Ajukan Sengketa Pemilu ke MK, Jangan Pakai People Power

Konten dari Pengguna
18 April 2019 9:53 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SETARA Institute tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
1. Berdasarkan hitung cepat (quick count/QC) Jokowi Ma'ruf unggul atas Prabowo Sandi di kisaran angka 10 persen. QC adalah indikator dari penghitungan secara keseluruhan suara rakyat dalam pemilu, yang diambil dengan menggunakan teknik sampling dari real count perolehan suara di TPS. Oleh karena itu, QC yang dirilis oleh berbagai lembaga survei bisa dijadikan acuan untuk menyimpulkan keunggulan pasangan 01.
ADVERTISEMENT
2. Sebagai sebuah produk pengetahuan ilmiah, QC telah diterima dalam praktik demokrasi, dan teruji validitasnya sebagai instrumen pengawasan penghitungan dari potensi kecurangan. Oleh karena itu, produk QC harus dibela. Bukan membela lembaga survei atau pasangan 01, tetapi membela suara rakyat yang sudah dihitung secara cepat.
3. Namun, untuk menghindari potensi ketegangan baru antarpendukung, semua pihak tidak melakukan klaim-klaim dan perayaan berlebihan. Semua pihak tetap menunggu proses penghitungan manual yang dilakukan oleh KPU. Jika Jokowi hanya bersyukur atas QC, Prabowo justru menentang. Ini suatu sikap normatif para calon dalam merespons hasil pemilihan, yang diharapkan tidak membakar emosi pendukung.
4. Fakta sejumlah ketidakteraturan penyelenggaraan pemilu dan klaim kecurangan yang diajukan pihak 02, sebaiknya diselesaikan dalam kerangka demokratik. Kita punya Mahkamah Konstitusi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa. Maka ke sanalah semua komplain diajukan.
ADVERTISEMENT
5. Ide menggerakkan warga untuk melakukan perlawanan atas produk demokrasi harus ditolak. Apalagi gagasan people power. Publik menyimak bahwa seluruh komplain atas penyelenggaraan pemilu telah dan terus direspons dan disikapi oleh KPU, Bawaslu, dan DKPP. Karena itu tidak ada argumen legal dan konstitusional untuk mendelegitimasi kinerja penyelenggaran pemilu.
Terima kasih.