dengan saudara-saudara Papua kita. Demi kepentingan melihat persoalan ini, untuk sementara, saya memakai kata 'mereka' warga Provinsi Papua dan Papua Barat di satu sisi, serta 'kita' yang merepresentasikan warga provinsi lain di sisi lainnya. Posisi ini saya ambil karena dalam banyak hal, memang kitalah yang salah memperlakukan mereka. Dari tingkat pikir sampai perilaku.
ADVERTISEMENT
Puluhan tahun pasca-kembalinya Papua ke pangkuan NKRI di tahun 1963, kita masih menganggap mereka sebagai orang asing yang penuh stigma. Penuh pandangan negatif. Mereka dianggap sebagai warga yang terbelakang dalam peradaban dan karenanya mesti dibangun secara total. Kemudian, mereka dianggap kasar karena fisik yang secara stereotipik lebih berotot, berkulit legam, dan berahang kokoh. Secara umum, kita menganggap mereka yang berkulit hitam berada dalam level evolusi di bawah kita, sehingga sering membuat onar. Satu pandangan yang amat rasis.
Respons sebagian warga Papua terhadap semua pandangan negatif itu terentang dari yang hanya diam-diam saja, sambil menahan marah, sampai yang dengan berani meletupkan kemarahan, dan merancang perpisahan dengan NKRI. Semakin lama, keresahan warga Papua justru seperti menjadi pembenar bagi kita untuk memperlakukan mereka secara negatif.
ADVERTISEMENT
Prestasi atlet Papua dalam berbagai cabang olahraga dianggap semestinya, mengingat fisiknya yang tangguh. Namun manakala kekalahan menghampiri, maka kambing hitam tertuju pada mereka. Ketika berhadapan sebagai lawan dalam kompetisi sepak bola nasional, tak jarang mereka menerima umpatan bernada rasisme.
Jalinan kultural melalui pengiriman warga Papua ke kota-kota besar di Indonesia untuk menuntut ilmu, tampaknya tidak pernah mampu mengintegrasikan mereka dalam struktur kota di mana mereka tinggal. Di Jakarta, Yogyakarta, Makasar, misalnya, mahasiswa seperti tersekat di sekitar asrama Papua atau tempat-tempat indekos yang menerima mereka. Selebihnya, mereka dianggap orang asing yang dihadapi secara penuh prasangka.
***
Prasangka umum kita terhadap Papua, saya lihat mewujud dalam empat hal berikut. Pertama, mereka adalah saudara tiri kita. Papua dianggap bukan bagian dari NKRI yang secara fisik berkulit sawo matang, berambut kejur, serta berbudaya Melayu. Riwayat bergabung menjadi provinsi ke 26 juga menjadi persoalan mereka memang bukan saudara kandung kita. Padahal berbagai hal telah menunjukkan bahwa perasaan kebangsaan atau nasionalisme, tidak lagi berbatas fisikal, lokasional, atau historikal semata.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Gellner, nasionalisme merupakan prinsip politik. Suatu proyek politik yang disepakati bersama secara dinamis. Nasionalisme juga merupakan suatu hal yang diimajinasikan oleh semua komponen, yang menganggap diri mereka sebagai satu bangsa. Walaupun tidak mengenal satu sama lain, tapi menurut Anderson merasa sebagai satu komunitas. Pendeknya, dalam bahasa akademik, sebenarnya tidak perlu ada bagian asli dan tidak asli dari suatu bangsa. Tidak usah merasa menjadi anak kandung atau anak tiri dalam berbangsa.
Kedua, perbedaan fisik, kultural, dan sejarah tersebut memantik prasangka menjadi stereotip yang amat membatasi interaksi kita dengan mereka. Ciri fisik yang berotot dan legam, acap disandingkan dengan tingkah kasar dan berangasan. Aroma tubuh yang berbeda dimaknai sebagai pembuat ketidaknyamanan. Tentu ini sebenarnya hanya persoalan cara pandang yang berbeda, yang dibenarkan oleh berbagai stereotip fisik.
ADVERTISEMENT
Tradisi berburu meramu, berpindah ladang, dan aneka modus ekonomi ekstraktif tradisional, menjadi alasan bahwa mereka memang di bawah kita, yang mampu mengelola sawah, kebun produktif, dan hidup dalam dunia industri modern. Ketika masuk menjadi bagian NKRI, negara segera melancarkan program pembangunan untuk mengakselerasi kemajuan peradaban mereka. Seperti cerita yang terjadi pada kelompok indigenous lain di negeri ini, mereka dipaksa meninggalkan tradisi nenek moyang yang telah ribuan tahun dipraktikkan. Diganti dengan segala hal berbau modern.
Secara antropologis, mereka bolehlah disebut mengalami gegar budaya yang hebat. Pergantian peradaban yang terjadi dalam waktu sekejap menimbulkan kegamangan pada mereka. Antara masih menekuni tradisi lama, tapi di sampingnya sudah terbentang peradaban modern yang ditawarkan negara sebagai pengganti. Salah satu bentuk kegamangan utama yang saya perhatikan adalah, integrasi sebagian warga Papua, terutama di pegunungan, dalam sistem ekonomi pasar. Muncullah mereka sebagai 'pengganggu' yang memalang jalan menuju industri. Menuntut ganti rugi pada perusahaan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Dan masih panjang lagi cerita mereka sebagai 'pengganggu' itu.
ADVERTISEMENT
Ketiga, integrasi ke sistem pasar yang masih terus berproses tersebut, seringkali tidak diperhatikan oleh warga pendatang yang sudah terlebih dahulu siap. Kaum pendatang itu masuk sebagai pedagang, pegawai negeri, anggota TNI dan Polri, karyawan perusahaan swasta, transmigran, dan sebagainya. Di awal integrasi, para pendatang seperti tinggal dalam enclave tersendiri dalam ranah pasar, toko, dan kantor. Terpisah dari penduduk asli. Umumnya para pendatang menganggap penduduk asli sebagai pemalas. Di sinilah persoalannya. Kegamangan akibat integrasi ke sistem pasar dan industri yang belum mantap dari mereka, diberi label sebagai pemalas.
Ketika sebagian dari warga Papua di kota-kota seperti Jayapura, Sorong, Biak, dan sebagainya tersingkir oleh pendatang, tidak ada yang tampak peduli pada stres yang mereka alami. Tidak ada kajian yang mengantisipasi kemungkinan stres akibat perubahan yang cepat ini. Sebagaimana yang terjadi pada kaum Aborigin di Australia atau Indian di Amerika Serikat, kita menjumpai bahwa alkohol menjadi outlet stres yang utama. Mabuk untuk melepaskan diri dari penat, mentradisi dan lekat pada mereka. Menjadi identitas yang amat nyata bagi pendatang. Pada akhirnya, ini semua semakin menebalkan stereotip mereka memang pemalas.
ADVERTISEMENT
Keempat, kondisi Papua yang semakin kusut ternyata juga berdampak pada birokrasi dan mutasi SDM kita. Papua menjadi ladang pengabdian yang tidak menarik perhatian. Dari awalnya, para sukarelawan bekerja sepenuh hati mengembangkan provinsi di ujung timur negeri, lama-kelamaan tidak ada lagi yang mau ditempatkan di situ. Berbagai kegagalan akibat kesalahan strategi pembangunan, ketidakmampuan membaca dinamika sosial budaya, dan transportasi yang mahal membuat SDM dari Jawa enggan ditempatkan di Papua.
Sedihnya, muncul anggapan bahwa ditempatkan di Papua adalah hukuman bagi seorang pegawai. Kita akan teramat galau menerima mutasi ke Papua. Sambil merenung, sebagian dari kita berpikir, “Salah apa ini sampai menerima SK untuk dinas di Papua?”. Ketika akhirnya bertugas di sana, bayangan segera ditarik ke Jakarta, ke pusat, atau tempat lain asalkan ke luar Papua, membelenggu benak kita. Ditambah dengan asumsi bahwa hanya yang terbaik yang berhak menempati posisi ideal di birokrasi, yaitu di Jakarta, maka SDM di Papua menjadi teramat rendah kualitasnya. Nyaris di semua lini.
ADVERTISEMENT
***
Apa urusan semua ini dengan peristiwa ricuh di Surabaya yang memicu demo besar-besaran di kota-kota utama Papua? Bagi saya, selain dari berbagai teori konspirasi dan rekayasa politik di sana-sini, semua sengkarut mengenai Papua ini besar kontribusinya dari cara pandang kita yang keliru mengenai Papua. Sebagian dari masalah Papua, sebenarnya ada di Jawa, di Jakarta, pada diri kita. Jadi untuk membangun dan membenahi Papua, tidak cukup dengan pembangunan fisik di sana, pemberian dana besar-besaran melalui otonomi khusus, dan berbagai cara lain untuk mentransformasi masyarakat Papua. Perbaiki juga cara kita melihat Papua. Bangun pemahaman baru mengenai Papua.
Saya merasa perlu untuk sesegera mungkin memberi makna baru kepada Papua. Saudara kita sebangsa dan setanah air. Hentikan dan kesampingkan sebentar kepentingan politik praktis dan kepentingan bisnis semata. Mulailah untuk mengembangkan pola pikir baru. Mencari makna baru bagi bangsa kita. Inilah tugas peradaban kita sebagai bangsa yang bermartabat.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten