Renungan Pidato Kenegaraan Jokowi soal Penegakan Hukum dan Radikalisme

Konten dari Pengguna
16 Agustus 2019 15:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SETARA Institute tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo memberi hormat sebelum menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memberi hormat sebelum menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
Dua Pidato Kenegaraan yang disampaikan Presiden Joko Widodo di Sidang Tahunan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan di depan DPR-DPD (Dewan Perwakilan Rakyat-Dewan Perwakilan Daerah) pada Jumat (16/8/19), telah menggambarkan visi kepemimpinannya yang akan segera memasuki episode jilid II pada Oktober 2019. Sebagaimana dalam pidato Visi Indonesia pada Minggu (14/7/2019), substansi pidato ini juga memiliki keterbatasan pada isu pemberantasan korupsi, daya juang pemajuan HAM (Hak Asasi Manusia), dan penegakan hukum yang berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Pada pidato di hadapan MPR, Jokowi secara terbatas memuji BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang terlibat dalam beberapa keanggotaan internasional yang artifisial, tetapi tidak menyajikan bagaimana desain BPK dan visi Jokowi yang kontributif dalam pemajuan pencegahan korupsi. Tetapi, saat pidato di hadapan DPR dan DPD, Jokowi memaparkan paradigma baru pemberantasan korupsi yang berorientasi pada pencegahan dengan inovasi teknologi dan birokrasi yang transparan.
Jokowi juga tidak menyampaikan visi progresif pemajuan HAM termasuk bagaimana memastikan bangsa ini merdeka dari sejarah kelam pelanggaran HAM di masa lalu. Meskipun pada dimensi hak ekonomi, sosial, dan budaya bobot perhatian Jokowi lebih dominan. Sementara, dalam isu penegakan hukum, selain menunjukkan perlu ketegasan dalam penegakan hukum, Jokowi terbatas menyampaikan pujian pada capaian-capaian teknis institusi MA (Mahkamah Agung) dan peran penjaga konstitusionalisme Mahkamah Konstitusi (MK). Jokowi tidak mengenali produktivitas MK dalam menguji UU (Undang-Undang) justru karena ketidakpatuhan pembentuk UU pada Konstitusi dan pada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, pada bidang lain Jokowi secara eksplisit dan dapat terpercaya mengidentifikasi intoleransi, radikalisme, dan terorisme dalam satu deretan kata sebagai ancaman nyata kemajuan bangsa menuju Indonesia maju dan unggul.
Penyebutan ketiga tantangan itu secara berurutan menggambarkan afirmasi kepemimpinan Jokowi bahwa intoleransi adalah hulu dari terorisme dan terorisme adalah puncak dari intoleransi. Visi pluralisme ini juga disinggung dalam pidato Visi Indonesia pada Juli 2019 lalu. Pengenalan Jokowi pada tantangan intoleransi-radikalisme-terorisme kemudian dijawab dengan pentingnya penguatan ideologi bangsa: Pancasila.
Dalam banyak survei, termasuk studi SETARA Institute, ancaman terhadap negara Pancasila adalah nyata adanya. Karena itu, tepat kiranya jika tantangan intermediate dari upaya mengatasi intoleransi-radikalisme-terorisme ini adalah pembudayaan Pancasila yang menuntut lompatan kreatif dalam pembinaan dan pembudayaannya. Visi Negara Pancasila harus menjadi mainstream dalam pemerintahan Jokowi, utamanya dalam bentuk keteladanan elit, pembentukan kebijakan, dan penanganan kelompok intoleran-radikal dalam kerangka demokratik yang menghargai hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Jokowi tidak boleh membiarkan kebijakan kontraproduktif, represif, dan indoktrinatif yang mengatasnamakan pembelaan ideologi Pancasila. Dalam jangka pendek, komitmen pada penghapusan intoleransi-radikalisme haruslah menjadi variabel penentu dalam memilih menteri-menteri kabinet baru, termasuk memilih pejabat-pejabat kunci di pemerintahan, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan lain sebagainya, yang memiliki akses pada pengelolaan sumber daya ekonomi dan pembangunan manusia Indonesia.
Paralel dengan keterbatasan visi hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, dan penegakan hukum yang progresif, sebagaimana tergambar dalam pidato kenegaraan ini, Jokowi bisa mengatasinya dengan menyusun perencanaan pembangunan yang kokoh dalam bidang pemberantasan korupsi, penegakan hukum dan HAM serta memilih pembantu-pembantu di bidang hukum dan HAM yang visioner, berintegritas, dan progresif.
Jakarta, 16 Agustus 2019,
ADVERTISEMENT

Hendardi

Ketua SETARA Institute