
Mandalika memang masih baru, tetapi inilah impian Indonesia mutakhir akan sebuah sirkuit balap internasional yang sejak lama memasuki wacana pencitraan Indonesia. Impian yang sudah menjadi kenyataan, ya, fisiknya—tetapi ini lebih serius dari sekadar mimpi, atau sebaliknya impian memang begitu serius dalam kebudayaan. Sirkuit Mandalika sebagai produk budaya urban, dalam proses dibentuk-membentuk, jelas berada di dalamnya.
Pada masa pra-Orde Baru, dalam hiruk-pikuk politik semasa “demokrasi terpimpin”, ketika lebih sering terlihat antrean minyak tanah dan pawai partai-partai di jalanan, saat jargon-jargon sosialisme-komunisme seperti “sama rata sama rasa” terakrabi, kosakata “investasi”, “kompetisi”, dan apalagi “kapital” tentu saja asing.
Namun serentak dengan terbukanya pintu investasi modal asing dan jalanan dipenuhi sepeda motor Jepang, perubahan politik yang disusul perubahan kebijakan ekonomi segera saja memengaruhi perubahan perilaku sosial—secara keseluruhan menjadi suatu gejala kebudayaan.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814