Persoalan Koalisi Partai Politik dalam Sistem Presidensial Pasca Reformasi

Septi Wahyuni
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
9 April 2022 23:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Septi Wahyuni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Koalisi Saat Pemilu
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem presidensial sekaligus sistem kepartaian multi partai. Gabungan antara sistem presidensial dengan sistem kepartaian multi partai tersebut tidak lain akibat dari tuntutan reformasi yang mana dibebaskannya mendirikan partai politik. Keadaan seperti itu kemudian mengakibatkan lahirnya koalisi partai politik di Indonesia pada sekarang ini. Sebenarnya koalisi sendiri hadir akibat dari proses negosiasi atau tawar menawar antar partai politik untuk memenangkan pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri memberikan ruang bagi partai politik untuk membentuk koalisi pada pemilihan umum, hal tersebut ditandai dengan adanya aturan yang mengikat. Secara implikasinya sebagai negara yang menganut sistem presidensial, dalam pemilihan presiden di Indonesia saat proses pencalonannya dapat dilakukan oleh koalisi partai politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa posisi koalisi partai politik di dalam kontestasi pemilihan umum sebagai pendukung atau penopang bagi calon presiden yang didukungnya.
Pada tahun 1999 dapat dikatakan sebagai pemilihan presiden pertama setelah reformasi, pada saat itu presiden dan wakil presiden belum dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga dinamika koalisi partai politik pada saat itu belum terlihat dengan jelas karena presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dinamika koalisi partai politik sendiri sebenarnya dapat terlihat jelas dimulai dari pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2004 karena pada saat itu presiden dan wakil presiden mulai dipilih langsung oleh rakyat, sehingga partai politik berkoalisi untuk memperoleh suara terbanyak agar memenangkan pemilihan umum. Sebagai contoh, pada pemilihan presiden 2004 terdapat 5 pasagan calon yaitu Wiranto dan Salahudin Wahid yang diusung oleh partai Golkar dan PKB, Megawati dan Hasyim Muzadi yang diusung oleh PDIP dan PDS, Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo yang diusung oleh PAN, PBR, PKS, PNBK, dan PSI, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang diusung oleh Partai Demokrat, PBB, dan PKPI, Hamzah Haz dan Agum Gumelar yang diusung oleh PPP.
ADVERTISEMENT
Kabinet yang Terbentuk
Pada saat itu, yang mana pada tahun 2004 pemilihan presiden dan wakil presiden dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tetapi pada saat pembentukan kabinet terdapat perubahan peta koalisi partai dimana yang sebelumnya menjadi oposisi yaitu Golkar, PPP, PKB, PBR, dan Pelopor ikut bergabung ke dalam pemerintahan. Hal yang sama pun terjadi pada pemilihan presiden dan wakil presiden periode yang selanjutnya, dimana banyak kasus dari yang sebelumnya tidak berkoalisi saat pemilihan umum menjadi ikut bergabung di dalam pemerintahan.
Realita yang Terjadi
Berkaca dari hal itu, praktik tersebut mengarah kepada koalisi semu yang hanya menghimpun banyak kekuatan politik tetapi partai yang berkoalisi tidak berjalan sebagaimana mestinya saat menjalankan roda pemerintahan karena diwarnai oleh konflik internal yang diakibatkan oleh banyaknya kepentingan partai politik. Dengan demikian, sudah seharusnya perlu adanya persamaan tujuan dan ideologis yang jelas dalam menjalankan roda pemerintahan agar kemungkinan konflik tersebut dapat diatasi. Kemudian, perlunya tim oposisi atau partai di luar pemerintah sangat penting dalam proses demokrasi agar segala kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah dapat terkontrol.
ADVERTISEMENT