
Kalau bukan karena Paimo yang satu itu, mungkin saya tidak akan pernah membuka buku ini, yang cukup sering saya lihat punggungnya sahaja di deretan buku tentang wayang, tanpa pernah membukanya—bahkan belum saya timpa dengan sticker ataupun cap ex libris, penanda buku ini punya gué.
Judul buku yang ditulis R. Poedjosoebroto itu, Wayang: Lambang Ajaran Islam (Pradnya Paramita, 1978) memang semula membuat saya ragu untuk membacanya, karena menurut saya wayang itu tetap Hindu saja tidak apa-apa, tetap di-claim menjadi “milik” Aliran Kepercayaan pun apa salahnya—meski bukan tak pernah saya dengar wacana kebudayaan hibrida, tentang bagaimana Sunan Kalijaga dari Kadilangu pada abad ke-16 menggunakan wayang kulit sebagai medium penyampaian dakwah.
Mengingat wayang kulit yang saya saksikan pada abad ke-20, kalau memang ada dakwah di situ tentulah sudah terintegrasi tanpa perlu mengubah-ubahnya lagi. Dalam bahasa penyuluhan, selama wayang itu “positif”, maka islami-lah sudah, karena kebaikan adalah ajaran semua agama, tanpa perlu di-dakwah-dakwah-kan.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanplus
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanplus
Gratis akses ke event spesial kumparan
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814
Konten Premium kumparanplus
Dalam teori warung kopi saya, setidaknya ada tiga penyebab kurangnya pengetahuan: (1) malnutrisi atau kurang gizi; (2) kurang membaca; (3) terjebak kuasa wacana.
Kolom Seno Gumira Ajidarma di kumparanplus. Rutin tiap Minggu.
10 Konten
SEDANG DIBACA
Wayang, Agama, dan Paimo
Seno Gumira Ajidarma
KONTEN SEBELUMNYA
Musang Berjanggut Berlian
Seno Gumira Ajidarma
Lihat Lainnya
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten